Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengapa Hizbullah Getol Membela Palestina Melawan Israel?

Hizbullah meningkatkan serangan ke Israel di tengah perang Hamas-Israel di Gaza. Ditempa perang dan kekuatan tradisional ulama.

28 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK PERTAMA kalinya sejak Desember 2023 sirene tanda bahaya menjerit di Kota Acre, Israel, pada Rabu, 24 April 2024. Kota pelabuhan di pesisir Mediterania itu terletak 20 kilometer dari perbatasan Libanon selatan. Menurut media Hizbullah, Mawqi Al Muqawamah Al Islamiyah fi Lubnan, sirene itu berbunyi setelah dua drone Hizbullah berhasil menembus Kubah Besi, sistem pertahanan udara Israel. Ini serangan terjauh mereka, yang biasanya menembakkan peluru kendali ke wilayah Israel utara dari dalam Libanon selatan. Sejauh ini, tidak ada laporan kerusakan di Acre akibat serangan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hizbullah, kelompok perlawanan muslim Syiah di Libanon yang disokong Iran, meningkatkan serangan ke Israel sejak Iran menyerang Negeri Yahudi dengan 300 drone dan rudal pada 14 April 2024. Serangan ini dikhawatirkan akan kian memanaskan situasi Timur Tengah di tengah perang Hamas-Israel di Gaza.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ali Munhanif, guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, menilai eskalasi serangan Hizbullah ini jelas menunggangi serangan Iran. “Dia menjadi penunggang bebas untuk memanas-manasi situasi menjadi eskalasi,” katanya kepada Tempo, Senin, 22 April 2024. “Tujuan sebenarnya adalah agar Israel menyerang Hizbullah, kemudian di situlah pertunjukan luar biasa tentang kekejaman, kebrutalan, ketidakadilan terjadi. Ini untuk menunjukkan betapa Israel merupakan negara yang tidak layak dihormati di dunia internasional.”

Militansi Hizbullah lahir di tengah kawasan yang terus dilanda perang. Setelah Israel merdeka pada 1948, pecah perang Arab-Israel yang melibatkan Libanon dan negara-negara Arab dengan korban lebih dari 6.000 warga Yahudi dan 10 ribu orang Arab. Perang Arab-Israel terjadi lagi pada 1967, ketika Israel menginvasi Selat Tiran, yang bersimpangan dengan Terusan Suez yang dikuasai Mesir. Lalu perang sipil Libanon pecah selama 1975-1990.

Sebuah kendaraan hancur dfan bagunan rusak sehari setelah Hizbullah meluncurkan rudal di sebuah komunitas, di Israel utara 18 April 2024. REUTERS/Hannah GAMBAR McKay

Pada 1982, tentara Israel menginvasi Libanon dan mengepung Beirut untuk menghancurkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan akhirnya mundur setelah ada perjanjian perdamaian yang dimediasi Amerika Serikat pada 1983.

Hizbullah, dari bahasa Arab yang berarti Partai Tuhan, diperkirakan berdiri pada 1982 meskipun benih-benihnya sudah muncul sebelumnya, terutama menguatnya komunitas Syiah di Libanon. Menurut Dominique Avon dan Anaïs-Trissa Khatchadourian dalam Hezbollah: A History of the “Party of God”, saat itu kaum Syiah mendominasi kawasan Libanon selatan dan muncul generasi ulama Syiah baru, seperti Imam Musa al-Sadr, Ayatollah Mohammad Hussein Fadlallah, dan Ayatollah Mohammad Mahdi al-Din, pada 1960-an.

Musa al-Sadr mengambil prakarsa penting dengan membentuk Dewan Syiah Islam Tertinggi Libanon pada 1967 yang dapat menunjuk mufti dan mengelola wakaf serta mendirikan Harakat al-Mahrumin, organisasi politik Syiah pertama, pada 1974 bersama dengan Amal, sayap militernya.

Hizbullah sebenarnya gabungan dari Amal, milisi PLO pimpinan Yasser Arafat, dan anggota Partai Dawa di Irak yang didirikan Muhammad Baqir al-Sadr, ulama Syiah dan sepupu Musa al-Sadr. Ideologi Hizbullah mengacu pada pandangan para ulama Syiah, terutama Ayatullah Ruhullah Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran.

Menurut Ali Munhanif, kaum Syiah makin militan karena munculnya tokoh-tokoh perlawanan yang merupakan veteran perang. Ketika Israel memburu para milisi PLO, banyak tokohnya yang kabur ke berbagai negara, termasuk Libanon.

“Hizbullah memang komunitas yang paling getol membela tokoh PLO waktu itu. Mereka menyembunyikan kelompok tersebut, menjadi semacam suaka orang-orang PLO di wilayah Israel utara,” ucap peneliti senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta ini.

Ali menuturkan, Hizbullah menguat karena kekuatan ideologi yang menyatukan mereka dengan otoritas tradisional para ulama. Salah satu yang terkuat adalah Hassan Nasrallah, ulama Syiah dan Sekretaris Jenderal Hizbullah. “Itu karena ketaatan pada imam, sebagaimana orang Syiah di Iran taat kepada para mullah, menjadi faktor penting dalam menjaga solidaritas ataupun kekuatan pengikat militansi masyarakat Syiah di Libanon,” ujarnya.

Militansi itu, Ali menambahkan, kemudian dikawinkan dengan ideologi perlawanan anti-Israel. “Hamas dan Hizbullah memiliki ideologi yang mirip, yaitu Palestina merdeka di wilayah Arab, tapi bukan `solusi dua negara´. Ideologi mereka adalah mengusir Israel dari tanah Arab dan Palestina merdeka. Itu harga mati,” tuturnya. Solusi dua negara adalah gagasan berdirinya negara Israel dan negara Palestina berdampingan secara damai.

“Ideologi itulah yang menjadi daya tarik anak-anak muda. Kebencian terhadap Israel ditanamkan begitu kuat karena memang pengalaman-pengalaman pahit yang mereka alami, seperti anak muda yang tidak punya pendidikan, tidak punya kesempatan ekonomi, ditahan, dan seterusnya yang menjadikan solidaritas itu makin kuat,” kata Ali. “Bagi anak muda, bergabung dengan organisasi Hamas ataupun dengan Hizbullah adalah dambaan. Pokoknya, revolusi tak pernah mati.”

Di sisi lain, Israel juga bermasalah. “Dari segi pelanggaran hukum internasional, Israel ini paling berjibun. Semua resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa ia labrak, tidak ia taati. Banyak kesepakatan internasional yang tidak ia jalankan sama sekali, termasuk keinginan dunia menghentikan pembangunan permukiman baru di Tepi Barat, misalnya,” ujar Ali.

Hizbullah juga tumbuh besar karena negara Libanon lemah, seperti banyak negara di kawasan ini. Menurut Ali, negara-negara di Timur Tengah sebenarnya hanya lapisan tipis dari elite yang berkuasa. “Mereka berkuasa tapi tidak memerintah,” katanya.

Ali menambahkan, “Tantangan utamanya adalah kekuatan klan atau keluarga-keluarga Arab yang memang mempunyai tradisi mengadministrasi masyarakat yang dikenal sebagai para syekh. Jaringan keluarga ini mendiami suatu wilayah dan membentuk masyarakat tribal.”

Menurut Ali, Libanon belum bisa mentransformasi masyarakatnya untuk menerima negara modern karena mereka lebih loyal kepada klan dibanding kepada negara. Akibatnya, muncul kelompok seperti kaum Syiah yang berkuasa di selatan; Kristen Maronit dan Druze, kelompok etnoreligius Arab, di kawasan Gunung Libanon di tengah; dan Islam Sunni yang tersebar di berbagai wilayah. Hal ini melahirkan Pakta Nasional 1943 yang mengatur bahwa presiden adalah perwakilan kalangan Kristen Maronit, ketua parlemen berasal dari Syiah, dan perdana menteri datang dari Sunni. Upaya menghapus “kesepakatan” ini tak pernah berhasil.

Perang Hizbullah-Israel, Ali melanjutkan, adalah perang yang tidak sah karena Hizbullah bukanlah negara. Hizbullah hanyalah kelompok perlawanan. “Yang diharapkan Hizbullah dalam perang ini bukan kemenangan secara militer, tapi kemenangan atas keprihatinan internasional bahwa di tengah stabilitas Timur Tengah ada masalah yang belum selesai, bahwa 'Kami masih dijajah Israel',” ucap doktor lulusan McGill University, Kanada, itu.

Namun, Ali menjelaskan, keinginan mereka memperjuangkan Palestina merdeka justru tidak berhasil dengan cara ini. Negara-negara berdaulat di dunia Islam relatif bersikap moderat dengan menyelesaikan masalah Palestina melalui diplomasi tiga pihak Palestina-Israel-Amerika Serikat.

“Mereka mengharapkan suatu perundingan dalam skala yang lebih terukur, dijaga komitmennya oleh semua pihak, dan bantuan-bantuan kemanusiaan mengiringi untuk mengantarkan proses negosiasi tadi menuju solusi dua negara,” katanya. “Hal ini makin menjadikan apa yang dilakukan Hamas dan Hizbullah sekarang tidak populer.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Perlawanan Partai Tuhan".

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus