Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tukar-Tambah Kabinet Baru

Mengapa Yasser Arafat akhirnya menerima susunan kabinet Mahmoud Abbas alias Abu Mazen—yang tadinya dia tolak dengan keras—sebagai perdana menteri baru Palestina?

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di dalam kantor yang sudah separuh boyak di Ramallah, tiga orang itu merapatkan badan sembari bergandeng tangan. Berdiri di tengah, Presiden Palestina Yasser Arafat, diapit oleh Mahmoud Abbas alias Abu Mazen serta Oman Sulaimen, mediator perundingan asal Mesir. Arafat angkat bicara: dirinya dan Abu Mazen telah bersepakat tentang usul kabinet baru Palestina, yang akan mereka serahkan kepada parlemen tujuh jam berikutnya. Peristiwa pada hari Rabu pekan lalu itu sekaligus mengakhiri drama perseteruan Arafat versus Abu Mazen. ”Memang tadinya ada hambatan. Tapi sekarang tidak lagi,” ujar Abu Mazen. Orang-orang yang hadir dalam ruangan itu menyaksikan saat-saat rujuk tersebut dengan rasa haru. Maklumlah, pertikaian keras kedua pemimpin Palestina itu sempat berlangsung selama lima pekan. Bahkan sepekan sebelum rujuk, Yasser Arafat sempat memaki Abu Mazen saat dia mengajukan tim kabinetnya. Tak terima diperlakukan kasar, Abbas kabur dari ruangan. Pangkal selisih Arafat dan Abbas adalah penguasaan atas bidang keamanan. Abu menjagokan Mohammad Dahlan. Mantan kepala keamanan di Gaza itu didapuk Abu Mazen menjadi menteri dalam negeri yang akan bertanggung jawab atas seluruh keamanan Palestina. Sedangkan Arafat ngotot mempertahankan kroninya, Hani Al-Hassan, di pos itu. Tapi sang Presiden akhirnya mengalah. Mengapa? Dia tak punya pilihan lain. Pemerintah Amerika dan Uni Eropa yang menengahi perundingan damai Palestina-Israel menekan keras-keras si tua Arafat. Mereka bersikeras ”mendudukkan” Abu Mazen di kursi perdana menteri untuk mengimbangi Arafat yang dianggap cenderung melindungi teroris. Presiden Amerika George W. Bush yang doyan perang itu bahkan sok menjadi ”ahli perdamaian” segala. Bush berkoar, begitu kabinet Abu Mazen terbentuk, dia akan mengumumkan ”road map”. Inilah formula yang, menurut Bush, akan mengakhiri konflik Palestina-Israel yang telah berlangsung puluhan tahun itu. Arafat menyerah saat melihat negara-negara Arab pun tidak mendukungnya. Mesir malah mengirim Oman Sulaimen untuk menekannya. Tadinya Arafat mencalonkan ketua parlemen Ahmad Qurei atau Menteri Keuangan Salam Fayyad. Keduanya menolak. Arafat berpaling pada kroninya yang lain: Saeb Erekat, Hani al-Hassan, atau Nabil Shaath. Namun gagal lagi karena AS dan Eropa menolak. Mereka hanya mau mendukung Abu Mazen. Akhirnya jalan tengah pun diambil. Arafat menerima Dahlan menjadi menteri urusan keamanan. Jabatan menteri dalam negeri dirangkap oleh Perdana Menteri Abu Mazen. Hani al-Hassan diberi kursi penasihat keamanan presiden. Sebagai ”barter” Abu Mazen tetap mempertahankan sejumlah orang dekat Arafat: Saeb Erekat menjadi menteri telekomunikasi dan Nabil Shaath memimpin kementerian luar negeri. Abu Mazen sendiri harus tetap berkonsultasi dengan Arafat tentang seluruh kebijakan penting keamanan, termasuk penindakan tegas terhadap kelompok militan Hamas, Jihad Islam, dan brigade syuhada Al-Aqsa. Imbalan lain bagi Arafat adalah keselamatan pribadinya maupun kepemimpinannya terhadap Otoritas Palestina tetap dijamin. Uni Eropa bahkan berjanji akan meminta pemerintah Israel untuk mencabut larangan keluarnya Arafat dari Ramallah. Sejak Desember 2001, Arafat nyaris seperti terpenjara di kantornya sendiri di Ramallah. Jalan tengah yang diambil ini menunjukkan pergeseran politik di Palestina, terutama dalam hal penanganan kelompok militan. Abu Mazen dan Dahlan diterima baik Israel dan Amerika karena dianggap serius menangani kelompok bersenjata yang sering melakukan aksi bom bunuh diri di Israel. Saat menjabat kepala keamanan Gaza, misalnya—sebelum mundur tahun lalu—Dahlan menangkapi anggota kelompok militan. Adapun Abu Mazen menganggap kekerasan terhadap warga Israel dengan cara intifadah adalah kesalahan yang kian memberi legitimasi pasukan Israel untuk menyerang Palestina. Bulan lalu, Abu Mazen bertemu dengan pemimpin Hamas di Gaza dan menyatakan keinginannya membubarkan Hamas. Mereka balik menantangnya agar lebih dulu membubarkan Brigade Al-Aqsa. Sedangkan Arafat yakin pembubaran itu justru akan melahirkan perang saudara ”di kalangan sendiri”. Lihat saja sikap Hamas yang terus bersikeras melawan: Kamis pekan silam, sebuah bom bunuh diri kembali meledak di stasiun kereta api di Kfar Saba. Sebuah awal berdarah untuk kabinet yang susunannya bahkan baru akan dibahas oleh parlemen Palestina pada awal pekan ini. Purwani Diyah Prabandari (Haaretz, ArabNews.com, Al-Hayat, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus