Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DATARAN garam Makgadikgadi di tenggara Delta Okavango, sekitar 429 kilometer arah utara Gaborone, ibu kota Republik Botswana di Afrika bagian selatan, 200 ribu tahun silam merupakan sebuah danau. Lahan basah nan subur itu betul-betul menjadi oasis di tengah padang pasir Kalahari, yang dalam bahasa Tswana berarti tempat tak berair. Hasil penelitian terbaru yang terbit di jurnal ilmiah Nature edisi Senin, 28 Oktober 2019, meyakini di situlah tempat lahir nenek moyang semua manusia di bumi.
Vanessa Hayes dari Garvan Institute of Medical Research di Sydney, Australia, yang menjadi pemimpin penelitian itu, dengan bangga mengumumkan temuan timnya dalam konferensi pers di Australian Media Center empat hari sebelumnya. “Kita sudah lama mengetahui bahwa manusia modern berasal dari Afrika. Tapi kita tak pernah tahu, sampai penelitian ini, lokasi pasti tanah kelahiran Homo sapiens itu,” kata Hayes, yang juga Ketua Prostate Cancer Research Medicine, Central Clinical School, University of Sydney.
Dalam studinya, Hayes bersama sebelas peneliti lain dari berbagai lembaga penelitian dari Afrika Selatan, Namibia, Australia, dan Korea Selatan mengumpulkan sampel darah 198 penduduk saat ini, termasuk suku pemburu dan pengumpul yang menggunakan bahasa Khoisan di Afrika Selatan dan Namibia, untuk menganalisis asam deoksiribonukleat (DNA) mereka. DNA adalah biomolekul yang menyimpan dan menyandi instruksi-instruksi genetika setiap organisme. Instruksi genetika itu berperan penting dalam pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi organisme.
Di sel organisme, DNA tersusun dalam kromosom-kromosom yang terdapat di inti sel (nukleus) dan di mitokondria—organel dalam sel yang menghasilkan energi. DNA kromosom disumbangkan dari kedua orang tua. Adapun DNA mitokondria hanya diturunkan oleh ibu kepada anak. Sel telur memiliki ratusan ribu mitokondria, sementara sel sperma cuma punya 75-100 mitokondria. Ketika sel telur dan sperma bersatu, hanya mitokondria dari sel telur yang menjadi bagian dari sel-sel embrio yang terbentuk.
Tim Hayes menganalisis DNA mitokondria (mtDNA) untuk membuat lini masa kapan dan di mana satu garis keturunan matrilineal yang spesifik muncul dan kemudian terpisah. Berdasarkan penelitian terdahulu, terungkap bahwa garis keturunan mtDNA para penutur bahasa Khoisan adalah L0. Haplogrup—motif yang khas pada susunan basa di DNA—L0 diyakini sebagai yang tertua, muncul pada 200 ribu tahun silam di wilayah yang kini bernama Botswana. Mereka hidup di sekitar Danau Makgadikgadi, yang luasnya 120 ribu kilometer persegi, selama 70 ribu tahun hingga perubahan iklim memaksa sebagian dari mereka bermigrasi ke arah timur laut dan 20 ribu tahun kemudian bermigrasi ke arah barat daya.
Menurut Axel Timmermann, peneliti iklim dari Pusan National University, Korea Selatan, yang mengembangkan model iklim untuk penelitian itu, pada 130 ribu tahun silam terjadi peningkatan curah hujan sehingga di gurun yang kering tersebut terbentuk koridor hijau ke arah timur laut dan ke arah barat daya pada 110 ribu tahun lalu. “Koridor itu muncul pada waktu yang bersamaan dengan terbentuknya cabang-cabang besar yang memisah dari garis keturunan L0,” ujarnya seperti dikutip InsideScience.org. Ia mengatakan garis silsilah genetik kerap bercabang ketika satu grup manusia bermigrasi ke lokasi baru.
Pemilihan DNA mitokondria dan pengumpulan sampel yang sangat kecil itu justru pangkal dari kontroversi dan sikap skeptis banyak kalangan ilmuwan di dunia terhadap hasil penelitian bertajuk “Human origins in a southern Africa palaeo-wetland and first migrations” tersebut. “Walaupun memiliki sejarah pengetahuan DNA mitokondria yang sempurna, Anda tidak boleh membuat kesimpulan mengenai sejarah seluruh populasi manusia,” tutur Montgomery Slatkin, ahli genetika populasi dari University of California, Amerika Serikat.
Senada dengan Slatkin, peneliti genetika molekul dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, mempertanyakan alasan tim Hayes tidak menganalisis DNA seluruh genom. “Kalau menganalisis keseluruhan genom kan bisa dapat DNA inti, DNA mitokondria, dan DNA kromosom Y sekaligus,” kata Herawati setelah memberikan kuliah dalam acara Widjojo Nitisastro Memorial Lecture yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Senin, 11 November lalu.
Hera menambahkan, besar mitokondria DNA hanya 16.569 pasang basa, sementara DNA genom manusia seluruhnya terdiri atas lebih dari 3 miliar pasang basa atau 200 ribu kali lipat lebih. “Kalau dulu, karena tidak ada teknologi, kita bisa menerima sampel kecil. Tapi sekarang ini era genomik,” ucapnya.
Adapun Carina Schlebusch, ahli genetika evolusi dari Uppsala University, Swedia, seperti dikutip National Geographic, berpendapat, “Mengurai informasi genom kita secara keseluruhan akan mengungkapkan cerita yang lebih kompleks.”
Hera menambahkan, kontroversi ini seperti mengulang perdebatan mengenai Teori Hawa Mitokondria atau Mitochondrial Eve yang dipublikasikan Rebecca L. Cann dan koleganya di jurnal Nature pada Januari 1987. Teori Hawa Mitokondria, Hera menjelaskan, juga menggunakan DNA mitokondria. Menurut teori ini, jika garis keturunan matrilineal setiap orang yang hidup saat ini ditelusuri terus ke belakang, pada akhirnya penelusuran akan sampai pada satu perempuan yang dijuluki “Hawa mitokondria” atau “mitochondrial Eve”.
Hayes menanggapi perdebatan tentang DNA mitokondria ini. Ia menyatakan DNA mitokondria dipilih karena tidak terseret ke perkembangan awal janin seperti tipe DNA lain. Walhasil, DNA mitokondria dapat digunakan untuk melacak evolusi orang zaman kini yang memiliki garis keturunan langsung dengan nenek moyang perempuan yang hidup di Afrika bagian selatan. “Ia seperti kapsul waktu untuk ibu leluhur kita,” ujar Hayes seperti dikutip majalah Science, Rabu, 28 Oktober lalu.
Chris Stringer, ahli asal-usul manusia dari Natural History Museum di London, Inggris, mengingatkan para peneliti agar berhati-hati menggunakan persebaran genetika modern untuk mengambil kesimpulan tentang lokasi populasi purba yang hidup 150 ribu tahun lalu, apalagi untuk wilayah seluas Afrika. Selain itu, banyak penelitian yang berhasil melacak populasi purba di berbagai kawasan Afrika, baik di barat, timur, maupun selatan. Studi berdasarkan analisis DNA kromosom Y, misalnya, menemukan asal-usul manusia modern di Kamerun (Afrika Barat). Juga penemuan fosil Florisbad berumur 260 ribu tahun di Afrika Selatan, fosil Omo berusia 195 ribu tahun di Ethiopia, dan fosil Jebel Irhoud berumur 315 ribu tahun di Maroko.
DODY HIDAYAT (NATURE, SCIENCE, DISCOVER, INSIDE SCIENCE, NATIONAL GEOGRAPHIC, WIRED)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo