Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Imbauan perdamaian dari kafiyeh arafat

Harus diakui, perundingan arab-israel mungkin dilangsungkan karena yasser arafat berani mengubah sikap. sudah di tahun 1988, dekat setelah mengumumkan berdirinya negara palestina, arafat mengakui negara israel.

11 September 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PLO bukan lagi organisasi teroris. Berubahkah PLO? Mungkin tidak. PLO masih juga yang dulu, yang sebagaimana berkali-kali dikatakan oleh Yasser Arafat, PLO bukan kelompok teroris karena perjuangan banyak jalannya, antara lain dengan senjata. Perubahan terjadi karena sudut pandang yang ditawarkan oleh Menteri Luar Negeri Israel, Shimon Peres. Kata Peres beberapa hari lalu, di Timur Tengah masih ada konflik antara dua kekuatan, tapi bukan lagi antara Arab dan Israel. Melainkan, ''antara mereka yang mendukung perdamaian, dan mereka yang hendak mematikan perdamaian.'' Tapi bila sudut pandang yang ditawarkan Peres kemudian seperti diterima banyak pihak, sebenarnya memang ada perubahan dalam PLO. Tepatnya, perubahan sikap Yasser Arafat. Dulu, dalam Kongres ke-18 Dewan Nasional Palestina di Aljazair, April 1987, Arafat mengambil langkah persatuan dalam PLO. Untuk merangkul kembali faksi-faksi radikal yang bertahun- tahun menyempal, Arafat memenuhi permintaan mereka untuk, antara lain, menuntut Mesir agar meninggalkan Perjanjian Camp David. Waktu itu dua pemimpin radikal, Nayef Hawatmeh dan George Habash, berangkulan dengan Arafat. Toh sebenarnya PLO belum utuh juga. Abu Nidal yang terkenal itu tetap emoh rujuk. Waktu itu reaksi Mubarak sama kerasnya. Segera menutup perwakilan PLO di Kairo. Arafat berani melakukan rujuk ini karena ada jaminan dari Uni Soviet yang waktu itu masih, ditafsirkan oleh dunia, segar bugar. Tak jelas sebenarnya tujuan rujuk Arafat waktu itu. Tak usah terlalu pintar untuk mengetahui, bergabungnya faksi radikal PLO itu hanya membuat Israel dan Barat makin susah diajak berunding, dan karena itu perjuangan memerdekakan wilayah pendudukan akan semakin sulit juga. Kemudian meledak peristiwa yang membuat dunia, termasuk masyarakat Barat, bersimpati pada perjuangan Palestina. Yakni intifadah, perlawanan dengan batu, yang digerakkan oleh Hamas, kelompok Islam militan di wilayah pendudukan. Anak-anak muda yang hanya bersenjatakan batu tapi dilawan oleh tentara Israel dengan peluru sebenarnya itu memang merebut simpati. Hingga Menteri Luar Negeri Swedia, yang berkunjung ke Gaza, Maret 1988, bertekad mengupayakan perdamaian. Mungkin, melihat perjuangan dengan kekerasan selama ini tak menghasilkan apa-apa, dan melihat bagaimana Mesir bisa memperoleh kembali Gurun Sinai, gagasan dari Swedia mulai dipikirkan oleh Arafat. Dan sebenarnya saja Arafat mulai melihat peluang bahwa Israel sebenarnya juga bisa diajak berunding. Buktinya, ketika ia menawarkan informasi hilangnya tiga tentara Israel di Libanon tahun 1982, segera disambut Yitzhak Shamir, waktu itu menjabat Perdana Menteri Israel. Shamir mengirimkan Ahmad Tibi, warga Israel keturunan Arab. Pertemuan berlangsung di Tunisia, Januari 1988. Tibi langsung bertemu dengan Arafat dan orang kedua PLO, Abu Jihad (tiga bulan kemudian Abu Jihad ditembak mati oleh dinas intelijen Mossad di apartemennya). Pertemuan ini buntu, tapi merupakan bukti bahwa pertemuan antara PLO dan Israel bisa diupayakan. Mungkin itu sebabnya pendekatan Norwegia pada PLO disambut baik. Bahkan November 1988 Khalid Hassan, yang berunding dengan wakil Norwegia di Stockholm, menyetujui usulan dalam perundingan itu agar PLO mengakui adanya negara Israel sesuai dengan Resolusi PBB 242 dan 338. Khalid Hassan menyetujui ini tentu saja bukannya tanpa tujuan. Waktu itu sudah matang direncanakan untuk menyatakan berdirinya negara Palestina meski tanah airnya masih berada dalam kondisi diduduki pihak Israel. Deklarasi negara Palestina itu direncanakan diumumkan pada bulan November itu juga. Akhirnya deklarasi negara Palestina diumumkan di Aljier, sekitar pertengahan November 1988. Pada kesempatan itu Arafat pun menyatakan mengakui adanya negara Israel. Sambutan negara- negara Arab simpatik. Tapi Israel dan AS tetap bungkam karena pernyataan Arafat dianggap belum mewakili PLO, apalagi dalam konstitusi PLO masih ada pasal yang (sampai sekarang ini diminta dicabut oleh Israel) mengatakan hal pengusiran Yahudi dari seluruh Tanah Palestina. Maka para diplomat, terutama dari Swedia, terus berupaya agar Arafat memberikan pernyataan resmi mengakui negara Israel agar perundingan bisa dilakukan. Desakan ini, juga desakan dari negara-negara Arab, membuat Arafat memenuhi permintaan itu. Dipilihlah waktu yang tepat, yakni dalam Sidang Umum PBB di Jenewa, 13 Desember 1988. Maka, hari itu Arafat menyatakan pengakuan adanya negara Israel. Di AS, Menteri Luar Negeri George Schultz sudah siap menyatakan kesediaan bertemu dengan PLO. Tapi, tunggu punya tunggu, kalimat yang ditunggu dari Arafat tak juga muncul, yakni ''Saya sebagai pemimpin PLO....'' Di sini muncul anekdot. Konon Arafat bukannya tak mau pernyataannya adalah pernyataan resmi PLO, tapi semata soal bahasa. Husni Mubarak mengatakan kepada George Schultz, Arafat sudah mengucapkan itu, cuma kuping orang Barat tak menangkapnya. Jadi? Bagaimana kalau pernyataan diulang? Semua pihak setuju. Dan agar tak terjadi salah paham lagi, pernyataan dalam bahasa Inggris itu dituliskan oleh para diplomat Barat. Arafat mengiyakan saja karena ia tak mau kehilangan suasana ketika semua pihak ingin damai. Walhasil, 14 Desember di Jenewa dalam sebuah konferensi pers, PLO resmi mengakui adanya negara Israel, dan berjanji tak akan melakukan apa yang oleh Barat disebut aksi terorisme. Tentu saja faksi radikal PLO, yang sudah mau rujuk, kembali menyempal. Dari titik itulah sebenarnya Konferensi Damai Timur Tengah dirintis, dengan sponsor utama AS. Tapi baru ketika James Baker jadi Menteri Luar Negeri AS, yang berani menekan Israel dengan tak mencairkan pinjaman lunak sebesar US$ 10 miliar, konferensi terwujud. Tapi dasar Israel, sampai pemerintahannya berubah dari Likud ke Partai Buruh, tahun lalu, langkah besar kompromi Arafat tak diimbangi. Baru kini, setelah ada terobosan yang sumber idenya adalah Norwegia, saling pengakuan kedua pihak terbuka. Langkah lain Arafat yang siap kompromi demi perdamaian itu terjadi beberapa pekan lalu. Ia mengangkat delegasi Palestina untuk Konferensi Damai sebagai pejabat senior PLO. Maka, otomatis, tanpa harus tawar-menawar yang bisa memakan waktu lama hanya karena, mungkin, untuk sekadar menyelamatkan muka, perundingan antara Israel dan PLO yang ditabukan itu pun terjadi pekan lalu. Pengakuan Israel pada PLO, oleh sejumlah pengamat dianggap sama besarnya dengan runtuhnya Tembok Berlin di akhir tahun 1980-an. Bila runtuhnya Tembok Berlin menyebabkan antara lain bersatunya Jerman dan habisnya komunisme di Eropa Timur, bisakah terobosan Arafat membawa damai di Timur Tengah? Itu harapan banyak pihak. Sebuah pengumpulan pendapat baru-baru ini di Yerusalem, yang disebarkan di antara orang-orang Yahudi, menyimpulkan, sekitar 53% responden menginginkan damai dengan Palestina. Dja'far Bushiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus