Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kantong Kosong di Meja Perundingan

Amerika tak punya tawaran damai apa pun untuk menjinakkan Korea Utara, sementara Pentagon diam-diam merancang skenario perang.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM hal teknologi perang, Korea Utara boleh jadi kalah jauh dari Amerika Serikat. Tapi, dalam urusan adu gertakan, nanti dulu. Pekan lalu, saat Korea Utara berunding dengan Amerika di Beijing, Li Gun, ketua delegasi Korea Utara, membisikkan sebuah "bom" ke kuping James Kelly, asisten Menteri Luar Negeri AS: Korea Utara tengah memproses ulang 8.000 batang bahan nuklir di proyek Yongbyon—yang cukup untuk meramu beberapa bom atom. Kelly tak bereaksi. Tapi bos Kelly, Menteri Luar Negeri Colin Powell, langsung membalas, "Jika Kim (Kim Jong-il, pemimpin Korea Utara) memproduksi plutonium, upaya diplomatik tak akan bergerak maju." Para pengamat yakin pernyataan Li Gun cuma gertakan belaka. Sebab, Pyongyang toh akhirnya setuju berunding di Beijing dan menerima Cina sebagai mediator. Tadinya Korea Utara bersikeras hanya mau berembuk dengan Amerika. Sebaliknya, AS bersikeras isu nuklir Korea Utara dibicarakan secara multilateral dengan menyertakan Cina, Korea Selatan, dan Jepang. "Ini kesempatan untuk menyatakan kepada Korea Utara bahwa kami tak akan mengancam," ujar Presiden George W. Bush. Sejauh ini, sikap Amerika terhadap Korea Utara memang tidak segalak seperti kepada Irak. Maklum, ada risiko yang mesti dihitung: Korea Utara telah telanjur menyimpan senjata nuklir yang bisa dilontarkan saat terdesak. Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld belum lama mengancam, Amerika akan menggulingkan rezim Kim Jong-il jika Korea Utara tidak "bertobat" soal nuklir. Alih-alih keder, Pyongyang menjawab silakan saja jika Amerika ingin Semenanjung Korea berubah menjadi ladang perang nuklir. Amerika mati-matian menentang kepemilikan Korea Utara terhadap senjata nuklir secara sah. Sebaliknya, Pyongyang menjadikan senjata nuklirnya sebagai alat tawar-menawar yang jitu. Korea Utara mau membuka pintu pembicaraan tentang program senjata nuklir jika AS menjamin keamanan, bantuan, dan pengakuan diplomatik. Repotnya, hingga saat ini, AS tak menawarkan sesuatu yang jelas. Sebaliknya, Amerika bersikeras tak akan meladeni Korea Utara jika Pyongyang ngotot mengajukan prasyarat perundingan. Alhasil, keduanya bak membawa kantong kosong ke meja perundingan. Tapi Amerika, harus diakui, masih punya kartu truf: embargo ekonomi—yang sudah pernah diterapkan ke Korea Utara dan sukses menghancurkan perekonomian negara tersebut. Cina belum lama ini juga menghukum Korea Utara setelah negara itu melakukan uji coba senjata rudal ke kawasan laut yang mengarah ke Jepang bulan lalu. Untuk perbuatan tersebut, Cina langsung menyetop bantuan minyaknya untuk beberapa lama. Korea Utara memang amat bergantung pada Cina dalam hal ekonomi, terutama suplai makanan. Itu sebabnya Amerika mati-matian mendesak Cina agar menjadi penengah. Amerika juga menganggap hukuman ekonomi akan efektif memaksa Korea Utara meninggalkan program nuklirnya. Lagi pula pilihan serangan militer yang akan dibalas dengan senjata nuklir oleh Korea Utara diperkirakan bisa menghabiskan satu juta jiwa di Korea Utara dan Selatan pada hari pertama serangan. Toh, ini bukan berarti Amerika sudah "tutup buku" terhadap opsi bumi hangus. Para pencinta perang di Pentagon di bawah komando Donald Rumsfeld sudah menyiapkan skenario terbaru perang di Korea Utara seperti yang dikemukakan koran The Australian. Editor berita luar negeri The Australian, Greg Sheridan, menyatakan bahwa Amerika sudah punya cetak biru rencana pengeboman reaktor Yongbyon jika Korea Utara masih terus nekat memproduksi plutonium. Pengeboman ini akan diikuti serangan terhadap altileri berat Korea Utara di sekitar perbatasan Korea Selatan. Langkah ini sudah pasti mengancam Seoul, ibu kota Korea Selatan, serta 17 ribu anggota pasukan AS yang ditempatkan di sekitar kawasan itu. Menurut The Australian, Donald Rumsfeld juga telah menyiapkan rencana kedua. Memo rahasia Rumsfeld yang beredar di Washington menyebutkan bahwa AS berniat menggulingkan rezim Kim Jong-il yang menjadi dalang krisis nuklir di Semenanjung Korea. Sejauh ini, belum ada konfirmasi resmi dari Gedung Putih tentang rencana perang Rumsfeld. Colin Powell hanya mengatakan Amerika tak mengesampingkan pilihan serangan militer terhadap Korea Utara, meski tetap menghendaki penyelesaian diplomatik. "Kami tak akan membiarkan Semenanjung Korea menjadi kawasan senjata nuklir," ujar Powell. Dan dunia lagi-lagi terperangah melihat Amerika yang begitu sibuk melacak senjata nuklir dari Irak hingga Korea Utara—dan tidak kunjung berhasil—sembari membutakan mata terhadap senjata nuklir si anak emas Amerika: Israel. Raihul Fadjri (CS Monitor, WPost, Reuters, AP, The Economist)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus