Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengapa gaza-jericho dulu?

Di gaza dan jericho emigran yahudi terhitung sedikit, itu sebabnya lebih mungkin dilakukan eksperimen otonomi pemerintahan palestina. dan tampaknya israel untung, karena nilai ekonomi dua wilayah ini minus.

11 September 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

''AKU yakin, tak bakal sulit hidup di bawah Yasser Arafat,'' kata Anita Tucker. Wanita Yahudi yang periang ini sama sekali tak berniat angkat kopor bila Arafat masuk Gaza. Bersama suami dan lima anaknya, Anita ingin terus mengurus kebun keluarga organik (kubis dan tomat organiknya sebagian diekspor ke Eropa) yang terletak di Gush Katif, salah satu permukiman Yahudi di Jalur Gaza. Anita tak sendiri. Paling tidak, semua warga Gush Katif yang diwawancarai Washington Post pekan lalu juga tak menanggapi dengan serius kemungkinan berevakuasi seandainya, sesuai dengan perundingan Israel-PLO di Washington dan Oslo, pemerintahan otonomi Palestina jadi berdiri di Gaza. Buat sebagian besar dari sekitar 5.300 keturunan Yahudi di Gaza, wilayah yang luasnya hanya 380 km persegi itu, sekitar setengah luas DKI Jakarta, memang menawan. Daya tariknya macam- macam. Michel Bloch, 59 tahun, misalnya, sejak dulu bercita-cita tinggal di kibutz (permukiman kolektif Yahudi) yang tenang dengan rumah murah tapi keamanannya sempurna. Dua tahun lalu mimpinya terwujud. Di Gaza, ia menikmati masa pensiunnya di rumah bertaman luas yang menghadap ke Laut Tengah. Rumah ini terletak dalam kibutz yang dikelilingi pagar kawat berduri dan pengawalan ketat oleh tentara Israel. ''Kayak di surga saja,'' komentar Bloch. Sedangkan Boris Gamov punya alasan berbeda untuk tinggal di Gaza. Seperti Yahudi asal Soviet lainnya, yang berdatangan ke Israel sejak tahun 1990, Boris yang beremigrasi dari Moldavia ini tak punya duit banyak. ''Kami ingin bermukim di lain tempat, tapi tak punya pilihan,'' ujarnya. Di Gaza, ia dan istrinya, Ulga, dapat tinggal di rumah-karavan berkamar tiga dengan sewa hanya US$ 40 per bulan. Sebenarnya Gaza, bagi Israel, memang hanya nilai pertaniannya yang bisa dipetik. Dan itu pun terbatas jeruk sitrun, tomat, dan kubis. Komoditi pertanian itu, ditambah produk industri rakyat: tekstil, sabun, dan kerajinan tangan hanya menghasilkan ekspor senilai US$ 30 juta per tahun. Sedangkan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, Gaza yang dihuni sekitar 682.000 warga Palestina (data tahun lalu), selain 5.300 Yahudi yang tak punya stasiun radio dan TV ini perlu mengimpor senilai US$ 255 juta. Defisit ini tentu saja harus ditutup oleh Pemerintah Israel. Belum terhitung subsidi untuk biaya pembangunan permukiman Yahudi yang makin membengkak dengan mengalirnya emigran dari bekas Uni Soviet. Tak kurang dari US$ 80 juta per tahun harus disisihkan oleh Pemerintah Israel untuk menyubsidi emigran Yahudi di Gaza. Selain itu ada pengeluaran lain yang harus, yakni dana operasi militer di sini. Tak jelas berapa besarnya, tapi dana keamanan untuk wilayah pendudukan seluruhnya sekitar US$ 53 juta per tahun. Di Gaza hampir tak ada alasan bagi orang Palestina untuk berwajah ramah. Hidup sehari-hari memang tak pernah mudah untuk bangsa terjajah. Setiap pukul 5 pagi, ribuan warga Palestina antre di pos pemeriksaan Erez, perbatasan Jalur Gaza dengan Israel. Setelah kartu identitas bermagnet dan izin bepergian mereka diperiksa dan dinyatakan absah, di bawah tatapan serdadu Israel yang bersenapan mesin, sebagian dari mereka satu per satu bergerak memasuki bus-bus berwarna kuning, yang akan membawa mereka ke tempat bekerja sebagai buruh kasar di Qiryat Gat sampai Tel Aviv, wilayah Israel. Sebagian yang lain menuju sebuah lapangan di seberang pagar (sebutan lokalnya tak berlebihan: ''pasar budak''). Di sana para mandor konstruksi sudah menunggu calon buruh harian yang mau menerima upah paling murah. Setelah lahan-lahan yang subur dirampas untuk kebun dan kibutz, yang tersisa bagi orang Palestina hanyalah kamp pengungsi kumuh dan tingkat pengangguran yang mencapai 20% dari angkatan kerja. Apalagi setelah Perang Teluk, pihak keamanan Israel memperketat izin bepergian bagi mereka. Akibatnya, 40.000 orang Palestina kehilangan pekerjaannya di Israel. Kepahitan ekonomi ini tampaknya menjadi salah satu unsur pengobar intifadah. Gerakan perlawanan dengan batu ini, lewat sebuah deklarasi, menjadi ''resmi'' sebagai gerakan rakyat Palestina sejak Desember 1987. Namun sebenarnya, aksi-aksi seperti ini sendiri sudah dimulai di Gaza sejak tiga tahun sebelumnya. Begitu Perjanjian Camp David ditandatangani Anwar Sadat dan Menachem Begin, batu-batu pun telah mulai dilontarkan remaja Palestina ke arah tentara pendudukan Israel di Gaza. Remaja Palestina di Gaza adalah pejuang intifadah yang paling militan sampai saat ini. Merekalah konon anggota Hamas (Harakah Muqawammah Islamiyah, Gerakan Perlawanan Islam), sayap militer organisasi sosial Mujama al Islami yang menginginkan berdirinya negara Islam Palestina. Putus asa dan bayangan masa depan yang suram membuat remaja Palestina di Gaza lebih cocok dengan ide-ide Hamas, yang tak menyiratkan adanya keinginan untuk berkompromi dengan Israel. Bagi mereka, ''PLO hanya menghabiskan waktu dan biaya di hotel berbintang lima untuk berunding dengan Israel.'' Perkembangan militansi di kalangan remaja Palestina di Gaza ini jelas sulit diabaikan begitu saja. Dan kelangsungan otonomi pemerintahan di Gaza (dan Jericho) untuk menjadi negara Palestina berdaulat tampaknya bergantung pada pemecahan soal ini. Lalu bagaimana dengan Kota Jericho di Tepi Barat? Yang segera terasa adalah perbedaan antara permukiman warga Palestian dan emigran Yahudi. Dari balik pintu sebuah rumah yang terbuka tampak sebuah kulkas berwarna kusam dengan televisi tua teronggok di bufet ruang tamu. ''Di sini aliran air dan listrik dibatasi. Beda dengan di permukiman Yahudi sebelah sana,'' kata seorang ibu sambil menunjuk sebuah kompleks yang tak begitu jauh, dengan fasilitas penerangan dan air minum yang jauh lebih baik. Jericho, tak seperti namanya yang berarti kota yang harum, termasuk kota yang kumuh. Tak ada sumber alam di kota yang berpenduduk 15.000 jiwa itu. Sebagian tanah bisa ditanami dengan pisang atau jeruk. Tapi mutunya buruk sehingga tidak laku dijual ke Israel. Terpaksa buah itu dijual ke Yordania. Tapi di sini pun buah itu kalah bersaing dengan buah impor dari Costarica atau negara Amerika Latin lainnya. Jericho, kota kuno yang diperkirakan sudah dihuni sejak tahun 9000 sebelum Masehi, semula keadaan ekonominya tak mengecewakan. Sewaktu masih dikuasai oleh Yordania, sebelum perang tahun 1967, kota ini menjadi tempat wisata. Tapi, sejak masuknya Israel, wisata tinggal menjadi kenangan. Penduduk harus mempunyai kartu identitas khusus. Pelancong enggan datang. Pariwisata pun menjadi lesu. Industri kerajinan dan hotel menjadi anjlok. Yang datang berkunjung paling-paling penduduk Yerusalem, 60 km dari Jericho, yang mencari udara pantai. Maret lalu, sebagai akibat makin maraknya intifadah, Israel menutup Jericho. Penduduk Yerusalem tak lagi bebas berkunjung ke Jericho, demi keamanan. Maka para pemilik penginapan dan pembuat barang kerajinan mengeluh karena usahanya makin turun. ''Kalaupun ada yang membeli barang ke toko saya, paling dia hanya membeli barang kebutuhan pokok, macam susu atau roti,'' kata seorang pemilik toko kelontong. Seperti halnya di daerah pendudukan lain, sikap anti-Israel pun juga muncul di sini. Suatu hari, di sebuah pasar becek, tak jauh dari permukiman yang disebut di atas, beberapa pemuda Arab tampak berkumpul dan mengobrol. Beberapa pedagang kaki lima tampak menjual hasil bumi: jagung rebus, sayur-mayur. Mereka berhenti mengobrol begitu serombongan prajurit Israel lewat. Pemuda Arab itu membalikkan muka, lalu berdehem. Beberapa ada yang berani melempar dengan jagung rebus. Mereka tampak tidak suka terhadap tentara Israel. Secara keseluruhan, keadaan Tepi Barat mirip dengan Jericho: tak ada sumber alam yang bisa diandalkan. Yang bisa diperdagangkan, paling-paling, adalah jagung, sayur, jeruk. Maka, secara ekonomi, Israel tidak bakal rugi untuk mengembalikan Tepi Barat seluruhnya, yang luasnya 5.860 kilometer persegi atau lebih sedikit dari sembilan kali Jakarta. Menurut data Juli 1992, di wilayah Tepi Barat bermukim 1,4 juta warga Palestina. Menurut data Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) Mei 1993, 40% di antaranya berstatus pengungsi. Di samping itu terdapat 95.000 Yahudi pendatang, ditambah 132.000 ribu di Yerusalem Timur, yang kini dianeksasi dengan Yerusalem Barat dan dijadikan ibu kota Israel. Membandingkan permukiman Yahudi dengan Palestina memang terasa pincang. Orang-orang Palestina hanya ditempatkan di kamp-kamp. Di Dheisheh, sebuah kamp pengungsi dekat Bethlehem, misalnya, sejauh mata memandang hanya kelihatan semak-semak. Tak ada pohon. Tentara tampak hilir-mudik membawa senapan di pundak. Bandingkanlah dengan Ariel, satu jam naik mobil ke arah utara Yerusalem dan merupakan salah satu permukiman Yahudi terbesar yang dihuni sekitar 15.000 jiwa. Pohon zaitun tampak menghiasi permukiman yang dijaga ketat oleh tentara itu. Menara air tampak menjulang tinggi. Permukiman ini juga dilengkapi dengan sarana kesehatan dan perdagangan. Perlakuan tak adil juga dialami di bidang perdagangan. Pemerintah Israel mengenakan pajak yang berbeda besarnya bagi pengusaha Palestina dan Israel. Pengusaha keturunan Arab dikenai pajak 50%, sedangkan keturunan Israel hanya 10%. Pekerja kasar Arab, yang bekerja sebagai tukang cat, pembantu rumah tangga, juga dikenai pajak yang sama, padahal gaji mereka hanya sekitar 500 shekel (sekitar Rp 400 ribu). Itu jumlah yang kecil, hanya cukup untuk makan 17 piring salad dan daging, yang harganya 30 shekel sepiring. Dengan mengesampingkan masalah Yerusalem, yang oleh Arafat diharapkan bisa menjadi ibu kota bersama nanti, melihat kenyataan yang ada, mungkinkah berdiri sebuah negara Palestina di Gaza, dan Tepi Barat? Jika Anda bertanya kepada seorang laki-laki berusia 50 tahun di Ramallah, sebuah kota di Tepi Barat yang disebut sebagai kota Palestina yang paling terpelajar, jawabnya ''bisa''. Kata orang itu kepada wartawan Barat yang mewawancarainya, ''Yahudi dan Islam dulu pernah bersaudara. Tapi kenapa kini saling membunuh?'' Memang diperlukan menghapus konsep Israel Raya ataupun Palestina Raya. Dan, untuk sebagian orang, itu tak mudah. Yang layak dicatat, tampaknya dunia sangat antusias pada perubahan sejarah Timur Tengah ini. Sejumlah negara sudah menyiapkan dana untuk membantu pembangunan di Gaza dan Jericho, dan nanti Tepi Barat. Lima negara Skandinavia sudah bersedia menyumbangkan 92 juta poundsterling untuk membantu PLO dan membangun tranportasi serta fasilitas energi di Gaza dan Jericho. Juga Perancis dan Belgia siap menyediakan dana. Ivan Haris dan Iwan Qodar Himawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus