Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang warga negara Kanada mengunjungi ibu kota Burma yang baru, Naypyidaw, pada Juni 2007. Ia menuliskan pengalamannya di ibu kota yang masih misteri ini dalam blog (willtheduch.blogspot.com) dengan identitas singkat Will. Berikut ini catatannya.
Keputusan kami mengunjungi Naypyidaw diilhami percakapan dengan dua turis yang kami temui. Mereka membawa satu bus ke ibu kota baru tanpa masalah. Padahal pemberitaan media internasional menyatakan kota itu masih terbatas untuk orang asing.
Kami memutuskan menginap di Pyinmana, kota yang berjarak sekitar 12 kilometer dari Naypyidaw. Ketika kami sampai di satu hotel, sang manajer mengatakan orang asing hanya bisa tinggal di kawasan khusus ”Zona Hotel” di Naypyidaw. Barisan empat atau lima resor mahal bertebaran di sepanjang tiga kilometer jalan bebas hambatan berpasir yang kasar. Sejauh ini terlihat sempurna bak foto pada kartu pos, dengan taman yang terawat dan vila. Tapi, ketika lebih dekat, terlihat ketidaksempurnaan dengan sendirinya.
Kami masuk hotel pukul 7 sore dan memutuskan melawat ke kota, menumpang truk air. Kami takjub melihat kehidupan di kota. Restoran penuh dan orang berlenggang di jalanan menikmati suasana malam. Kini pegawai negeri dibolehkan membawa keluarga mereka ke Naypyidaw, yang sudah lebih mirip kota laiknya tinimbang beberapa bulan sebelumnya. Kawasan kumuh dan pasar lokal bersebelahan dengan mal baru dengan gemerlap cahaya dan apartemen yang dicat warna-warni.
Hari kedua, kami bangun lebih pagi, berharap punya banyak waktu sebelum bus kami meninggalkan kota malam hari. Kami menyewa ojek ke satu mal baru yang masih dalam pembangunan. Kebanyakan toko jarang dipasok barang bagus. Satu toko komputer seluas tiga meter persegi hanya menyediakan satu gelondong DVD dan beberapa produk lain. Kami naik bus kota ke Myowma, sepertinya pusat kota. Di sini, kerumunan orang bersama-sama membeli dan menjual barang, makan, atau antre bus ke Rangoon.
Setelah menghabiskan waktu di sana, kami memutuskan memperoleh pemandangan lebih baik di kota dan berjalan ke salah satu pagoda terbesar. Kami dihentikan dua polisi berpakaian seragam yang memelototi kamera kami sembari mencatat paspor kami. Hanya sekali itu kami berurusan degan hukum. Tapi kemudian kami merasa sedang dibuntuti. Pada hari itu, seorang pria menghentikan sepeda motornya di depan kami, sembari ngoceh dengan walkie-talkie, lalu kabur. Mungkin saya hanya paranoid, tapi pria itu seperti orang yang sama yang saya lihat sehari sebelumnya.
Dari pagoda, kami memperoleh pemandangan yang lebih menarik. Dari jauh terlihat puncak apartemen berwarna merah dan biru yang sedang dibangun. Kami pun kembali, menanti bus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo