Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarum jam baru beringsut ke pukul 03.00. Kalaupun ada, tak banyak warga Thailand yang menatap layar televisi pada Selasa dinihari pekan lalu itu. Tapi justru pada saat itulah Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Prayuth Chan-ocha tampil berpidato di stasiun siaran yang dikelola tentara, Channel 5. Dia mengumumkan keadaan darurat militer di seluruh negeri. "Masyarakat tak perlu panik dan bisa terus menjalani hidup normal," katanya. "Ini bukan kudeta."
Pengumuman itu, yang diulang-ulang hingga beberapa jam kemudian, serta-merta menghadapkan warga Bangkok pada "hidup normal" dalam situasi ketertiban umum baru ketika mereka bangun dan memulai kegiatan rutin. Hari itu, di berbagai persimpangan dan di tempat-tempat strategis-yang di hari-hari sebelumnya menjadi lokasi berkumpul demonstran anti-pemerintah-mereka menjumpai tentara berjaga-jaga, juga tank.
Tindakan tentara memang mendadak, meski bukan sesuatu yang tak diperkirakan. Tapi Bangkok bukan kota yang mudah dikejutkan oleh suasana seperti itu. Di Thailand, keadaan darurat militer dan kudeta sudah berulang berkali-kali.
Kehadiran para prajurit bersenjata tak mencolok sehingga suasana di jalan tak terlihat tegang. Orang-orang tetap bepergian ke tempat kerja; terjebak kemacetan lalu lintas seperti biasa, atau tumplek di bus dan BTS Skytrain. Di jalan-jalan utama, tak sedikit orang yang menyempatkan diri mengambil foto diri, selfie, berpose dengan prajurit-prajurit. Twitter menjadi ramai oleh tagar berbahasa Thailand yang, bila diterjemahkan, berarti "Tunjukkan prajurit yang ganteng".
Suasana itu hanya berlangsung dua hari. Pada Kamis sore, segera setelah perdagangan di bursa saham ditutup, Prayuth memastikan apa yang dia sebut "bukan kudeta" menjadi kudeta yang sebenarnya. Di layar televisi, dikelilingi pejabat-pejabat senior militer, dia mengatakan perebutan kekuasaan itu dilakukan "untuk secepatnya membawa situasi kembali normal". Dan "mereformasi struktur politik, ekonomi, dan masyarakat".
Reformasi, terutama di bidang politik, adalah agenda yang dituntut oposisi sepanjang enam bulan terakhir. Di bawah pimpinan Suthep Thaugsuban dari Partai Demokrat, demonstrasi untuk mendesakkan tuntutan itu berlangsung sejak November tahun lalu-termasuk pembubaran pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri Yingluck Shinawatra. Aksi yang mengundang sejumlah tindak kekerasan ini menewaskan 28 orang dan melukai tak kurang dari 700 orang.
Sudah menjadi pengetahuan umum, militer Thailand punya sejarah panjang dalam hal upaya penggulingan pemerintahan sah. Sejak negeri itu menjadi monarki konstitusional pada 1932, militer sudah melancarkan kudeta setidaknya 18 kali; terakhir pada 2006, ketika mereka memaksa turun Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.
Menurut Undang-Undang Keadaan Darurat 1914, panglima angkatan bersenjata memiliki kekuasaan luas untuk menghentikan keadaan negara yang bergejolak. Di antaranya meliputi tindakan menahan orang, menyensor media, memberlakukan jam malam, dan melarang orang berkumpul. Alasannya: agar situasi bisa diatasi.
Kewenangan menurut undang-undang itulah yang semula dicoba dilaksanakan dengan menerapkan darurat militer. Tapi kelompok-kelompok pemantau hak asasi manusia melihat sebenarnya tak ada alasan untuk itu. Brad Adams, Direktur Divisi Asia di Human Rights Watch, misalnya, mengakui ada sejumlah kekerasan dalam beberapa bulan terakhir. Tapi, "Keadaan darurat nasional tak diperlukan untuk mencegah kekerasan lebih jauh," katanya.
Selain tak ada cukup alasan, militer dituding menerapkan keadaan darurat secara sepihak. Menteri Pendidikan Chaturon Chaisang, yang mempertanyakan motif tentara, mengatakan militer tak memberi tahu pemerintah sementara yang masih berkuasa. Seorang ajudan Penjabat Perdana Menteri Niwattumrong Boonsongpaisan menyebut langkah militer sebagai "kudeta setengah hati".
Sempat timbul perdebatan di kalangan akademikus, apakah langkah itu kudeta atau bukan. Menurut analis militer dari Chulalongkorn University, Panitan Wattanayagorn, meski pemerintah sementara tak diberi tahu, hal itu tak serta-merta mengindikasikan pengambilalihan. "Menurut undang-undang, Anda bisa mengumumkan keadaan darurat dulu dan memberi tahu pemerintah kemudian," ujarnya.
Berbeda pendapat, Pavin Chachavalpongpun, profesor di Pusat Kajian Asia Tenggara University of Kyoto, melihatnya sebagai "pendahuluan sebuah kudeta" dan upaya untuk kian melemahkan pemerintah. Pukulan terhadap pemerintah sebelumnya datang dari Mahkamah Konstitusi, yang memakzulkan Yingluck karena terbukti menyalahgunakan kekuasaan. Oleh pendukung pemerintah, putusan ini dipandang kental bermuatan politik dan terlihat menyokong oposisi.
Pavin tampaknya benar. Militer memilih menambah catatan jumlah kudeta. Melihat perkembangan sejak Selasa pekan lalu, kudeta agaknya tak terhindarkan. Semula, sebagai semacam jaminan bahwa militer hanya menerapkan keadaan darurat, Jenderal Prayuth berinisiatif menjadi mediator. Tentara yang dikenal blakblakan dan tak pernah menyatakan keinginan terlibat dalam krisis politik ini berjanji mempertemukan para pihak yang berseteru untuk merundingkan kesepakatan. "Itu sebabnya saya mengumumkan keadaan darurat. Kalau tidak, tak akan ada yang mendengarkan," katanya.
Meski menegaskan hanya berniat "memulihkan perdamaian dan ketertiban", dia mengelak ketika ditanya wartawan berapa lama keadaan darurat itu akan diberlakukan. "Tak seorang pun ingin menerapkannya terlalu lama. Saya ingin semua pihak mencari solusi secepatnya," dia menegaskan.
Sadar atau tidak, Prayuth menghadapi misi yang teramat mustahil, yakni mengusahakan rekonsiliasi di dalam masyarakat yang terbelah tajam: elite berduit di Bangkok yang mendukung demonstran anti-pemerintah di satu pihak, serta partai pemerintah yang populis dengan basis kekuatan di provinsi-provinsi-"warisan" mantan perdana menteri Thaksin-di pihak lain.
Kekuatan populis yang hampir 15 tahun mendominasi Thailand itu, secara tak langsung, menjadi sasaran kudeta pada 2006. Tapi militer nyatanya bukan solusi untuk mengatasi masalah Thaksin. Pengusaha-politikus korup itu, biarpun kini hidup di pengasingan-karena penjara menunggunya di kampung halaman-tetap mengatur pengaruhnya dari jauh. Dengan rupa dan titel yang berganti-ganti, partai yang didirikannya terus memenangi pemilihan umum. Adiknya, Yingluck, menjadi perdana menteri mulai 2011.
Kemustahilan posisi sebagai mediator itu terlihat dalam seketika tatkala sehari setelah mengumumkan keadaan darurat, Prayuth berupaya menggelar perundingan antara faksi oposisi dan pemerintah. Pembicaraan tiga jam macet. Masing-masing bertahan dengan pendiriannya. Isu mendesak dibahas adalah apakah perlu reformasi politik diwujudkan sebelum pemilihan umum. Dan apakah pemerintah sementara ditetapkan dulu.
Perundingan dilangsungkan lagi sehari kemudian. Tanpa ada kompromi, kemacetan pasti berulang dan situasi buntu bakal berkepanjangan-kecuali militer meningkatkan derajat campur tangannya dengan mengambil alih kekuasaan. Para politikus yang mengikuti perundingan Kamis pekan lalu, menurut sejumlah laporan, telah ditahan.
Reformasi politik merupakan sebagian dari tuntutan oposisi yang dipimpin Suthep, yang pernah menjadi wakil perdana menteri. Mereka yakin cara ini bisa sepenuhnya menyingkirkan Pheu Thai, metamorfosis partai yang didirikan Thaksin. Oposisi tak tertarik pada pemilihan umum, yang sepanjang sepuluh tahun terakhir didominasi Pheu Thai. Mereka meminta Senat menunjuk perdana menteri baru-tuntutan yang dinilai jauh dari prinsip demokrasi.
Pendukung pemerintah, biasa dijuluki kaum Kaus Merah, menilai pendirian itu sebagai ekspresi rasa frustrasi. Kata mereka, oposisi dan pendukungnya, elite bangsawan dan kalangan menengah perkotaan, berusaha mendongkel pemerintah dengan cara apa pun karena tak pernah mampu memenangi pemilihan umum.
Tak segera jelas kubu siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh intervensi militer. Jika militer memutuskan pemilihan umum diselenggarakan-dan tentu saja bisa memastikan oposisi tak mengacaukannya-kubu Pheu Thai-lah yang agaknya diuntungkan. Sebaliknya, jika militer menangguhkan pemilihan umum, posisi kaum mapan di Bangkok diperkuat. Yang terang, kudeta memastikan kebenaran dari apa yang sudah dipercaya: bahwa militer menyokong oposisi dengan secara resmi menyatakan perang terhadap keluarga Thaksin dan mempersetankan konsekuensinya.
Akibat yang bakal segera dirasakan dari situasi runyam itu adalah biayanya, yang bisa berlipat-lipat. Sulit diperkirakan jumlah kerugian riil dari kebuntuan politik yang berlangsung sejauh ini. Bila hanya dilihat dari rencana investasi domestik dan asing yang tertunda, Oxford Economic memperkirakan nilainya mencapai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 165 triliun.
Sehari sebelum keadaan darurat diumumkan, data kinerja ekonomi memperlihatkan produk domestik bruto dalam triwulan pertama 2014 menyusut jadi 0,6 persen. Produksi dan pariwisata termasuk sektor yang terpukul oleh gelombang demonstrasi.
Kecemasan sulit ditepis. Wajar jika sejumlah negara memantau perkembangan dengan saksama. Jepang, investor setia di Thailand, menyatakan "prihatin dengan keadaan yang ada". Amerika Serikat, melalui pernyataan tertulis setelah keadaan darurat diberlakukan, meminta militer Thailand menghormati "prinsip demokrasi". "Kami berharap Angkatan Bersenjata menghormati komitmen menjadikan (langkah) ini sebagai tindakan sementara, dan tak mengabaikan institusi demokratis," pernyataan itu menegaskan.
Adams dari Human Rights Watch lebih tegas mendesak negara-negara sahabat internasional Thailand memperjelas harapan mereka agar "kudeta de facto" ini diakhiri.
Jenderal Prayuth, tentu saja, yang mesti memastikan hal itu. Tapi, sebelum akhirnya mengumumkan kudeta, dia terdengar sewot saat menjawab pertanyaan wartawan tentang kapan pemilihan umum diselenggarakan: "Saya sarankan kalian ke dokter dan melakukan sesuatu untuk telinga kalian."
Purwanto Setiadi (BBC News, The Guardian, Al-Jazeera, The Nation, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo