Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Pyongyang mereka melahirkan sejarah. Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun, untuk pertama kalinya dalam sejarah Korea, bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-il. Roh Moo-hyun dan rombongannya menyeberang ke negara tetangga (yang dulunya bersatu dengan negaranya) melalui darat. Dia dan 300 orang rombongannya, terdiri dari tokoh-tokoh pengusaha, politisi, dan budayawan, menempuh perjalanan sekitar 168 kilometer dengan mobil kenegaraan dan beberapa bus, Selasa 2 Oktober lalu.
Di Zona Demiliterisasi (DMZ), yang berjarak sekitar 40-an kilometer dari Seoul, yang membagi dua Korea selama lebih dari setengah abad, Roh serta ibu negara Kwon Yang-suk dan 13 orang delegasi keluar dari mobil. Mereka berjalan kaki menyeberangi garis perbatasan bewarna kuning. Ini perlambang perdamaian, karena sejak Perang Korea berakhir (1953) kawasan DMZ haram dilalui warga dari Utara maupun Selatan.
Pertunjukan masih berlanjut. Sepanjang jalan menuju Pyongyang, iring-iringan kendaraan rombongan Roh disambut kerumunan rakyat Korea Utara sembari melambai-lambaikan Kimjongilia, bunga lambang negara Korea Utara, yang terbuat dari plastik.
Tiba di Pyongyang, pemimpin Korea Utara Kim Jong-il menyambut rombongan dengan bentangan karpet merah di depan Gedung Pertunjukan. Mereka berjabat tangan seperti layaknya saudara.
Tak lupa Roh membawa berbagai hadiah, mulai dari produk pertanian hingga televisi layar tipis LCD. Kim adalah penonton film yang fanatik. Karena itu, ia juga menerima 150 cakram DVD berupa serial televisi Korea Selatan, di antaranya drama seri terkenal Jewel in the Palace yang berkisah tentang seorang perawat perempuan pertama Korea abad ke-16. Pemeran utamanya adalah Lee Young-ae, bintang yang disukai Kim. ”Terima kasih telah membawakan saya benda berharga dan asli,” ujar Kim.
Karena tak ingin memberatkan tuan rumah yang sedang dilanda kelangkaan listrik, tamu dari Selatan membawa bahan bakar sendiri. Rombongan Roh juga tahu diri, membawa cadangan makanan untuk berjaga-jaga dalam keadaan darurat.
Tujuan Roh bertemu Kim adalah untuk mendorong terjadinya perdamaian permanen di Semenanjung Korea. ”Saya akan berkonsentrasi pada terciptanya kemajuan konkret dan mendasar ke arah perdamaian melalui pembangunan ekonomi,” kata Roh.
Di akhir masa kunjungan tiga hari, kedua pemimpin menandatangani beberapa poin kesepakatan. Isinya, antara lain, membangun sistem perdamaian permanen, memperluas kerja sama ekonomi termasuk membuat galangan kapal bersama, mengembangkan kerja sama pendidikan, teknologi, budaya dan olahraga, dan mengadakan konferensi tingkat tinggi. Kedua pihak juga sepakat menutup program nuklir Korea Utara mulai akhir tahun ini secara bertahap. Tindakan ini akan dilanjutkan dengan penyerahan bahan-bahan pembuat senjata nuklir mulai tahun depan.
Berdasar memorandum baru ini, Korea Selatan akan dapat mengirim barang langsung dengan kereta api ke Kaesong, kawasan industri khusus yang dibangun di Korea Utara. Keluarga-keluarga yang terpisah akibat perang saudara 1950–1953 juga akan lebih mudah saling bertemu.
Legakah Roh dengan kesepakatan baru dengan Korea Utara? Mungkin tidak. ”Korea Utara tak sepenuhnya mempercayai Korea Selatan. Kami butuh mengatasi dinding ketidakpercayaan ini,” katanya. Tampaknya, Roh becermin pada hasil pertemuan pertama pemimpin kedua Korea, Presiden Kim Dae-jung dan Kim Jong-il, pada Juli 2000.
Ketika itu, dalam kunjungan Kim Dae-jung—dia menggunakan pesawat kenegaraan ke Pyongyang—Kim Jong-il juga menyambutnya dengan hangat. Anak Kim Il-sung ini langsung menjemput ke bandar udara dan memeluk Kim Dae-jung ketika bertemu. Reaksi ”hangat” pemimpin negara dari Utara ini yang selama ini dianggap misterius, sama sekali tidak diduga. Jutaan pasang mata yang menyaksikan pertemuan bersejarah itu melalui siaran televisi di Korea Selatan terharu. Apalagi pertemuan pemimpin itu diikuti pertukaran kunjungan para keluarga yang terpisah akibat perang saudara 1950–1953. Ada rombongan dari Utara yang ke Seoul, atau yang dari Selatan ke Pyongyang.
Tujuh tahun silam, banyak yang menduga ketegangan hubungan dua Korea segera berakhir. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Pihak Korea Utara tidak menepati kesepakatan yang dibuat pada saat itu. Kim Jong-il tidak melakukan kunjungan balasan ke Selatan seperti yang dijanjikan. Ia juga menunda-nunda pembangunan kawasan industri Kaesong yang sudah menelan investasi US$ 2,3 miliar (sekitar 21 triliun) dari Selatan hingga proyek tersebut terus merugi.
Padahal, pertemuan pada 2000 itu telanjur dianggap sebagai prestasi diplomatik, yang dikenal dengan Sunshine Policy, kebijakan mencairkan permusuhan dengan Utara terutama melalui bantuan dan kerja sama ekonomi. Kim Dae-jung, pelopor kebijakan yang dijalankan sejak 1998 ini, bahkan mendapat Hadiah Nobel Perdamaian.
Menurut The Economist, Kim Jong-il adalah orang yang sulit dibaca pikirannya. Sejak menggantikan ayahnya yang meninggal pada 1994, Kim menunjukkan gelagat lebih terbuka terhadap dunia luar. Dia membuka kembali hubungan diplomatik dengan Italia dan Australia sejak Januari 2000. Saking ”ramahnya” Kim, Cina sebagai sekutu abadi Korea Utara menjadi khawatir bila negara satelitnya itu makin terpengaruh oleh sekutu Korea Selatan, yaitu Amerika Serikat dan Jepang.
Tapi, Kim tidak menjadi benar-benar dekat dengan Korea Selatan dan sekutunya. Terbukti, Korea Utara pernah melakukan tes penembakan roket ke Jepang dan melakukan uji coba nuklir yang membuat warga di Selatan ketakutan. Pyongyang juga menjual peluru berhulu ledak nuklir ke Iran dan Pakistan. Presiden AS George W. Bush bahkan menjuluki Korea Utara negara ”poros setan” bersama Iran dan Irak.
Padahal, Korea Selatan sudah mengeluarkan biaya sangat mahal untuk menjalankan Sunshine Policy. Selain investasi untuk Kaesong, Seoul mendonorkan makanan, pupuk, dan bantuan lainnya senilai US$ 1,2 miliar (hampir Rp 11 triliun) dalam lima tahun. Perusahaan Korea Selatan, Hyundai Asan, membangun sebuah resor mewah di Gunung Kumgang, Korea Utara, senilai US$ 400 juta (sekitar Rp 3,65 triliun). Perusahaan yang sama juga pernah terlibat skandal menyalurkan jutaan dolar uang publik ke Korea Utara. Apalagi kemudian terbuka fakta bahwa untuk bertemu dengan Kim pada 2000, pihak Korea Selatan harus membayar Kim US$ 500 juta (sekitar Rp 4,57 triliun).
Bila Kim tidak memenuhi kesepakatan tujuh tahun silam, bisa jadi dia melakukan hal yang sama untuk tahun ini. Sikap skeptis seperti ini juga berkembang di Korea Selatan. Salah satunya diungkapkan kandidat terkuat dalam pemilihan presiden mendatang, yang dikenal sebagai bekas Wali Kota Seoul, Lee Myung-bak, yang menyatakan tak akan memberi bantuan ekonomi pada Korea Utara tanpa jaminan reformasi ekonomi di Korea Utara.
Warga Korea Selatan tampaknya juga tidak lagi terpesona dengan sikap hangat Kim Jong-il seperti yang terjadi pada 2000. Mereka tidak berharap banyak pada hasil pertemuan pemimpin kedua Korea. Apalagi, kunjungan Presiden Roh dilakukan menjelang dia lengser, Februari mendatang dan di saat popularitasnya merosot karena dia dianggap salah mengurus perekonomian. Roh dianggap sekadar mencari popularitas. Masa depan kebijakan ”matahari bersinar” pun terancam ”tertutup awan hitam”.
Raihul Fadjri (AFP, BBC, Independent, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo