ADA pro dan kontra jilbab di Prancis. Sekitar 700 pemeluk Islam melakukan unjuk rasa di jalan-jalan utama di Paris, Ahad pekan lalu. Dengan mengenakan cadar dan kerudung hitam, mereka yang kebanyakan wanita itu memprotes larangan berjilbab di sekolah-sekolah. "Kami bebas berkerudung, karena hal itu tertulis dalam Quran," ujar seorang wanita. Protes itu meledak, gara-gara insiden yang menimpa dua bersaudara Fatima dan Leila, bulan lalu. Pelajar SMP Gabriel Havez di kawasan Creil, pinggiran Prancis, ini tak diperbolehkan ikut pelajaran di sekolahnya lantaran mengenakan jilbab di dalam kelas. Semula kepala sekolahnya, Ernest Chenieres, mengizinkan mereka mengenakan jilbabnya, asalkan di luar kelas. Tapi, belakangan, mereka tetap ngotot sehingga kedua pelajar asal Tunisia ini mendapat sanksi. Di SMP negeri ini dari 870 siswa, 500 di antaranya beragama Islam. Kasus itu segera tersiar ke sekolah-sekolah di seluruh Prancis, dan sikap Sekolah Gabriel Havez segera ditiru. Sebuah SMA di Marseilles melarang seorang pelajarnya, Souan Flijan, berjilbab di sekolah. Dari Kota Avignon, terdengar juga pelarangan atas diri Saida, seorang pelajar SMA berusia 17 tahun. Lucunya, sementara pihak Gabriel Havez akhirnya membolehkan Fatima dan Leila berjilbab, asal "hanya sebatas bahu", namun, sekolah-sekolah lain tetap menetapkan larangan berjilbab. Alasannya, sejak tahun 1937 Prancis melarang membawa kecenderungan politik dan agama ke sekolah. Persatuan guru Prancis mendukung kebijaksanaan itu. "Penggunaan jilbab yang berbau politik perlu dibatasi," ujar Jean Michel Boulier, juru bicara sebuah persatuan guru terbesar di Prancis. Sebaliknya, Menteri Pendidikan Prancis, Lionel Jospin, memperingatkan agar semua sekolah di Prancis menerima semua muridnya tanpa kecuali. "Janganlah gara-gara berjilbab murid itu dikeluarkan," katanya. Kini, tambah Jospin, Departemen Kehakiman sedang berupaya memperkarakan sekolah-sekolah yang tak mau menerima siswa asing. Di Prancis, imigran dari Afrika Utara dan Timur Tengah memang banyak. Sejumlah kelompok agama non-Islam di Prancis ikut prihatin dengan masalah ini. Kata Kardinal Albert Decourtray, pemimpin Gereja Katolik Prancis, menganggap larangan itu "mengekang kebebasan." Alain Goldmann, rabi kaum Yahudi Prancis, berpendapat, toleransi seharusnya dimulai di sekolah. Sementara itu, kalangan Islam sendiri menduga bahwa pelarangan berjilbab itu banyak dipengaruhi oleh kasus Ayat-Ayat Setan Salman Rushdie. "Semua orang Muslim terkena dampaknya, meski bentuknya berbeda-beda," kata Haidar Haidar, juru bicara Perhimpunan Masyarakat Islam Prancis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini