Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jenderal di Singgasana Raja

Pemerintah Burma memindahkan ibu kota ke kawasan hutan belantara. Pegawai negeri digaji berlipat agar betah.

15 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diplomat asing di Rangoon resah. Mereka hanya bisa menduga, di mana gerangan Utusan Khusus PBB Ibrahim Gambari sejak ia terbang ke ibu kota Burma, Naypyidaw, Senin, 1 Oktober lalu. Maklum, ibu kota baru yang terletak 400 kilometer di utara Rangoon (kemudian disebut Yangoon) itu berada di tengah kawasan hutan di wilayah tengah Burma.

Misi utama Gambari adalah menekan pemimpin junta militer Burma, Jenderal Than Shwe, untuk meredakan kekerasan yang dilakukan militer ketika melibas demonstrasi ribuan pendeta Buddha dan aktivis prodemokrasi. Belakangan dikabarkan Gambari berhasil bertemu dengan Than Shwe di Naypyidaw, tempat yang selama ini masih merupakan kota penuh misteri bagi rakyat Burma dan orang asing.

Nama Naypyidaw (istana kerajaan atau singgasana raja) secara resmi ditetapkan Jenderal Than Shwe pada Hari Angkatan Bersenjata, 27 Maret 2006, di depan 12 ribu tentara di alun-alun kota di bawah kemegahan patung tiga raja Burma: Anawrahta, Bayinnaung, dan Alaungpaya U Aung Zeya. Sebagai kota baru dengan sekitar 10 ribu penduduk, Naypyidaw masih kinyis-kinyis. Satu zona hotel dengan sejumlah hotel mewah telah berdiri di kawasan pinggiran, dan itulah yang akan menjadi pusat kota.

Sejumlah bangunan apartemen berderet di sisi kiri jalan. Semuanya dihuni pegawai negeri. Bangunan baru dengan warna cerah di pegunungan itu membuat Naypyidaw tampak nyaman, tinimbang suasana bunker militer. Pegawai negeri dapat membeli apartemen baru berkamar tiga dengan bantuan pemerintah. Di sini listrik menyala 24 jam sehari—berbeda dengan Rangoon, yang mengalami pemadaman lebih dari enam jam sehari. Lalu lintas pun tampak leluasa, melalui jalan beton. Distrik tempat gedung pemerintah pun tertata rapi. Pemerintah menawari kedutaan dan badan PBB masing-masing dua hektare lahan untuk membangun kantor. Tapi, sejauh ini, belum ada yang menyambut tawaran itu.

Naypyidaw—juga dibaca Nay Pyi Taw—terletak di Desa Kyatpyae, Kota Pyinmana, Provinsi Mandalay. Kegiatan administrasi pemerintahan secara resmi dipindahkan pada 6 November 2005. Rombongan pertama adalah para anggota militer. Mereka membangun satu garnisun dan satu bendungan air sebagai pembangkit listrik. Berikutnya adalah kementerian-kementerian, yang kebanyakan dipimpin jenderal. Sejak pembangunan dimulai pada 2004, sekitar 80 ribu pekerja—dewasa, perempuan, dan anak-anak—dikerahkan membangun ibu kota baru.

Rencana relokasi itu menimbulkan kekagetan di Rangoon. ”Saya tak percaya ketika pertama kali mendengar proyek itu,” ujar seorang pejabat Kementerian Perdagangan. Menurut Menteri Informasi Burma Brigadir Jenderal Kyaw Hsan, pemindahan ibu kota dilakukan karena Pyinmana terletak di tengah Burma, yang secara geografis strategis untuk pembangunan. ”Kami telah menyiapkan kebutuhan makanan, pendidikan, dan fasilitas kesehatan untuk kesenangan pegawai negeri,” katanya.

Tapi, ada dugaan, keputusan pemindahan ibu kota terjadi karena muncul rumor yang disebarkan pembangkang politik Burma bahwa Amerika mendukung perubahan rezim dengan cara menginvasi negeri itu setelah menginvasi Irak. Konon, melayang telegram berisi berita tentang satu armada kapal perang, kapal selam nuklir, dan pesawat pengangkut akan menyerbu Burma. ”Rumor tentang invasi Amerika itu hanya gurauan, tapi membuat militer sangat paranoid,” ujar Aung Zaw, editor majalah eksil Irrawaddy.

Tapi analis lain melihat tangan peramal berperan dalam keputusan memindahkan ibu kota. Seperti pendahulunya, diktator Ne Win, Jenderal Than Shwe dikenal sangat percaya takhayul. Seorang peramal memprediksi Rangoon tengah berada di tepi keruntuhan. Maka sang Jenderal menyimpulkan: ibu kota harus dipindahkan.

Pegawai negeri tidak diizinkan membawa anak dan istri ketika mereka pindah. Kala itu, Naypyidaw memang belum punya sekolah atau klinik, tidak juga toko atau pasar. ”Sejumlah anggota staf ingin pindah ke sana karena mereka dapat memiliki apartemen sendiri, yang hanya merupakan mimpi di Rangoon,” ujar seorang pegawai perempuan Kementerian Telekomunikasi di Rangoon. Tapi, katanya, ”Saya tak ingin pindah ke sana. Saya tak bisa menelepon keluarga jika saya kangen.”

Naypyidaw memang dirancang tanpa jangkauan telepon seluler, untuk menjamin keamanan bagi perwira senior yang hidup di sana. ”Kami tak punya rencana menggunakan telepon seluler dengan alasan keamanan. Kami menggunakan walkie-talkie di sini,” ujar seorang perwira senior.

Telepon pribadi pun haram di dalam apartemen, jadi mereka terpaksa menelepon ke rumah dari beberapa telepon umum di lobi apartemen. ”Kami dapat menggunakan jalur telepon di kantor kami jika ingin berbicara dengan keluarga, tapi kami tak dapat menggunakannya setiap hari,” ujar seorang pejabat junior di Kementerian Kesehatan. ”Kami merasa kesepian di sini.”

Pegawai negeri lain mengeluh karena kehidupan berjalan lambat, membosankan, dan infrastruktur masih payah. Tapi mereka mendapat tambahan gaji tinggi agar mau bertahan di ibu kota baru. Bahkan gaji sejumlah pejabat tinggi meningkat 1.000 persen. ”Saya mungkin bisa menabung sejumlah uang. Saya bujangan dan saya tidak ke tempat hiburan,” ujar Ko Soe Aung, pegawai negeri.

Kepindahan itu juga membuat lambat proses pemerintahan. ”Semuanya butuh waktu dua kali karena Anda harus pergi ke Pyinmana agar dokumen Anda dicap,” ujar seorang diplomat. ”Ada sejumlah kontainer yang terkatung-katung di pelabuhan karena surat yang dibutuhkan belum ditandatangani.”

Ibu kota baru juga tak terbuka untuk setiap orang. Dua wartawan yang tinggal di Rangoon diganjar tiga tahun penjara karena ketahuan merekam dengan kamera video kawasan itu. Penduduk lokal yang tinggal di dekat ibu kota, kebanyakan petani, tak leluasa masuk kota, dan mereka pun bingung. ”Saya tak tahu kenapa mereka ingin datang ke sini,” ujar penduduk Desa Kyatpyae.

Raihul Fadjri (AFP, BBC, Independent)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus