BERIKUT laporan Richard S. Ehrlich, koresponden TEMPO yang akhir pekan lalu terbang ke Kabul dari New Dehli. Ibu Kota Kabul yang berselimut salju dicekam ketakutan, saat Soviet menyiapkan penarikan pasukannya yang terakhir. Baik pemerintah Afghanistan maupun masyarakat luas tak tahu bagaimana mereka bisa menyelamatkan diri nanti dari serangan Mujahidin yang sejak pekan lalu mencekik Kabul dengan menguasi jalan-jalan yang menghubungkan Kabul dengan kota-kota lain. "Bagimana caranya keluar dari sini? Negara mana yang sudi menampung saya?" kata seorang pedangang kain ketika empat peluru meriam melesat, meninggalkan jejak kuning di langit, menuju pusat pertahanan Mujahidin di wilayah Kandahar, sekitar 80 mil di selatan. Di Kabul sudah tersebar kabar bahwa 18.000 tentara Soviet yang selama ini menjaga Ibu Kota akan pulang pada 5 Februari, bukan 15. Itulah mengapa kecemasan makin meruyak. Seorang pemuda mengeluh sambil mengangkat dua kaleng bensin yang kosong karena ia tak mendapat jatah. "Sekarang tak ada bensin, tak ada gandum, tak ada gula. Mungkin kelak tak ada apa-apa," katanya. Kiriman bahan pangan dan bahan bakar darurat dari Soviet pertengahan pekan lalu, antara lain yang datang lewat darat dengan kawalan 350 tank dan kendaran perang yang lain plus kiriman lewat udara, ternyata belum mencukupi. Rasa tak menentu, kebingungan mencari pengungsian hampir menimpa semua yang berada di Kabul, baik penduduk setempat maupun orang asing. "Kita mungkin bisa mengambil jalan darat ke Pakistan," kata seorang Eropa yang bekerja di perusahaan swasta. "karena kita bukan orang Rusia, mungkin pemeberontak tak akan membantai kita." Kedutaan AS, Inggris, Jerman Barat, Prancis, Italia, Jepang, dan lainnya memang sudah mengadakan pesta perpisahan di klub diplomatik yang tertutup. Di Kedubes AS, Senin pekan ini bendera bintang-bintang dan garis-garis sudah diturunkan. Seorang duta besar dari Dunia Ketiga marah-marah kepada Gorbachev. "Ia akan dicatat sejarah karena mencoba menghapus kesalahannya melakukan invasi ke Afghanistan dengan kesalahan baru yang lebih parah. Yakni meninggalkan Afghanistan dalam keadaan perang. Kondisi sekarang berbahaya sekali," kata diplomat yang terus mendesak negaranya agar ia ditarik pulang. Ia cemas bukan kepalang karena negaranya mewajibkannya tetap tinggal di Kabul. Kedutaan-kedutaan yang tetap mencoba bertahan adalah India, Pakistan, Mesir, dan RRC. Sementara itu, para diplomat asing adu meramal kapan Kabul jatuh. Sebagian menebak Juli, sebagian Agustus. Yang jelas, tak ada yang meramalkan Kabul tidak jatuh ke tangan Mujahidin. Ini disebabkan kenyataan bahwa kebanyakan warga Kabul lebih pro Muhajidin. Saya baru datang dari gunung menemui Mujahidin. Mereka teman-teman saya," kata seorang pedagang permadani. Seorang tentara pemerintah yang menyandang AK-47, yang menjaga sebuah gedung, berbisik kepada saya," Saudara saya pejuang Mujahidin, maka saya tak perlu takut." Sementara itu, cara para pejuang Muslim menggempur Kabul dalam musim salju kini berbeda-beda. Sebagian lebih suka menjepit pelan-pelan dengan cara antara lain memotong jalan-jalan yang menghubungkan Kabul dengan kota-kota sekitarnya. Kelompok lainnya lebih suka menghujani Kabul dengan roket dan peluru meriam. Kedubes Soviet tampak sibuk. Sejak beberapa pekan lalu jalan di depan gedung kedutaan diperlebar dan diperkeras. Menurut sumber kedutaan, itu untuk pembuanagan air limbah. Menurut para diplomat Barat, jalan itu kini memenuhi syarat buat mendarat pesawat. Tampaknya, Soviet sudah berjaga-jaga untuk bisa melakukan pendaratan dan tinggal landas darurat di depan gedung kedutaan. Banyak tentara Rusia yang tampak gembira karena segera pulang. Tak bersedia disebutkan identitasnya, seorang tentara Beruang Merah menyesali peperangan yang membunuh paling sedikit 1 juta orang Afghanistan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini