SEBUAH sejarah baru Timur Tengah sedang diukir. Perjuangan 45 tahun bangsa Palestina hari-hari ini menampakkan buahnya. Dan di Washington, tempat para perunding Palestina, Suriah, Yordania, dan Israel bertemu, pekan lalu, ketegangan yang biasanya hadir digantikan oleh rasa tidak percaya bahwa langkah menuju perdamaian akhirnya bisa juga dilakukan. Ironisnya, langkah menuju perdamaian itu tidak lahir di Washington, sebagai tempat pertemuan formal, tapi di Oslo, Norwegia. Soal perundingan di Oslo yang sangat dirahasiakan itu diungkapkan sendiri di Yerusalem oleh Perdana Menteri Yitzhak Rabin akhir dua pekan lalu, dan ditulis di surat-surat kabar Israel, awal pekan lalu. Dari hasil di Oslo itulah Rabin menyatakan, Pemerintah Israel siap memberikan otonomi pada Palestina di Jalur Gaza dan Kota Jericho di Tepi Barat. Segera saja berita itu menjadi kejutan di seluruh dunia. Dan di Washington berita itu diterima sehari sebelum perundingan dimulai, dan semuanya saja, delegasi Palestina dan Arab, maupun Israel, kaget. Maka, untuk pertama kalinya, setelah perundingan pertama diadakan di Madrid hampir dua tahun lalu, dan rasa permusuhan masih mewarnai pertemuan-pertemuan, dalam perundingan putaran ke-11 kali ini, muncul kecanggungan, gurauan, dan lamunan tentang sebuah Timur Tengah yang normal di antara para delegasi. ''Jangan-jangan, kita nanti mendengar berita Rabin dan Arafat bertemu Elvis Presley dalam sebuah piring terbang,'' kata seorang diplomat, yang menjadi anggota delegasi perunding Israel, yang menginap di Hotel Mayflower. Pertemuan puncak Palestina-Israel itu, yang sampai akhir pekan lalu sebenarnya belum terbayangkan, menjadi gambaran yang sensasional lebih dari pertemuan Anwar Sadat dan Menachem Begin, sekitar 15 tahun yang lalu. Di kamar 867 di hotel tersebut, Selasa pekan lalu, anggota delegasi Israel yang lain menanggapi perkembangan dengan lebih serius. Mereka berdoa bersama, bersyukur. ''Kami telah menorehkan sebuah bagian penting dalam sejarah Timur Tengah,'' kata Eli Avidan sambil melipat kertas doanya, dan turun ke lobi bersama delegasi lain untuk sarapan pagi. Di antara mereka adalah Eitan Bentsur, ketua delegasi, yang baru saja mengirimkan ucapan selamat kepada Perdana Menteri Yitzhak Rabin, melalui mesin fax. ''...Selamat dan bahagia. Semoga Tuhan memberkati kita dan rakyat Israel,'' pesannya. Malam harinya sejumlah wartawan Israel mengobrol di lobi hotel yang menjadi markas delegasi Israel. Sambil minum-minum, mereka mengumbar percakapan. Seorang wartawan melemparkan pertanyaan: siapa kira-kira yang bakal menjadi duta besar Israel di Damaskus dan Beirut? Yang lain tak mempedulikan politik dan diplomasi, melainkan membayangkan nikmatnya berjemur di Bahrain, satu negara di Teluk Persia, yang, sebagaimana umumnya negara Arab, sejauh ini tak memberikan visa pada orang Israel. Juga delegasi Palestina, yang menginap di Hotel Ana, menanggapi perkembangan perundingan ini dengan bermacam-macam sikap. Mereka baru saja mendapatkan berita yang mengejutkan itu, yang lebih rinci, dari sebuah harian berbahasa Ibrani yang diterjemahkan oleh seorang wartawan Israel. ''Wah, perasaan kami campur aduk,'' ujar Mamduh Aker, perunding senior Palestina. Sejumlah pertanyaan berputar di kepalanya. Bagaimana mungkin pengorbanan dalam perang selama 45 tahun dengan Israel berakhir hanya untuk Gaza dan Jericho? Malam itu, Aker tak bisa tidur. Sampai pagi, ia membolak-balik buku biografi Mufti dari Yerusalem, pemimpin nasionalis Palestina di zaman penjajahan Inggris, di tempat tidurnya. ''Apa yang terjadi hari-hari ini?'' Saking bingungnya, sampai-sampai ''Kami tak bisa mengatakan apa-apa ketika bertemu dengan delegasi Israel tadi pagi,'' tutur Seb Erakat, anggota yang lain. ''Kami hanya omong sebentar lalu minum kopi,'' katanya lagi sambil menyeberang ke Grand Hotel, untuk berkonsultasi dengan delegasi Suriah. Anggota delegasi Palestina yang lain merenungkan perdamaian sambil mendengarkan lagu Casablanca dari sebuah permainan piano di teras hotel. Lain lagi cara Hanan Ashrawi, ahli sastra Barat