Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengakuan itu diucapkan seorang perwira senior angkatan darat Burma di depan mikrofon sebuah stasiun televisi. ”Saya mundur dari militer dan kabur,” ujarnya.
Perwira ini menuturkan, sesaat sebelum pasukan junta memukuli dan menembaki para biksu, Kamis dua pekan lalu, dia menghadapi dua pilihan: menembaki biksu yang dia hormati atau dieksekusi. Ia tak memilih kedua-duanya. Ia memutuskan hengkang. ”Saya seorang Buddha. Saya tak mau membunuh biksu,” ucapnya.
Inilah sepotong potret yang menunjukkan bahwa tentara rezim junta Burma tak sepenuhnya menaruh takzim pada perintah jenderal besar mereka, Than Shwe. Sebagian tentara di level tinggi dan tentara berpangkat rendah di lapangan justru memilih membelot. Mereka tak ingin mencederai para biksu. Melukai biksu berarti melukai orang tua mereka sendiri—begitu kepercayaan orang Burma.
Perwira yang tak menyebut namanya itu lalu memutuskan menghubungi mantan musuhnya, pemberontak Karen di sebelah timur Rangoon. Ia minta bantuan untuk diselundupkan keluar Burma, menuju Thailand. Di sini sang perwira bertemu dengan ratusan ribu warga Burma yang telah lebih dulu menepi dari kekejaman rezim Than Shwe. Pekan lalu ia membuat pengakuan itu kepada TV2 Norwegia di Thailand. Ia ditemani istri dan anaknya. Berita pembelotan itu pun tersiar.
Benarkah telah terjadi perpecahan di tubuh junta? Tak ada yang berani memberi konfirmasi bahwa telah terjadi pertikaian di level pimpinan tertinggi junta. Yang ada adalah kabar yang berseliweran keluar-masuk. Dari mulai desas-desus keluarga orang nomor satu Burma yang telah terbang menuju Laos hingga cerita keretakan hubungan Than Shwe dengan orang keduanya, Jenderal Maung Aye.
Soe Aung, juru bicara National Coalition of the Union of Burma (NCUB) yang berada di luar Burma, misalnya, cuma memastikan perpecahan terjadi di tingkat lapangan. Menurut dia, baru kali ini terjadi penentangan perintah oleh tentara di depan publik. ”Mereka mempermalukan keluarga kalau sampai menembak biksu,” ujarnya saat dihubungi Tempo pekan lalu.
Satu-satunya isyarat datang dari kunjungan Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa Ibrahim Gambari ke Burma selama empat hari. Ia berhasil menemui Than Shwe, 74 tahun, antara lain berkat desakan Maung Aye, 69 tahun. Gambari juga diperbolehkan menemui pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi tak hanya sekali, tapi dua kali. Ini sebuah pertanda bahwa junta militer mulai melunak. ”Semoga ada hasil yang baik,” Perdana Menteri Burma di Pengasingan, Sein Win, dari Maryland, Amerika Serikat, berharap.
Media pro-junta juga memberitakan hasil pertemuan itu. Disebutkan, junta setuju bertemu dengan Suu Kyi, tapi ada syarat yang harus dipenuhi: Suu Kyi tak lagi bersikap konfrontatif.
Syarat inilah yang justru sebaliknya dipercaya sebagai sikap tak tergoyahkan junta militer. Leon de Riedmatten, mediator informal untuk PBB yang terlibat dalam kontak pada 2003 antara junta militer dan Suu Kyi, mengatakan bahwa para jenderal Burma tak pernah menegosiasikan apa pun.
”Mereka selalu menentukan posisi dan kemauan mereka, dan saya tak yakin itu berubah sekarang ini,” ujar De Riedmatten yang mewakili Centre for Humanitarian Dialogue kepada AFP. ”Sangat sulit pada tahap ini untuk mempercayai bahwa inilah sebuah awal dialog baru.”
Tak jauh meleset, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pun mengungkapkan pesimismenya. ”Kita tak bisa menyebutnya sebagai kesuksesan,” ujarnya setelah Gambari memberikan laporan atas kunjungannya.
Kekokohan junta itu juga diungkapkan seorang warga Rangoon kepada Tempo. ”Mereka masih sangat kuat,” katanya. Ia menceritakan bagaimana situasi Rangoon masih mencekam. Meski sebagian kota telah berjalan normal dan toko-toko dibuka, banyak keluarga yang kebingungan mencari kerabatnya yang hilang.
Sebagian besar biara pun tertutup rapat. Tentara bersenjata berjaga-jaga di luar. Ia tak tahu apakah para biksu telah pulang ke kampung halaman atau ditahan. Ia melihat stasiun kereta api penuh dengan para biarawan yang akan meninggalkan Rangoon. Demikian pula bus-bus umum. ”Penangkapan-penangkapan masih terjadi pada malam hari,” ujarnya.
Gelombang kedua penangkapan, ironisnya, terjadi hanya beberapa jam setelah Gambari terbang meninggalkan Burma. Polisi keliling kota mengancam. ”Kami memiliki foto-foto. Kami akan menangkapi (mereka).” Warga kembali gemetar.
Soal pembelotan perwira junta, pria yang berkantor tak jauh dari Pagoda Sule ini hanya mengatakan, ”Kehilangan satu, tak ada pengaruhnya.”
Zaw Oo, staf pengajar di Universitas Chiang Mai dan Vahu Institute yang mengamati Burma, menyebutkan, junta militer telah berkali-kali mengalami desersi. ”Tahun lalu, junta kehilangan 10 ribu tentara yang desersi karena mereka tak bisa hidup dalam kesulitan,” ujarnya kepada Al-Jazeera. Desersi itu terjadi karena Burma mengalami krisis ekonomi luar biasa. Bukan hanya rakyat yang sengsara, tapi juga militer di level menengah ke bawah.
Soe Aung membenarkan. Para keluarga tentara di level bawah hidup sangat miskin. Bantuan yang cukup besar dari Cina dan India hanya mengalir untuk pembelian sistem persenjataan dan perlengkapan, plus ke kantong para petinggi militer, tapi tak mengalir ke level bawah.
Kendati pernah kehilangan 10 ribu tentara, toh jumlah kekuatan militer masih besar: sekitar 400 ribu orang. Ini berarti Than Shwe masih sepenuhnya mengontrol kekuatan bersenjata.
Kabar perbedaan pendapat antara Shwe dan Maung Aye, seperti dinyatakan majalah pembangkang Burma, The Irrawaddy, bukanlah hal baru. Maung Aye, misalnya, pernah menentang penggunaan milisi Uni Solidaritas dan Asosiasi Pembangunan untuk mengatasi demonstran dengan kekerasan. Milisi ini merupakan bentukan Than Shwe pada 1993 untuk menciptakan ilusi adanya dukungan di akar masyarakat terhadap program-program sipil junta.
Jenderal ini pernah pula menolak pemindahan ibu kota ke Nyapyidaw di tengah belantara, sekitar 400 kilometer dari Rangoon. Than Shwe tetap saja lebih suka mendengar ahli nujumnya daripada profesional di dekatnya—ia adalah jenderal yang percaya takhayul.
Tak hanya dengan Maung Aye, Than Shwe pun pernah bertikai dengan petinggi militer lain. Orang kedua saat itu, Perdana Menteri yang juga Kepala Intelijen, Jenderal Khin Nyunt, mendesak Shwe agar Burma masuk ASEAN 10 tahun silam. Tujuannya agar ekonomi negeri ini berkembang. Namun, karena krisis ekonomi melanda, keanggotaan Burma di ASEAN ternyata tak mengangkat ekonomi mereka.
Dengan menjadi anggota ASEAN, rezim justru lebih kerap menjadi santapan kritik negeri tetangga, meski tak sekeras Uni Eropa atau Amerika. Buntutnya, tiga tahun lalu, Khin Nyunt tersingkir. Than Shwe tetap tegak, kian mencengkeram kekuasaan.
Ali Alatas, utusan khusus Indonesia untuk urusan Burma, ikut pesimistis. ”Dia (Than Shwe) memiliki visi sendiri mengenai peranan militer,” ujar mantan Menteri Luar Negeri yang pernah bertemu dengan Than Shwe. ASEAN, menurut dia, telah mendesak junta untuk menjalankan peta damai yang telah ditetapkan. ASEAN tak campur tangan, kata Alatas, ”Tapi susah.”
Soe Aung pun hanya bisa berharap. ”Diperlukan tekanan keras yang tak kenal henti dari masyarakat internasional, terutama ASEAN.”
Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo