Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Zainuddin MZ lahir pada 2 Maret 1952 di Jakarta dari orang tua bernama Turmudzi dan Zainabun. Pemilik nama asli Zainuddin Hamidi ini harus melalui masa kecil yang penuh beragam persoalan. Ia harus menelan kepahitan lantaran ayahnya meninggal dunia. Setelah itu, ibunya menikah lagi dan dikarunia tiga anak. Namun, beberapa tahun kemudian, ayah tirinya meninggal dunia dan sang ibu menikah lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut repository.uinjkt.ac.id, kisah masa kecil yang akrab disapa Udin ini berkontribusi dalam perjalanan dakwahnya yang sarat dengan kritik kemanusiaan. Namun, kritik dalam ceramah tersebut disampaikan oleh Zainuddin dengan ciri khas berupa penuh humor dengan nada khas Betawi, bahasa ringan, dan menyentuh lapisan masyarakat. Akibatnya, tidak ada yang merasa tersinggung dalam ceramahnya. Gaya khas ini yang sangat melekat dalam dakwah Zainuddin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Zainuddin sebagai Dai Sejuta Umat semakin terkenal lantaran berdakwah dari panggung ke panggung sehingga menjadi daya tarik bagi pemilik radio dan televisi. Akibatnya, banyak pihak-pihak stasiun radio dan televisi yang melakukan kontrak untuk membuat rekaman dengan dai ini. Bahkan, kaset rekaman Zainuddin juga tersebar luas di berbagai daerah nasional maupun mancanegara. Dengan begitu, wajar jika namanya melambung sebagai Dai Sejuta Umat pada masanya.
Selain berdakwah, Zainuddin juga berkontribusi dalam dunia politik lantaran ingin berperan membentuk bangsa yang cerdas. Pasalnya, dalam dunia politik, pemuka agama berperan signifikan untuk menaikkan suara dan menjadi katalisator ketika ada pertentangan dalam partai. Saat masuk dalam dunia politik, ia berkeinginan merubah tatanan lama yang menghubungkan dengan permasalahan kotor sambil menyampaikan dakwah. Gagasan agama melalui politik menjadi hal penting sebagai kendaraan pejabat mengontrol kekuasaan.
Lalu, pada 1977-1982, Zainuddin bergabung dengan Partai Persatuan Pembangun (PPP) yang berhasil mendongkrak suara partai. Ia juga berjuang menegakkan Islam dan NU menjadi jalan alternatif membimbing Indonesia. Keterlibatannya dalam politik lantaran partai Islam mendapatkan tekanan Orde Baru sehingga sedikit mendapat tempat untuk berdinamika. Namun pada 1983, ia meninggalkan politik praktisnya karena ruang dakwahnya menjadi terjepit akibat kehausan penguasa.
Setelah mundur dari politik praktis, Zainuddin karena belum cukup memberikan hal signifikan bagi bangsa. Melalui autokritik terhadap PPP, ia mendeklarasikan partai dengan nama Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (PPPR) pada 20 Januari 2002. Melalui Muktamar Luar Biasa (MLB) pada 8-9 April 2003, nama PPP berubah menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR).
Sayangnya, Zainuddin menyadari bahwa politik menjadi semakin kotor karena banyak politisi bertindak tidak sesuai hukum. Ia pun memutuskan mundur sebagai Ketua PBR.
Pada 5 Juli 2011, pukul 09.2 , Zainuddin MZ meninggal ketika dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) ketika berusia 59 tahun. Menurut keterangan keluarga, Zainuddin memiliki riwayat penyakit yang sudah cukup lama diderita. Ia juga sedang menjalani pengobatan rutin, tetapi tidak di RSPP. Jenazah Zainuddin dimakamkan tak jauh dari Masjid Jami Fajrul Islamini, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
RACHEL FARAHDIBA R | KARTIKA CANDRA