Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jurnalis Suriah Tak Lagi Gunakan Nama Samaran setelah Kejatuhan Assad

Banyak jurnalis Suriah tidak dapat mempublikasikan laporan mereka dengan menggunakan identitas asli karena takut akan penindasan Assad.

19 Desember 2024 | 21.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Jurnalis Suriah di seluruh dunia tak lagi menggunakan nama samaran menyusul tergulingnya Bashar al-Assad bulan ini setelah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham menguasai kota-kota besar dalam sebuah serangan berskala besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para jurnalis mengatakan bahwa mereka tidak lagi khawatir akan keselamatan pribadi mereka, sangat berbeda dengan ketika mereka meliput di bawah pemerintahan Assad, yang memimpin penumpasan kebebasan yang meluas selama lebih dari satu dekade.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Al-Araby Al-Jadeed, publikasi saudara The New Arab yang berbahasa Arab, sejumlah jurnalis segera mulai melaporkan dengan nama dan identitas asli mereka pada 8 Desember.

Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia mengatakan sekitar 717 jurnalis dan pekerja media telah terbunuh di Suriah antara Maret 2011 dan Mei 2024.

Kelompok hak asasi manusia tersebut menambahkan bahwa setidaknya 1.358 jurnalis dan pekerja media telah ditangkap dan diculik pada periode yang sama, sementara banyak lainnya telah menjadi sasaran ancaman dan pelecehan dari dinas keamanan yang bekerja untuk rezim Assad.

Menggunakan nama samaran

Direktur program Halab Today, Malath Assaf, adalah salah satu dari ribuan jurnalis yang menggunakan nama samaran hingga 8 Desember.

Assad sebelumnya menggunakan nama Mai al-Homsi, dan mengatakan kepada Al-Araby Al-Jadeed bahwa alasan utamanya adalah "rezim penindas yang berkuasa".

"Paling tidak yang bisa dilakukan adalah penangkapan, yang bisa jadi buruk karena mencakup banyak pelanggaran termasuk penyiksaan, penghilangan paksa dan pemerkosaan," jelasnya.

Dia mengatakan bahwa bagi perempuan dan gadis-gadis muda, ada berbagai alasan yang membuat mereka melakukan tindakan ekstra untuk melindungi diri mereka sendiri.

"Sudah diketahui bahwa rezim tidak hanya menargetkan individu tetapi juga keluarga. Oleh karena itu, kami tidak pernah bisa bekerja dengan nama asli kami. Secara pribadi, saya tidak memiliki keberanian untuk melakukannya," lanjutnya.

Beberapa jurnalis, meskipun telah meninggalkan Suriah, masih terus menyembunyikan identitas mereka atau menggunakan nama samaran karena takut keluarga mereka akan disiksa dan dipenjara.

Pada 2012, Assaf mendirikan sebuah surat kabar di Homos, bekerja sama dengan seorang jurnalis bernama Nidal Khattab, yang menurutnya ditangkap di sebuah pos pemeriksaan dan dieksekusi di lapangan.

"Selama bertahun-tahun, saya berharap untuk melihat nama asli saya dipublikasikan bersama dengan karya saya di media, tetapi saya terpaksa menyerah. Sekarang saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika saya dapat mengumumkan nama asli saya dan menunjukkan wajah saya setelah kejatuhan rezim".

Akhir era penindasan

Para jurnalis yang berbicara dengan Al-Araby Al-Jadeed mengatakan bahwa ini adalah sebuah "kemenangan" dan mereka berharap era penindasan dan pemenjaraan telah berakhir.

Jurnalis lain, Ali al-Hussein mengatakan bahwa ia menjadi sasaran pelecehan dan ancaman setelah identitasnya terungkap karena tulisan dan artikel yang ia publikasikan secara online, yang mengungkapkan luasnya penindasan tersebut.

"Saya ingat saya menulis dua artikel satir di mana saya mengkritik pekerjaan kementerian dan kebijakan mereka. Pada saat itu, saya menulis dengan nama Khalil Gibran. Saya menulis artikel lain, tetapi tidak diterbitkan," katanya.

Dia kemudian berpartisipasi dalam demonstrasi damai di Damaskus di samping studinya dan kemudian membuat sebuah halaman Facebook bernama "Phobia Freedom" yang ditulis oleh sejumlah aktivis, yang kini telah terbunuh, untuk halaman tersebut.

Salah satu dari mereka, Lawrence Raad, ditangkap karena upayanya memberikan pertolongan pertama dan mengevakuasi orang-orang yang terluka. Dia kemudian meninggal di salah satu penjara Assad.

"Halaman Facebook ditemukan dan para aktivis yang berpartisipasi di dalamnya menjadi dikenal, termasuk saya. Saya mengalami banyak pelecehan dan ancaman yang memaksa saya untuk tinggal di rumah di Douma. Saya akhirnya harus meninggalkan dunia jurnalistik dan memilih untuk memahat batu," katanya.

Sejak saat itu, ia mencoba-coba menulis, tetapi masih menerima peringatan dan ancaman, katanya.

Merayakan kejatuhan Assad

Banyak jurnalis yang telah lama menyembunyikan identitas telah merayakan kejatuhan Assad dan kemampuan untuk melaporkan secara bebas.

Seorang jurnalis, Manal al-Sahwi, menulis sebuah posting di Facebook pada 11 Desember untuk mengungkapkan identitasnya.

"Selama bertahun-tahun, saya menulis lebih dari 150 artikel sebagai tambahan dari pekerjaan harian saya di situs web Daraj. Saya pikir nama saya akan disembunyikan selamanya. Saya mengerjakan puluhan investigasi, laporan hak asasi manusia, blog dan artikel opini dengan keyakinan bahwa kebenaran harus disampaikan, meskipun kita tetap berada dalam bayang-bayang," katanya.

Salah satu investigasi yang ia kerjakan adalah jaringan penyelundupan narkoba yang luas yang terkait dengan istana kepresidenan di Suriah dan keterlibatan keluarga Assad dalam pembuatan dan perdagangan captagon.

"Hari ini saya bebas dan Carmen (nama samaran saya) juga bebas. Saya tidak takut mengatakan bahwa saya adalah Manal al-Sahwi dan bukan Carmen Karim. Saya hanya berharap bahwa saya tidak akan pernah kembali menulis dengan nama samaran lagi".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus