DI tengah panas terik matahari, iringan kereta berkuda yang
membawa jenasah Presiden Anwar Sadat melangkah dengan pelan. Tak
ada suara kesedihan, meskipun rasa duka rakyat Mesir sudah tak
terbendung lagi. Dan di ujung iringan pengantar jenasah,
serombongan wakil rakyat dari Kairo berbaris dengan khidrnat.
Mereka hanya membawa spanduk yang bertuliskan "Orang yang mati
bagi perdamaian akan selalu dikenang."
Sadat tertembak di saat menyaksikan parade militer yang
merayakan kejadian 6 Oktober, kemenangan Mesir dalam perang
(1973) melawan Israel. Hari Selasa itu, Sadat diberondong oleh
enam orang bersenjata yang ikut dalam parade. Ia tentu saja
tidak menduga ketika sebuah truk tiba-tiba berhenti sekitar 10
meter dari panggung kehormatan. Pada waktu yang sama enam
pesawat jet Angkatan Udara Mesir sedang melayang-layang di udara
memamerkan kemampuannya.
Banyak di antara yang hadir juga uk menduga peristiwa itu akan
terjadi. Mereka umumnya lagi asyik melihat ke arah pesawat jet
yang melakukan aerobatik. Sementara berbagai pesawat itu
menyemprotkan asap berwarna merah, biru, putih dan kuning, suara
tembakan terdengar dan yang menduga itu bagian dari upacara.
Tapi setelah melihat para tamu lintang pukang berlarian,
terutama yang dekat dengan bagian panggung kehormatan, orang
baru sadar pembunuhan sedang berlangsung.
Sadat yang duduk diapit oleh Wakil Presiden Husni Mubarak dan
Menteri Pertahanan, Jenderal Abdel Halim Abu Ghazala, tak sempat
diselamatkan. Ia tewas setibanya di rumah sakit militer Al
Maadi, di selatan Kairo. Sedang Mubarak dan Abu Ghaala hanya
terluka di bagian tangan. Di samping itu sekretaris pribadi
Presiden Sadat, awi Abdel Hafiz, dan juru potret keprcsidenan,
Mohamad Rashwan, juga tewas. Dan yang terluka ada 29 orang,
termasuk diplomat asing.
Di Amerika Serikat, berita pertama mengenai tewasnya Presiden
Sadat berasal dari Libya, hanya satu jam setelah penembakan
terjadi. Perwakilan tv ABC di London menerima telepon dari
seseorang yang mengaku kepala Dinas Rahasia Libya. Pesan
teleponnya "Sadat sudah habis, revolusi sudah mulai di Mesir."
Berita serupa ini tentu saja mengejutkan rakyat Amerika.
Sebelumnya, melalui tv, mereka mendengar bahwa Sadat hanya
terluka. Suasana emosional melanda Washington hari itu. Dan
orang yane paling banyak bicara di tv adalah bekas Menlu Henry
Kissinger. Sasaran serangannya tentu saja Pemimpin Libya Muammar
Qaddafi. "Kalau Qaddafi dibereskan dua tahun yang lalu, atau
tahun ini, pasti Sadat masih hidup," kata Kissinger .
SUARA yang sama juga dikemukakan bekas Presiden Jimmy Carter.
Sembari menyebut _ Qaddafi 'binatang tak bermo ral', Carter
menyatakan bahwa perdamaian tak akan pernah tercapai selagi
Qaddafi dibiarkan merajalela. Ia rupanya begitu yakin bahwa
Qaddafi mendalangi pembunuhan Sadat, meskipun pihak keamanan
Mesir menyatakan bahwa pembunuhan itu tak ada kaitannya dengan
siapa pun di luar negeri.
Namun kepergian Sadat sangat menyedihkan rakyat Amerika. Di
berbagai kota diselenggarakan upacara berkabung bersama antara
umat beragama (Islam, Kristen dan Yahudi). Hal ini betul-betul
berbeda dengan apa yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah.
Di Beirut, ratusan orang kelompok sayap kiri berpawai sambil
menembakkan peluru ke udara. Mereka meneriakkan kemenangan atas
terbunuhnya Sadat. Komentar koran As-Safir yang terbit di Beirut
dalam tajuknya "Ini adalah harapan kita bahwa jatuhnya Sadat
akan berarti hancurnya sebuah rezim. Dan itu juga akan berarti
hancurnya perdamaian dengan Zionis yang diprakarsainya secara
pribadi." Sementara itu PM Libanon, Shafiq Al Wazzan, menyatakan
"adalah Camp David yang membunuh Sadat." Dari Suriah pernyataan
keras juga terdengar.Koran Ticbrin menyebut kematian Sadat
sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari bagi berakhirnya
pernjanjian Camp David.
Sejak kunjungan Presiden Sadat ke Jerusalem, November 1977,
Mesir dikucilkan dari pergaulan negara Arab. (Lihat Kejutan Anak
Petani). Namun Sadat yang dikenal sebagai 'pahlawan di masa
perang dan damai' tak surut walau selangkah. Bahkan ketika
Israel mengumumkan perluasan ibukotanya sampai meliputi kota tua
Jerusalem, Sadat hanya marah sebentar. Dan ia menghentikan
perundingan Mesir-Israel selama beberapa bulan. Ia juga tak
peduli dengan sebutan 'pengkhianat' yang selalu dituduhkan
pemimpin negara Arab--yang menolak perjanjian Camp
David--kepadanya. Kesungguhan Sadat menciptakan perdamaian di
Timur Tengah tak diragukan.
Di Israel, kelompok ultranasionalis mendesak pemerintahnya agar
membaulkan perjanjian Camp David setelah kematian Sadat. Mereka
juga mendesak agar dibatalkan penyerahan Semenanjung
Sinai--menurut rencana selesai 26 April 1982--kepada Mesir. Para
pemukim di bagian utara Semenanjung Sinai bahkan bertekad untuk
tetap bertahan. Semula ada rencana Pemerintah Israel memindahkan
mereka sebelum sisa wilayah itu dikembalikan kepada Mesir. "Saya
percaya tak akan ada evakuasi dari Sinai," kata Uri Elitzur,
sekretaris gerakan yang menolak keluar dari Sinai. "Situasi
sangat tak stabil."
Ella Weizman, wakil organisasi itu di Sidot, Sinai Utara, sempat
mempertanvakan: "Bagaimana Israel bisa bersandar pada perjanjian
itu bila kita tidaktahu siapa yang akan berkuasa di Mesir dari
hari ke hari."
Kesangsian serupa ini berkembang. Rafael Eitan, Kepala Staf AB
Israel, bahkan sebelum kematian Sadat, mengatakan bahwa
perjanjian perdamaian ini akan hancur bila pemerintahan Sadat
jatuh. Soalnya, kata Eitan, perjanjian itu dibuat bukan dengan
dukungan rakyat Mesir tapi melulu karena dorongan Sadat.
Namun pemerintah Israel mencoba meyakinkan Mesir bahwa dengan
kematian Presiden Sadat tidak akan terganggu proses perdamaian
yang sedang berjalan. PM Menachem Begin dalam pesannya kepada
Wakil Presiden Husni Mubarak merasa perlu mengulangi kata-kata
yang pernah diucapkan Sadat. "Tidak akan ada perang lagi. Mari
kita adakan perdamaian untuk selama-lamanya. Ini adalah tujuan
suci yang harus kita isi."
Menunjukkan kesungguhan Israel, Begin--dengan segala
risiko--memberanikan diri hadir dalam upacara pemakaman Sadat.
Sebagai penganut agama Yahudi yang taat, Begin tak diperbolehkan
menggunakan kendaraan pada hari Sabath. Maka kehadirannva
menambah beban urusan bagi pemerintah Mesir. Ia terpaksa diberi
tempat tinggal khusus yang tak jauh dari tempat pemakaman.
Soalnya Begin pernah kena serangan jantung. Jalan kaki terlalu
auh akan membahayakan kesehatannya.
Para tamu negara yang menghadiri pemakaman itu umumnya datang
dengan iringan mobil dari tempat mereka menginap. Begin berjalan
kaki dari suatu tempat yang dirahasiakan dan berjarak hampir 1
km ke tempat pemakaman.
Kesungguhan iri juga ditampilkan Amerika Serikat. "Suatu
kekejaman ang luar biasa dan tragis bahwakekerasan serupa itu
harus mengenai seseorang yang merupakan simbol dari suatu
komitmen perdamaian," kata Presiden Ronald Reagan ketika
mendengar kematian Sadat. Reagan dan Wakil Presiden George Bush
tak bisa menghadiri pemakaman Sadat karena alasan keamanan, tapi
AS mengirimkan utusan yang tergolong besar. Bersama Menlu
Alexander Haig dan Menteri Pertahanan Caspar Weirberger, ikut
juga tiga orang bekas presiden. Yaitu Richard Nixon, Gerald Ford
dan Jimmy Carter. Memang AS sangat berkepentingan. Sebagai
sponsor Camp David, AS tentu saja tak menginginkan perjanjian
itu akan berakhir hanya karena tewasnya Sadat.
Husni Mubarak, calon tunggal sebagai pengganti Sadat, telah
memberikan jaminan bahwa ia akan meneruskan 'apa yang menjadi
impian Sadat'. (Lihat Penganti dan Penerus). Ini berarti akan
terjamin pula bantuan AS. Sejak tahun 1979, Mesir setiap
tahunnya mendapat bantuan ekonomi dari AS sebesar US$ 1 milyar,
termasuk untuk keperluan bahan makanan dan persenjataan.
Namun situasi dalam negeri Mesir belakangan ini tidak stabil.
Terutama sejak Presiden Sadat menangkapi 1.500 orang tokoh
oposisi, dari kalangan Koptik dan Islam fundamentalis. Bahkan
setelah kematian Sadat aksi perlawanan kelompok Islam
fundamentalis semakin mengeras. Beberapa jam setelah Sadat
dimakamkan, sekelompok orang bersenjata menyerang rumah Menteri
Dalam negeri, Nabawi Ismail.
Sementara itu di kota Asyut, kelompok Islam fundamentalis pekan
lalu menyerang beberapa pos polisi. Tak kurang 54 orang anggota
kepolisian yang tewas, menurut sumber di Kairo. Yang jelas aksi
kekerasan meningkat di berbagai tempat.
Anggota Islam fundamentalis, yaitu Letnan Khaled Al Istanbauly,
diduga membunuh Anwar Sadat, tokoh penentang arus itu. Almarhum
presiden itu ternyata tetap terkucil dari saudaranya bangsa
Arab. Tak seorang pun pemimpin negara Arab yang menghadiri
pemakamannya.
Ia dimakamkan dekat tugu pahlawan tak dikenal di Madina-Nasser.
Sesuai dengan tradisi, istrinya tak dibolehkan mendekati tempat
Sadat akan dikubur. Dari kejauhan Jihan Sadat hanya bisa menatap
dimasukkannya peti jenasah itu ke liang lahat. Ia tertegun, dan
kemudian menangis tersedu-sedu. Dan letusan meriam sebanyak 21
kali mengiringi kepcrgian Sadat untuk selama-lamanya.
Jihan dan anak-anaknya adalah orang yang paling berduka hari
itu. Meskipun secara diam-diam banyak orang menundukkan kepala
bagi perginya seorang 'pahlawan perdamaian'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini