Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

KBRI Helsinki Promosikan Peran Ulama Perempuan di Indonesia

Gambaran bahwa ulama identik dengan lelaki diadopsi tak hanya oleh sebagian umat muslim, namun masyarakat internasional yang relatif awam pada Islam

10 Mei 2023 | 17.00 WIB

Duta Besar RI untuk Finlandia Ratu Silvy Gayatri dan Ruby Kholifah bersama para peserta diskusi. Sumber: KBRI Helsinki, 8 Mei 2023
Perbesar
Duta Besar RI untuk Finlandia Ratu Silvy Gayatri dan Ruby Kholifah bersama para peserta diskusi. Sumber: KBRI Helsinki, 8 Mei 2023

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Helsinki pada Senin, 8 Mei 2023, menggelar sebuah forum diskusi dengan tema "Moslem Women Empowerment in Indonesia: Perspective of Women, Peace, and Security". Diskusi ini untuk membahas mengenai kemajuan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia, termasuk menawarkan definisi ulama yang lebih luas bagi komunitas internasional di Finlandia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pasalnya, sebutan ulama di Indonesia tidak monolitik melekat bagi guru agama lelaki semata, namun juga perempuan, dengan sumbangsih nyata bagi pemberdayaan masyarakat. Hal itu ditekankan oleh Dwi Rubiyanti Kholifah,Country Representative Asian Muslim Action Network (AMAN) untuk Indonesia, sekaligus penggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), yang tengah melawat ke Finlandia atas undangan Martti Ahtisaari Peace Foundation.    

Ketika seseorang menyebut kata ‘ulama’, seringkali sosok yang segera terlintas di kepala adalah laki-laki paruh baya dengan rekam jejak panjang menekuni dan mengajarkan tafsir hukum Islam. Gambaran dominan bahwa ulama identik dengan lelaki diadopsi tak hanya oleh sebagian umat muslim, namun juga masyarakat internasional yang relatif awam terhadap Islam.

 

“Di Indonesia kata ulama itu cenderung netral, tidak selalu diasosiasikan dengan laki-laki,” ujarnya. “Para ulama perempuan ini menyadari bahwa interpretasi teks keagamaan harus sejalan dengan pengalaman perempuan di Tanah Air. Para ulama perempuan ini juga aktif merujuk teks-teks Islam yang mendukung kesetaraan gender.”

Rubiyanti menyatakan kultur Islam di Indonesia secara alamiah cukup inklusif, sehingga perempuan muslim bebas beraktivitas di berbagai ruang publik. Contohnya di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, di Jepara pimpinan Hindun Anissa, ulama perempuan, yang diterima dengan baik komunitas muslim lainnya. Kehadiran ulama perempuan semakin menguat selepas reformasi karena iklim demokrasi di Indonesia membaik. Dampaknya partisipasi perempuan di ruang publik, termasuk dalam urusan agama, semakin diterima semua kalangan.

 

Peran nyata para ulama perempuan dari Indonesia inilah yang mendorong Duta Besar RI untuk Finlandia dan Estonia, Ratu Silvy Gayatri, menggelar forum diskusi "Moslem Women Empowerment in Indonesia: Perspective of Women, Peace, and Security". Diskusi mengenai keragaman Islam Tanah Air termasuk dalam agenda diplomasi kebudayaan yang senantiasa diupayakan KBRI Helsinki.

 

“Forum semacam ini penting untuk memperlihatkan wajah muslim Indonesia kepada dunia. Apa yang telah dilakukan oleh para ulama perempuan ini perlu ditularkan ke negara lain, karena pada akhirnya perempuan yang berdaya akan memberi pengaruh pada kemajuan suatu bangsa,” kata Duta Besar Gayatri.

 

Rubiyanti, aktivis pesantren yang aktif di jejaring kajian gender dan Islam selama tiga dekade terakhir, menjelaskan keberadaan ulama perempuan turut berperan membuat ajaran Islam di Indonesia lebih moderat, dibandingkan negara mayoritas muslim lainnya.

 

Salah satu contoh kiprah mereka adalah menerbitkan fatwa yang melarang perkawinan anak dan kawin paksa bagi umat muslim. Para ulama perempuan di Tanah Air ini, juga aktif memberi rekomendasi pada Kementerian Agama, agar fatwa mereka senantiasa dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.

 

Selain menolak perkawinan anak, ulama-ulama perempuan di Indonesia turut merespons berbagai topik lain yang relevan dengan keseharian umat muslim global. Di antaranya penolakan terhadap sunat perempuan, reintegrasi eks-kombatan kelompok teroris, hingga perlindungan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

 

“Ke depan kami ingin mendorong orang dari mancanegara datang ke Indonesia, karena tanpa datang dan melihat sendiri kondisi pesantren di negara kita, mereka tidak akan paham mengapa bisa muncul gerakan ulama perempuan. Mereka bisa sekaligus belajar demokrasi di Indonesia dan nilai keislaman kita yang khas,” ujar Rubiyanti. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus