Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jalan Buntu untuk Pulang

Tokoh oposisi Sam Rainsy gagal pulang ke tanah airnya. Uni Eropa menunggu jawaban Kamboja soal kasus pelanggaran hak asasi manusia.

16 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sam Rainsy bersiap menuju Bangkok dari apartemennya di Paris, Prancis, 6 November 2019. REUTERS/Charles Platiau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOKOH oposisi Kamboja, Sam Rainsy, telah lama menyiapkan kepulangan ke tanah airnya setelah mengasingkan diri ke Paris, Prancis, empat tahun lalu. Agustus lalu, pendiri dan mantan Presiden Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) ini menyatakan akan pulang pada 9 November.

Rencananya, Rainsy terbang dari Pa-ris menuju Bangkok, Thailand. Setelah itu, pria kelahiran Phnom Penh ini akan menem-puh jalan darat menuju perbatas-an Kamboja di Aranyaprathet. Dari sana, ia dan para pendukungnya akan bersama-sama masuk ke Kamboja melalui Poipet saat negara kerajaan itu memperingati ulang tahun kemerdekaan yang ke-66.

Rencana kepulangan ini membuat gusar Perdana Menteri Hun Sen. Sebab, Rainsy menyerukan kepada Angkatan Bersenjata Kamboja dan para pendukungnya agar mendepak Hun Sen, yang telah berkuasa selama 34 tahun di negeri itu. Mereka juga akan membebaskan Kem Sokha, pendiri dan mantan Presiden CNRP yang menjadi tahanan rumah sejak 2017.

Menurut Wakil Presiden CNRP Mu Sochua, yang hidup sebagai pelarian di Amerika Serikat, partainya punya banyak pendu-kung dari kalangan pekerja migran yang bermukim di Thailand, yang diperkirakan berjumlah 2 juta orang. Ada kemungkinan mereka ditangkap aparat keamanan saat melintasi perbatasan, tapi Rainsy ragu penangkapan akan terjadi jika rombongannya terdiri atas ribuan orang.

Tapi rencana itu gagal. Pada Kamis, 7 November lalu, Rainsy menuju Bandar Udara Charles de Gaulle, Paris, untuk naik pesawat Thailand Airways TG931 pada pukul 12.30 ke Bangkok. Saat hendak check in, ia diberi tahu petugas maskapai tak bisa naik pesawat karena ada instruksi dari pejabat tertinggi di Thailand.

Rainsy bergegas mencari penerbangan lain, entah ke Malaysia, Indonesia, entah Singapura. Ia memilih negara yang pertama dan tiba di sana pada 9 November. “Malaysia, juga Indonesia, dekat dengan Kamboja,” kata Rainsy kepada Tempo di Jakarta, Kamis, 14 November lalu.

Rainsy tak mengubur impiannya kembali ke negaranya untuk memulihkan demokrasi. Waktunya, dia menambahkan, bisa kapan saja. Menurut dia, situasi berubah dengan cepat di Kamboja. Salah satu faktornya adalah soal skema Everything But Arms (EBA) dari Uni Eropa yang dinikmati Kamboja. Dalam skema ini, Kamboja mendapat akses bebas kuota untuk semua produk kedua negara, kecuali senjata dan amunisi. Kamboja adalah penerima manfaat terbesar kedua skema EBA dengan total nilai ekspor sekitar US$ 5,5 miliar.

Pada 12 November lalu, Uni Eropa menyelesaikan laporan pendahuluannya tentang situasi pelanggaran hak asasi manusia di Kamboja dan memberikan waktu sebulan kepada Hun Sen untuk menanggapi. Setelah itu, Uni Eropa akan memutuskan apakah menangguhkan atau melanjutkan skema EBA.

Rainsy dan CNRP adalah batu sandungan Hun Sen. Tak lama setelah mengumum-kan rencana kepulangannya, Rainsy menyerukan kepada militer dan rakyat agar menangkap Hun Sen. Pemerintah Kamboja menuding Rainsy berusaha menggulingkan pemerintah hasil pemilihan umum yang sah. “Ini kan seperti mau kudeta,” ucap Duta Besar Kamboja untuk Indonesia Hor Nam Bora di Jakarta, Jumat, 15 November lalu.

Dalam sidang pada 26 September lalu, pengadilan Phnom Penh mendakwa delapan pejabat senior CNRP, termasuk Rainsy dan Mu Sochua, berusaha melancarkan kudeta dengan ancaman hukuman 5-20 tahun penjara. Kementerian Luar Negeri Kamboja lantas mengirimkan surat perintah penangkapan terhadap Sam Rainsy dan kolega-koleganya itu ke sepuluh negara anggota ASEAN. Kamboja juga memberi tahu maskapai penerbangan agar tak mem-bawa Rainsy dan kawan-kawannya ke Kamboja.

Pada pertengahan September lalu, Pengadilan Negeri Phnom Penh mengeluarkan surat perintah baru untuk menangkap Rainsy dengan tuduhan menghina Raja Kamboja. Dasarnya adalah pernyataan Rainsy kepada media bahwa Raja Norodom Sihamoni “boneka” Hun Sen. Enam bulan sebelumnya, pengadilan pun memerintahkan penahanan terhadap Rainsy dan tujuh pejabat CNRP lain yang tinggal di luar negeri dengan tuduhan pengkhianatan.

Petinggi CNRP yang berangkat lebih dulu untuk mempersiapkan kepulangan Rainsy adalah Mu Sochua. Ia terbang dari pengasingannya di Amerika Serikat menuju Thailand pada 23 Oktober lalu. Thailand menolak membiarkannya masuk ke negara itu dengan alasan keamanan dan memintanya keluar. Sochua lantas memilih terbang ke Jakarta.

Di Jakarta, Sochua berbicara dalam sebuah konferensi pers pada Rabu, 6 November lalu. Ambasador Hor Nam Bora tiba-tiba muncul dan meminta konferensi dibatalkan karena Sochua didakwa dalam kasus pidana. Sore harinya, Sochua terbang ke Malaysia. Setelah diperiksa petugas imigrasi bandar udara, ia diperbolehkan masuk ke Kuala Lumpur.

Hor Nam Bora menyatakan tidak kecewa atas masuknya Sochua ke Indonesia meski pemerintah Kamboja sudah mengeluarkan surat perintah penahanan terhadapnya. “Saya hanya memberikan peringatan kepada pemerintah Indonesia bahwa dia melampaui tujuan visanya sebagai turis,” tuturnya.

Saat menjelang dan hari-H rencana kedatangan Rainsy, pemerintah Kamboja memperketat pengamanan. Salah satunya di Bandar Udara Internasional Phnom Penh. Dari pemantauan lembaga swadaya masyarakat Licadho, terlihat tentara bersenjata dari Brigade 70 sedang bersiaga di dekat empat kendaraan militer yang diparkir di seberang bandara. Namun penjaga terbanyak berada di perbatasan, terutama yang akan menjadi pintu masuk Rainsy, yakni Poipet, Provinsi Banteay Meanchey.

Poster Sam Rainsy dan rekan-rekannya tampak terpasang di semua pos pemeriksaan di sepanjang perbatasan Thailand-Kamboja. “Kami siap menangkap orang-orang itu,” kata Letnan Jenderal Srey Doek, Komandan Divisi 3 Angkatan Bersenjata Kamboja, seperti dilansir Bangkok Post.

Rainsy menilai tuduhan bahwa kepulangannya bertujuan melakukan kudeta konyol. “Jika ingin menggulingkan pemerintah, Anda memerlukan tentara, organisasi, senjata, uang, atau mungkin dukungan CIA (badan intelijen Amerika Serikat). Saya tidak punya apa-apa,” ucapnya.

Dengan adanya surat permintaan kepada anggota ASEAN, pemerintah Kamboja yakin Rainsy dan pendukungnya tidak akan bisa pulang. Thailand dan Laos sudah menyampaikan komitmen dukungannya. Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha menyatakan negaranya tidak mengizinkan orang anti-pemerintah menggunakan Thailand untuk aktivisme.

Saat Rainsy mendapati jalan buntu untuk pulang, ada perkembangan baru dari Kamboja. Pada Ahad, 10 November lalu, Kem Sokha dibebaskan dari tahanan rumah. Namun ia tidak diizinkan pergi ke luar negeri dan berpartisipasi dalam segala jenis kegiatan politik. Dia juga akan bekerja sama jika ada panggilan dari pengadilan.

Empat hari kemudian, Hun Sen meminta Menteri Kehakiman bekerja dengan pengadilan dan jaksa penuntut untuk memproses pembebasan pendukung CNRP, yang berjumlah sekitar 70 orang. “Ini tugas yang harus kita lakukan untuk menyatukan bangsa, perdamaian, kebahagiaan, dan kemakmuran rakyat. Karena mereka tertipu,” ujar Hun Sen.

Ou Virak, Direktur Future Forum yang berbasis di Phnom Penh dan mantan Ketua Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja, mengatakan perintah Hun Sen itu salah satu langkah nyata yang diperlukan Uni Eropa. “Yang paling terpengaruh EBA adalah para pendukung Kem Sokha dan CNRP,” tuturnya.

Virak menilai langkah Hun Sen tersebut sebagai upaya untuk tetap bisa mendapat fasilitas EBA. Jika skema itu dicabut Uni Eropa, menurut taksiran Bank Dunia, Kamboja akan kehilangan pendapatan setidaknya US$ 600 juta per tahun. Lebih dari 750 ribu pekerja akan kehilangan pekerjaan dan lebih dari 2 juta orang akan terkena dampaknya.

Hor Nom Bora mengungkapkan, pemerintah Kamboja tidak pernah melarang Rainsy pulang. “Silakan pulang dan hadapi kasusnya. Jika bisa membersihkan namanya dari dakwaan-dakwaan itu, dia bisa melanjutkan aktivitas politiknya, daripada terus di luar dan merasa tidak bersalah,” katanya.

ABDUL MANAN, BOPHA POM (PHNOM PENH)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus