Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=verdana size=1><B>Mahkamah Konstitusi</B></font><br />Poligami Terbuka dengan Syarat

Mahkamah Konstitusi menolak Undang-Undang Perkawinan direvisi. Segera terbit undang-undang yang akan memberi sanksi bagi pelaku pernikahan di bawah tangan.

15 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANDAS sudah perjuangan Muhammad Insa membela poligami. Rabu pekan lalu, majelis hakim Mahkamah Konstitusi mengetuk palu, menerbangkan harapannya agar undang-undang yang melarang warga negara menikah lebih dari sekali direvisi. ”Saya kecewa dengan Mahkamah Konstitusi,” katanya seusai sidang. Lelaki 50 tahun ini mengaku sudah belasan tahun berjuang supaya larangan poligami yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974, dicabut.

Pekan lalu, dalam sidang tak lebih dari satu jam, majelis hakim yang dipimpin Jimly Asshiddiqie memadamkan hasrat Insa, sekaligus mematahkan semua argumennya. Insa menunjuk, antara lain, maraknya kawin di bawah tangan dan praktek perzinaan akibat dilarangnya poligami.

Insa menegaskan, dia memperkarakan larangan poligami bukan karena ingin kawin lagi. Istrinya pun, kata dia, termasuk perempuan yang tidak rela dimadu. Ia semata memperjuangkan poligami lantaran kasihan melihat nasib anak-anak hasil perkawinan di bawah tangan. ”Mereka kesulitan mendapat akta kelahiran, juga tidak memperoleh hak waris,” ujar bekas pengacara militer ini.

Kejadian semacam ini juga menimpa salah seorang anak anggota keluarganya. ”Sekolahnya berkali-kali minta anak itu menyerahkan aktanya, tapi orang tuanya kesulitan memperoleh akta, kecuali palsu,” katanya. ”Padahal anak-anak teroris saja bisa memperoleh akta,” kata Insa, kesal.

Insa yang kini berwiraswasta itu juga melihat Undang-Undang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945. Alasannya, pembuatan Undang-Undang Perkawinan tersebut di bawah tekanan Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban. ”Seharusnya menikah itu terserah masing-masing, jangan diatur pemerintah.”

Namun alasan yang dikemukakan Insa ditolak hakim konstitusi. Menurut Jimly, walau undang-undang menyatakan asas perkawinan monogami, poligami masih dibolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur yang telah ditetapkan. Dan ketetapan itu, ujar Jimly, bukan untuk memberikan perlakuan diskriminatif, ”Tapi untuk menjamin dipenuhinya hak-hak istri dan kebebasan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”

Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, kelompok yang menentang poligami, gembira mendengar putusan hakim yang menolak gugatan Insa. ”Kami senang, tapi undang-undang ini memang harus direvisi,” kata Mike Verawati dari Divisi Advokasi Koalisi Perempuan. Menurut dia, Undang-Undang Perkawinan masih memberi celah untuk berpoligami dan memicu tindak kekerasan dalam rumah tangga. Undang-undang itu, kata dia, juga bersifat diskriminatif terhadap perempuan. ”Masak, kalau cacat, bisa dipoligami? Seharusnya kan tetap dilindungi,” ujar Mike.

Keinginan untuk merevisi undang-undang tersebut, katanya, telah ramai dibicarakan LSM perempuan sejak lima tahun silam. ”Tahun depan kami akan melanjutkan pembahasan.” Menurut Mike, selain undang-undang itu lemah karena masih ada pasal-pasal yang membolehkan poligami, di situ belum diatur soal kawin kontrak dan pengantin pesanan. ”Dua model pernikahan ini marak di Indonesia,” katanya. Padahal, kata dia, model pernikahan ini tak lebih dari prostitusi terselubung.

Pernikahan seperti ini, kata Mike, menimpa sejumlah perempuan di Kalimantan Barat, Riau, Banyuwangi, dan Indramayu, yang kebanyakan di bawah umur. ”Memang mereka dikawini, tapi aturannya tidak jelas. Ujungnya, dijebak jadi pelacur,” tuturnya. Menurut Mike, LSM perempuan bersepakat merombak total dan menghilangkan beberapa pasal Undang-Undang Perkawinan yang berlaku sekarang.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar tidak menampik bahwa UU Nomor 1 Tahun 1974 mengandung aturan yang membolehkan poligami. ”Namun, untuk melakukannya, ada aturannya, tidak bisa seenaknya,” katanya. Menurut Nazaruddin, undang-undang ini dibuat melalui proses panjang dan tidak berada di bawah tekanan siapa pun. ”Ini hasil kompromi antara kelompok yang mendukung dan tidak mendukung poligami saat itu,” ujarnya. ”Jadi undang-undang ini telah mengakomodasi semua aspirasi.”

Tentang keinginan kelompok LSM perempuan menghilangkan pasal-pasal poligami, Nazaruddin menyatakan menolak ide itu. Menurut dia, ini justru bisa menimbulkan perselisihan di masyarakat. Untuk menertibkan poligami, terutama yang lewat pernikahan di bawah tangan, menurut Nazaruddin, pemerintah tengah mempersiapkan undang-undang hukum terapan peradilan agama. Nah, undang-undang ini akan memberikan hukuman pidana dan denda kepada pelaku pernikahan di bawah tangan. ”Termasuk petugasnya,” katanya.

Sunariah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus