Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Thailand Serukan Pembebasan Aung San Suu Kyi

Junta militer Myanmar memindahkan Aung San Suu Kyi dan mantan presiden Win Myint dari penjara ke tahanan rumah.

28 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Thailand

Serukan Pembebasan Aung San Suu Kyi

PEMERINTAH Thailand menyerukan pembebasan penuh Aung San Suu Kyi yang ditahan junta militer sejak dikudeta pada 2021. “Pemerintah Thailand menyambut baik laporan bahwa mantan Penasihat Negara, Aung San Suu Kyi, dan mantan presiden Win Myint telah dipindahkan dari penjara ke rumah mereka sebagai langkah positif dalam menanggapi kekhawatiran masyarakat internasional. Pemerintah Thailand menyerukan langkah-langkah positif lebih lanjut yang mengarah pada pembebasan penuh mereka segera guna memajukan penerapan lima poin konsensus ASEAN,” kata Parnpree Bahiddha-Nukara, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Thailand, dalam pernyataannya pada Rabu, 17 April 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mayor Jenderal Zaw Min Tun, Wakil Menteri Informasi dalam Dewan Administrasi Negara, nama resmi junta militer Myanmar, mengatakan Suu Kyi dan Win Myint termasuk tahanan berusia lanjut dan lemah yang dipindahkan dari penjara, “Karena cuacanya sangat panas. Hal ini tidak hanya terjadi pada Aung San Suu Kyi,” ujarnya, seperti dikutip The Irrawaddy. “Untuk semua orang yang membutuhkan tindakan pencegahan, terutama tahanan lanjut usia, kami berupaya melindungi mereka dari panas yang menyengat.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suu Kyi, 78 tahun, telah dipenjara selama 27 tahun di Naypyidaw karena berbagai kasus pidana, yang dinilai para kelompok hak asasi sebagai rekayasa politik belaka. Win Myint telah dipenjara selama delapan tahun di Taungoo.

Belakangan, Thailand banyak bermain sendiri dalam menghadapi junta Myanmar. Perbatasan Thailand dan Myanmar membentang sejauh 2.400 kilometer. Setelah kelompok perlawanan menguasai Kota Myawaddy, Myanmar, pada pertengahan April 2024, ribuan pengungsi membanjiri Thailand. Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin memerintahkan tentara melindungi perbatasan dan mencegah pesawat tempur junta memasuki wilayahnya. Thailand juga menyerukan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN berdialog dengan junta untuk menyelesaikan masalah Myanmar.


Inggris

Kirim Pencari Suaka ke Rwanda

Demonstrasi menentang kebijakan Kementerian Dalam Negeri Inggris yang mendeportasi pencari suaka ke Rwanda di London, Inggris, Juni 2022. REUTERS/Henry Nicholls

SETELAH berdebat berbulan-bulan, parlemen Inggris akhirnya menyetujui undang-undang kontroversial yang mengizinkan pemerintah mengirim para pencari suaka ke Rwanda pada Selasa, 23 April 2024. Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak akan memulai pengiriman pertama ke Kigali, ibu kota Rwanda, dalam waktu dekat ini.

“Tidak ada jika, tidak ada tapi. Penerbangan (pertama) ini menuju Rwanda,” kata Sunak dalam konferensi pers pada Senin, 22 April 2024, seperti dikutip Al Jazeera. Kantor Audit Nasional, badan pengawas keuangan publik Inggris, memperkirakan pemerintah akan mengeluarkan biaya sekitar 540 juta pound sterling atau Rp 10,8 triliun lebih untuk mendeportasi 300 pencari suaka pertama.

Skema ini dirancang untuk menekan jumlah pengungsi yang melintasi Selat Inggris dengan perahu kecil. Jumlah mereka lebih dari 120 ribu orang, yang sebagian besar melarikan diri dari perang dan kemiskinan di Afrika, Timur Tengah, dan Asia sejak 2018. Rwanda, bagian dari Persemakmuran Inggris, akan menampung mereka dengan bantuan dana dari Inggris. Para pengungsi kemudian dapat mengajukan permohonan tinggal permanen di Rwanda atau suaka ke negara lain, kecuali Inggris.

Upaya ini sebenarnya sudah dimulai Perdana Menteri Boris Johnson pada April 2022, tapi gagal karena sandungan masalah hukum. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa memerintahkan pembatalan pengiriman pengungsi karena melanggar hak asasi manusia. Mahkamah Agung Inggris juga memutuskan pengiriman pengungsi dengan tiket sekali jalan ke Kigali adalah tindakan ilegal dan akan membahayakan mereka. Pemerintahan Sunak kemudian melobi parlemen untuk menerbitkan undang-undang baru ini dengan mengabaikan pasal-pasal hak asasi manusia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus