Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jurnalis Al Jazeera Samer Abudaqa tewas dan rekannya Wael Dahdouh terluka dalam serangan Israel di Khan Younis, Gaza selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru kamera Abudaqa dan koresponden Dahdouh sedang melaporkan di sekolah Farhana di Khan Younis ketika mereka terkena serangan Israel pada Jumat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim penyelamat tidak dapat segera mencapai Abudaqa dan orang lain di lokasi tersebut karena pengeboman Israel. Ia tewas setelah mengalami perdarahan selama lima jam di lokasi tersebut. Tentara Israel juga menembaki siapa pun yang berusaha melakukan penyelamatan terhadap Abudaqa.
“Tim penyelamat baru saja berhasil mengambil jenazah juru kamera Samer Abudaqa,” kata juru bicara jaringan media tersebut.
“Setelah Samer terluka, dia dibiarkan mati kehabisan darah selama lebih dari 5 jam, karena pasukan Israel mencegah ambulans dan petugas penyelamat untuk menghubunginya, sehingga tidak memberikan perawatan darurat yang sangat dibutuhkan,” tambah pernyataan itu.
Dahdouh terkena pecahan peluru di lengan atasnya, dan berhasil mencapai rumah sakit Nasser di mana dia dirawat karena luka ringan.
Saksi mata mengatakan sebelumnya terjadi penembakan hebat di sekitar sekolah.
Wael Dahdouh mengatakan kru jaringan tersebut menemani tim penyelamat pertahanan sipil Gaza dalam misi mengevakuasi sebuah keluarga setelah rumahnya dibom.
“Kami menangkap kehancuran yang dahsyat dan mencapai tempat-tempat yang belum terjangkau oleh lensa kamera apa pun sejak operasi darat Israel dimulai,” kata Dahdouh dari ranjang rumah sakitnya.
Ketika para jurnalis Al Jazeera kembali berjalan kaki karena daerah tersebut tidak dapat diakses oleh mobil, Dahdouh mengatakan “sesuatu yang besar” terjadi yang menjatuhkannya ke tanah.
Setelah ledakan, Dahdouh mengatakan dia menekan lukanya dan keluar dari area tersebut untuk mencari pertolongann. Namun saat dia mencapai ambulans, petugas medis mengatakan mereka tidak dapat kembali ke lokasi serangan untuk menyelamatkan Abudaqa karena terlalu berbahaya.
Upaya selanjutnya untuk mengoordinasikan jalur aman untuk mengirim penyelamat ke Abudaqa tertunda, kata Dahdouh, seraya menambahkan bahwa satu ambulans yang mencoba mendekati juru kamera itu diserang.
Banyak warga Palestina dari bagian tengah dan utara Gaza mencari perlindungan di Khan Younis sejak perang dimulai pada 7 Oktober atas perintah israel. Banyak dari mereka kini telah terdesak lebih jauh ke selatan menuju kota paling selatan di Jalur Gaza, Rafah, setelah Israel mengintensifkan operasi militernya di Khan Younis.
Serangan itu terjadi di tengah bentrokan sengit antara pejuang Palestina dan tentara Israel di lokasi-lokasi di Gaza. Warga melaporkan pertempuran di Shujayea, Sheikh Radwan, Zeitoun, Tuffah, dan Beit Hanoon di Gaza utara, di timur Maghazi di Gaza tengah dan di pinggiran tengah dan utara Khan Younis, menurut Reuters.
Jaringan Media Al Jazeera mengutuk serangan tersebut dan menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Abudaqa di Gaza dan anak-istrinya di Belgia.
“Jaringan tersebut meminta pertanggungjawaban Israel karena secara sistematis menargetkan dan membunuh jurnalis Al Jazeera dan keluarga mereka,” bunyi pernyataan tersebut.
“Dalam pengeboman hari ini di Khan Younis, drone Israel menembakkan rudal ke sebuah sekolah tempat warga sipil mencari perlindungan, yang mengakibatkan banyak korban jiwa,” kata jaringan tersebut.
Pada akhir Oktober, Wael Dahdouh kehilangan empat anggota keluarganya dalam serangan udara Israel.
Keluarganya mencari perlindungan di kamp Nuseirat di pusat Gaza ketika rumah mereka dibom oleh pasukan Israel, menewaskan istrinya, Um Hamzah, putranya yang berusia 15 tahun, Mahmoud, dan putrinya yang berusia tujuh tahun, Sham, dan cucunya, Adam, yang meninggal di rumah sakit beberapa jam kemudian.
Desakan agar Israel Bertanggung Jawab
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mengatakan pihaknya “sangat sedih” dan menyerukan penyelidikan independen atas serangan tersebut. Kelompok kebebasan pers mengatakan konflik di Gaza adalah yang paling mematikan bagi jurnalis yang pernah tercatat sepanjang sejarah.
“Kami marah dengan harga yang mahal, menurut saya harga yang ekstrim, yang harus dibayar oleh jurnalis Palestina,” kata Carlos Martinez de la Serna dari CPJ kepada Al Jazeera, sambil menambahkan bahwa ada “rasa impunitas yang jelas.”
“Kita memerlukan investigasi internasional yang independen untuk menilai semua pembunuhan ini dan mereka yang bertanggung jawab harus bertanggung jawab,” kata de la Serna. “Penting untuk diingat bahwa jurnalis berdasarkan hukum humaniter internasional adalah warga sipil, dan kewajiban semua pihak yang terlibat dalam perang adalah melindungi mereka, dan apa yang kami lihat adalah jurnalis dibunuh.”
Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) mengatakan pihaknya “terkejut” dengan serangan itu.
“Kami mengutuk serangan itu dan menegaskan kembali tuntutan kami agar nyawa jurnalis harus dilindungi,” katanya dalam sebuah postingan di X.
Laporan IFJ yang diterbitkan pekan lalu menemukan bahwa 72 persen jurnalis yang meninggal saat bekerja tahun ini tewas dalam perang Gaza.
AL JAZEERA