SETELAH hampir setahun senyap, perundingan Camp David tampaknya
akan dilanjutkan lagi. Paling tidak inilah yang dijanjikan
Presiden Ronald Reagan kepada Presiden Anwar Sadat yang
berkunjung ke Washington pekan lalu. "Mari kita tempuh jalan itu
bersama-sama," kata Reagan dalam pidatonya menyambut Sadat di
Gedung Putih. Tapi secara samar terselip perbedaan paham bagi
kemungkinan dilanjutkannya perundingan itu.
Presiden Sadat yang mampir di London sebelum ke Washington telah
mendesak agar AS membuka kontak dengan Organisasi Pembebasan
Palestina (PLO). Sedang Pemerintahan Reagan belum mau mengakui
peranan Palestina, termasuk PLO, dalam proses perdamaian di
Timur Tengah. Sesaat sebelum Sadat tiba di Washington, Menlu
Alexander Haig dalam suatu wawancara tv menegaskan "PLO mesti
mengakui hak Israel terlebih dulu sebelum AS terlibat dalam
perundingan langsung dengan organisasl itu."
Selama tiga kali pembicaraan dengan Sadat, Reagan tak
mengutik-utik soal PLO. Bahkan ia juga tidak menyinggung soal
itu dalam pidatonya pada jamuan kenegaraan.
Tapi reaksi yang keras datang dari PM Menachem Begin. "Saya akan
mengatakan pada kawan saya, Anwar, bahwa saya sepenuhnya tidak
setuju membawa organisasi pembunuh itu ke dalam perundingan,"
ujar Begin. Buat Sadat kehadiran PLO dalam perundingan yang akan
datang sangat penting artinya. Dengan mengambil contoh kejadian
di Lebanon Sadat mengatakan:
"Meningkatnya ketegangan dan kekerasan sebagaimana yang kita
saksikan (di Lebanon) beberapa minggu belakangan ini adalah
bukti hidup betapa perlunya suatu perdamaian menyeluruh." Hal
itu dikemukakan Sadat dalam suatu jumpa pers di London.
Kunjungan adat kali ini minimal membuka lagi jalan ke
perundingan masalah otonomi Palestina antara Mesir-lsrael.
Menurut rencana, perundingan itu berlangsung akhir September,
setelah Begin bertemu dengan Presiden Reagan. PM Begin akan
berkunjung ke Washington (8 September) juga untuk membicarakan
perundingan otonomi Palestina.
Tapi sebagian pengamat meragukan nasib perundingan itu.
Perbedaan yang paling besar antara Mesir-lsrael adalah
menyangkut pemukiman orang Yahudi di wilayah Arab yang diduduki
Israel. Yaitu di Tepi Barat Sungai Yordan dan Gaza. Israel masih
meneruskan pemukiman itu meskipun ditentang keras oleh Mesir.
Menghadapi persoalan pemukiman itu, AS lebih banyak bersikap
diam.
Kabinet koalisi Likud dan partai agama yang berhasil dibentuk
Begin pekan lalu akan sulit menahan perkembangan pemukiman baru
itu. Justru aksi pemukiman itu didorong oleh kekuatan ultra
nasional dan kelompok agama, pendukung kabinet Begin. Kabinet
baru itu didukung oleh 61 kursi Knesset (parlemen Israel),
sedang Partai Buruh dan kelompok oposisi lainnya menduduki 57
kursi.
Dalam pemilu lalu kemenangan Partai Likud begitu tipis terhadap
Partai Buruh, yaitu 48 banding 47. Maka kemungkinan besar posisi
partai agama menentukan sekali dalam mayoritas tipis yang
diperoleh kabinet koalisi Israel sekarang.
Walaupun tidak menyinggung sama sekali kunjungan Sadat ke AS,
Putra Mahkota Fahd dari Arab Saudi mengatakan bahwa perjanjian
Camp David pada dasarnya telah gagal. "Dihentikannya bantuan
yang tak terbatas kepada Israel merupakan syarat utama bagi
penyelesaian adil atas konflik di Timur Tengah," ujar Pangeran
Fahd.
Perbedaan antara Mesir dan kelompok negara Arab yang menolak
perjanjian Camp David belum lenyap. Tapi buat Mesir -- yang
sedang menunggu Israel menyerahkan kembali sisa wilayah Mesir
yang didudukinya di Semenanjung Sinai pada April 1982 --
perjanjian Camp David adalah satu-satunya formula yang bisa
diandalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini