Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Indonesia menyerahkan proposal 'Indonesian Paper' ke PBB dianggap sebagai sebuah tanggapan terhadap pakta keamanan AUKUS antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyebut hal ini terkait rencana Australia membuat kapal selam nuklir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam polemik Indo-Pasifik dengan Cina dan AUKUS, Hikmahanto menganggap posisi Indonesia bebas aktif karena semua negara adalah sahabat, sampai kepentingan nasional Indonesia terganggu.
Proposal 'Indonesian Paper' mengatur soal program kapal selam tenaga nuklir yang sedang berkembang belakangan ini.
"Kerja sama AUKUS ini mengganggu kepentingan nasional kita karena akan membangun kapal selam militer bertenaga nuklir," ujar Hikmahanto saat dihubungi Tempo, Senin, 1 Agustus 2022.
Hikmahanto Juwana .(Andika Pradipta/TEMPO)
'Indonesian Paper' disampaikan dalam 10th Review Conference of the Parties to the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT RevCon) di New York, pada 1 Agustus - 26 Agustus 2022. Dokumen itu diajukan dalam bentuk kertas kerja (working paper) berjudul “Nuclear Naval Propulsion".
NPT RevCon adalah Konferensi untuk mengkaji implementasi perjanjian pembatasan kepemilikan senjata nuklir yang digelar setiap lima tahun sekali sejak 1975.
Dalam pernyataannya, Indonesia tidak merujuk secara langsung proposal ini sebagai tanggapan atas AUKUS. Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Tri Tharyat, dalam keterangan pers Minggu, 31 Juli 2022, menyampaikan, ada 3 tujuan dari kertas kerja tersebut.
Pertama, untuk mengisi kekosongan aturan hukum internasional terkait kapal selam bertenaga nuklir. Kedua, membangun kesadaran atas potensi risikonya. Ketiga, menyelamatkan nyawa manusia dan kemanusiaan.
Kementerian Luar Negeri RI dalam keterangannya menyatakan, posisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menambah tingkat kerentanan atas potensi risiko meningkatnya program kapal selam bertenaga nuklir. Oleh karenanya, dokumen ini diproyeksikan sebagai upaya untuk memperkuat sistem dan semangat multilateralisme yang saat ini terus tergerus.
Sedangkan menjawab pertanyaan Tempo pada Senin 1 Agustus 2022, apakah latar belakang pengajuan 'Indonesian Paper' ini merupakan sebuah respons terhadap AUKUS, Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI Achsanul Habib, membantahnya.
Menurut dia, inti perhatian Pemerintah Indonesia adalah isu saving lives. Pasalnya, ada potensi bahaya yang dapat menimpa negara-negara yang dilalui saat proses pengangkutan dan perawatan material Nuclear Naval Propulsion yang belum ada safeguardnya atau perlindungan dalam rezim NPT.
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia Suzie Sudarman melihat 'Indonesian Paper' juga berkaitan dengan AUKUS, namun pemerintah tidak bisa mengatakannya secara langsung. Sebab, semua negara-negara yang saling bertentangan masuk dalam kategori sahabat Indonesia.
Suzie memahami, 'Indonesian Paper' itu lebih didorong oleh Perjanjian Zona Bebas Nuklir Asia Tenggara (Treaty of Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone) yang disepakati 15 Desember 1995. Perjanjian yang dikenal sebagai Bangkok Treaty ini menyatakan pentingnya non-proliferasi senjata nuklir untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional di Asia Tenggara.
Indonesia, beberapa waktu lalu sempat khawatir terhadap pakta keamanan trilateral yang disepakati pada akhir 2021. Salah satu kerja sama itu memungkinkan Australia membuat kapal selam nuklir untuk memperkuat angkatan lautnya.
AUKUS dinilai merupakan respons untuk mengimbangi pengaruh Cina di Indo-Pasifik. Beijing belum lama ini juga dilaporkan sedang membangun kapal selam nuklir.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.