yang kini dikenal sebagai juru bicara delegasi Palestina yang piawai itu, yang mengaku ''sangat terkejut'' mendengar perundingan rahasia Oslo. Ia sibuk menyantap udang pedas di sebuah restoran Cina di luar hotel. Ia mengaku seharian tadi tak punya nafsu makan, kecuali menyedot rokok tak habis- habisnya, begitu mendengar bahwa penandatanganan saling pengakuan Israel dan Palestina tinggal menunggu detail yang tidak prinsip lagi. Ada yang lebih santai. Itulah Haidar Abdel Shafi, ketua delegasi perunding Palestina. Sambil makan malam bersama rekannya, ia membayangkan di Gaza nanti dibangun sebuah lapangan terbang internasional, yang akan segera ramai oleh para pelancong dari seluruh dunia. Sambil menatap bulan di langit Washington malam itu, ia membayangkan sebuah malam perayaan yang dipenuhi kembang api, menandai lahirnya Negara Palestina. Direncanakan perundingan putaran ke-11 ini berakhir Kamis pekan ini. Diramalkan, sebelum hari terakhir perundingan sebuah pernyataan saling mengakui keberadaan masing-masing akan diteken. Secara formal, itulah awal sebuah sejarah baru hubungan Palestina-Israel, sebuah awal lahirnya Negara Palestina, yang bentuknya masih perlu dirundingkan: sebuah konfederasi dengan Yordania, atau negara yang berdiri sendiri. Sebuah awal yang masih harus melewati rintangan di kedua belah pihak: kelompok ekstrem kanan Israel yang dipimpin oleh partai kanan Likud kelompok militan Hamas di wilayah pendudukan, dan organisasi radikal dalam PLO. Dan, sekali lagi, itu dimungkinkan karena perudingan rahasia enam bulan di Oslo. Deklarasi dari Sebuah Rumah Kuno DILIHAT dari luar, rumah kuno yang terbuat dari kayu dan berhalaman luas di tenggara Oslo, ibu kota Norwegia, itu memang seperti rumah biasa. Penduduk sekitarnya hanya tahu bahwa rumah kuno yang lampunya sering menyala hingga larut malam itu dihuni dua orang profesor yang tengah menulis sebuah riset. Tak seorang pun tahu kelak, rumah kuno berlantai kayu yang di dalamnya berisi sejumlah lukisan antik itu bakal menjadi tempat bersejarah. Di rumah inilah, antara lain, digodok kesepakatan PLO dan Israel yang kemudian disebut Deklarasi Prinsip, deklarasi yang merinci prinsip-prinsip otonomi Jalur Gaza dan Jericho, sebagai pegangan pokok otonomi di Gaza dan Jericho, yang diharapkan menjadi awal proses berdirinya negara Palestina merdeka. Inilah proses jalan perdamaian itu: Awal 1990-an. Adalah FAFO, Institut Norwegia untuk Ilmu Terapan, yang mengadakan penelitian tentang kondisi hidup di wilayah pendudukan. Untuk mendapatkan izin penelitian ini, Terje Rod Larsen, direkturnya, menemui Yossi Beilin, waktu itu anggota parlemen Partai Buruh. Juli 1992. Berdiri pemerintahan Partai Buruh di Israel, yang memenangkan pemilu di bulan sebelumnya. Yitzhak Rabin menjadi perdana menteri, Shimon Peres menteri luar negeri, dan Beilin diangkat sebagai wakil menteri luar negeri. Hubungan Larsen dengan Pemerintah Israel pun semakin erat. Sebagai wakil menteri luar negeri, Beilin, menurut harian Washington Post, banyak membaca teleks dari delegasi Israel yang mengabarkan bahwa perundingan damai tak mencapai kemajuan sedikit pun. Di sekitar waktu inilah Beilin mulai pesimistis, perundingan akan gagal. 10 September 1992. Egeland, seorang diplomat Norwegia, menemui Beilin di Tel Aviv. Maksud sebenarnya, membicarakan kelanjutan riset FAFO. Di antara pembicaraan itu disinggung pula soal perundingan Timur Tengah yang macet. Egeland menawarkan jasa sebagai jembatan antara Israel dan PLO karena sejauh itu Norwegia punya hubungan sangat baik dengan kedua pihak. PLO memang sudah lama mempunyai perwakilan di Norwegia. Beilin menyambut tawaran Egeland. Tapi, katanya, sejak tahun 1986 orang Israel dilarang menemui PLO. Kalau begitu, kata Egeland, pertemuan diadakan secara informal, dan dirahasiakan. Beilin setuju, dan akhirnya dialah koordinator di pihak Israel untuk pertemuan informal di Oslo ini meski ia sendiri tak pernah hadir. Sementara itu, di sisi lain, Shimon Peres, yang dalam soal konflik Palestina-Israel hanya ditugasi mengurusi hal-hal di luar politik, seperti soal pembagian air dan masalah pengungsi, tak tinggal diam. Ia menjalin hubungan dengan Ahmad Krai, pejabat senior PLO, yang ditugasi Arafat mengurusi hal yang sama dengan Peres. Hubungan ini kemudian menjadikan Krai penghubung antara Arafat dan Israel. Dua hal itulah kemudian yang menjadikan gagasan Egeland terwujud. Dan agak mengejutkan juga, Rabin, yang biasanya sulit menerima terobosan, kali ini mendukung. Salah satu alasannya, ia menyimpulkan para wakil dari wilayah pendudukan tak menghasilkan keputusan apa pun. Bisa jadi rencana inilah yang kemudian membuat Rabin mencabut undang-undang yang melarang orang Israel bertemu dengan anggota PLO, 19 Januari 1993. Yang jelas, pencabutan itu mempercepat pertemuan di Oslo, dan tetap dirahasiakan. 20-22 Januari 1993. Pertemuan Oslo dibuka pertama kali, mempertemukan wakil Israel yang bukan orang pemerintah, dan wakil PLO. Dalam acara dikatakan, pertemuan untuk membahas kondisi sosial ekonomi di wilayah pendudukan. Tapi Larsen, ketua FAFO itu, mendapat kesan kuat, yang membuatnya optimistis, ''Kedua pihak ingin mengakhiri permusuhan.'' Akhirnya pertemuan ''ilmiah'' itu pun berubah menjadi pertemuan politis. Mulailah disinggung-singgung oleh wakil Israel bagaimana kalau Gaza dulu yang diberi otonomi. Pihak PLO menjawab, sebaiknya Gaza dan Tepi Barat. Pertemuan ditutup dengan keputusan, perundingan akan dibuka lagi Maret. Maret 1993. Perundingan kembali diadakan di Oslo. Kali ini beberapa pejabat Israel terlibat sudah. Antara lain Uri Savir, pejabat tinggi di kementerian luar negeri. Lalu Dedi Zucker, anggota parlemen. Di pihak PLO, selain Ahmad Krai, disebut- sebut nama Mahmoud Abbas alias Abu Mazen, pejabat senior PLO. Dimulailah perundingan yang serius, tapi santai. Agar tak menarik perhatian dunia, dipilihlah sebuah rumah kuno di pinggir kota, milik Johan Joergen Holst, suami salah seorang periset di FAFO. Kebetulan, atau memang ini sudah diduga, Holst diangkat menjadi menteri luar negeri, April 1993. Perundingan juga dilakukan di dua tempat lainnya: sebuah rumah pertanian di utara Oslo dan di Hotel Ozlo Plaza, lantai 32. Siang malam, selama berbulan-bulan, kedua delegasi yang bermusuhan itu, yang kabarnya tak lebih dari sepuluh orang, hidup rukun seperti sebuah keluarga yang sedang piknik. Sampai larut malam mereka membahas usulan damai masing-masing secara detail, diselingi minum bersama. Sekali-sekali polisi Norwegia berpatroli di hutan sekeliling rumah kuno itu, untuk menjaga jangan sampai pertemuan bocor ke luar. Mungkin karena niatnya untuk mencari jalan damai, perundingan ini kabarnya tak terusik oleh pembunuhan-pembunuhan di wilayah pendudukan yang meningkat selama Maret lalu. 20 Agustus 1993. Shimon Peres berkunjung ke Norwegia. Ia menyelinap ke sebuah wisma tamu, dan di kepadanya ditunjukkan rancangan Deklarasi Prinsip itu. Beberapa hari kemudian Shimon Peres terbang ke California untuk menjelaskan rancangan Deklarasi Prinsip itu kepada Menteri Luar Negeri AS, Warren Christopher. Bersamanya, Menteri Luar Negeri Norwegia Johan Joergen Hoslt dan Terje Rod Larse, Direktur FAFO. 28 Agustus 1993. Perundingan rahasia Oslo bocor ke tangan pers Israel. 30 Agustus 1993. PM Rabin menjelaskan rencana pemberian otonomi Gaza dan Jericho pada kabinetnya, sebagai hasil pertemuan rahasia di Oslo. 31 Agustus 1993. Perundingan damai putaran ke-11 dibuka di Washington. Para perunding kaget, bertanya-tanya, tapi kemudian siap mendukungnya, mendengar soal Oslo. Kecuali ketua delegasi Israel, mengundurkan diri. Sebuah langkah yang membuka sejarah baru meski tak hanya membuka satu jalan. Bila halangan bisa diatasi, suatu masa damai akan terwujud di Timur Tengah. Kemungkinan terburuk, bila penandatanganan tertunda-tunda, pemerintahan Rabin jatuh, PLO pecah, konflik Palestina-Israel akan kembali ke titik nol. Di Washington, kedua delegasi seperti sengaja menunda-nunda penandatanganan, mungkin untuk memberi kesempatan pada kedua belah pihak menyelesaikan masalah di pihak masing-masing. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini