API kerusuhan akhir-akhir ini makin marak di berbagai negara
bagian India. Di Nagaland, empat orang terbunuh ketika terjadi
bentrokan bersenjata antara polisi dengan kelompok ekstrim yang
ingin memerdekakan negara bagian itu dari India. Di Uttar
Pradesh, 170 jiwa melayang akibat perkelahian antara penganut
Islam dan Hindu. Sementara itu di Assam, buntut penolakan
mahasiswa terhadap pekerja imigran telah mengakibatkan sekitar
190 penduduk mati.
Sejak merdeka (1947) kerusuhan di India memang hampir tak pernah
reda. Soal kecil kadang-kadang bisa berekor panjang dan
mengakibatkan ratusan orang mati. Pertengkaran di warung kopi,
insiden lalu lintas, sampai kisah cinta dua insan yang berbeda
agama, misalnya, sering jadi sumbu huru-hara.
Yang paling merisaukan belakangan ini adalah tindakan
pemerkosaan terhadap wanita yang dilakukan oleh polisi. Kasus
ini sempat membuat marah berbagai kalangan. Di Rajya Sabha
(Majlis Tinggi) dan di Lok Sabha (Parlemen), para anggota
kedua lembaga itu sibuk mempertanyakan: mengapa itu bisa
terjadi? Sementara koran dan majalah secara besar-besaran
mengulas peristiwa ini dalam tulisan bersambung.
"Ini adalah suatu perubahan besar," kata Veena Dua, seorang
sosiolog dari Universitas Delhi. Ia menambahkan peristiwa
pemerkosaan itu sebenarnya bukanlah hal baru, hanya saja berita
serupa baru kali ini dilaporkan secara besar-besaran. Awal bulan
lalu ribuan wanita berdemonstrasi di New Delhi memprotes
tindakan polisi di Uttar Pradesh yang memperkosa seorang
wanita.
Pemerintah Ny. Indira Gandhi rupanya cukup tangkas menghadapi
masalah pemerkosaan ini. Suatu rancangan UU mengenai hukuman
bagi polisi yang melakukan pemerkosaan telah diajukan oleh
Menteri Dalam Negeri Zail Singh ke Lok Sabha. Dalam UU itu
ditentukan bahwa seorang polisi yang melakukan pemerkosaan akan
dihukum penjara minimal 10 tahun dan maksimal seumur hidup.
Dalam menghadapi kekerasan lain, baik konflik kasta, permusuhan
antar agama, maupun aksi kaum ekstrimis, upaya penegakan hukum
juga ditingkatkan. Presiden Sanjiva Reddy mengumumkan
berlakunya Ordonansi Keamanan Nasional (SO), pekan lalu
dengan NSO. Pemerintah diberi wewenang untuk menahan seseorang
selama 12 bulan tanpa dibawa ke pengadilan.
NSO kembali mengingatkan orang ke masa Ny. Gandhi mengumumkan
berlakunya keadaan darurat di negara itu. Meskipun berbeda dalam
nama, wewenang yang dimiliki pemerintah pusat untuk menahan
seseorang sama saja dengan masa keadaan darurat, 1977.
'Kebutuhan akan Ordonansi Keamanan Nasional, belakangan ini
meningkat," demikian pernyataan resmi pemerintah. Beberapa
negara bagian bahkan jauh sebelumnya telah memberlakukan
peraturan yang sama dalam menghadapi kerusuhan, yang meningkat
belakangan ini.
Reaksi keras terhadap keputusan mempergunakan NSO muncul darl
partai oposisi. Mereka menuduh bahwa ordonansi ini akan
digunakan untuk memukul kalangan oposisi sebagaimana yang
terjadi di masa keadaan darurat. Waktu itu sekitar 150.000 orang
lawan politik Ny. Gandhi terpaksa meringkuk di penjara. "Kami
akan berjuang sekuat tenaga untuk menolak berlakunya ordonansi
yang kejam itu," kata Tarakeshwari Sinha, seorang tokoh oposisi.
Ordonansi ini menurut rencana akan diajukan ke Lok Sabha,
November, untuk mendapatkan persetujuan dari Parlemen.
Rencana untuk menentang ordonansi ini secara besar-besaran
muncul dari Partai Janata. "Kami akan melancarkan kampanye ke
seluruh negeri untuk mencabut ordonansi ini," kata Subramania
Swamy, tokoh Partai Janata yang dulu berhasil menentang
kekuasaan 'keadaan darurat' Ny. Gandhi.
Ny. Gandhi belum buka suara. Diperkirakan ordonansi ini akan
mendapat persetujuan Lok Sabha. Karena Partai Kongres (I)
partai Ny. Gandhi, merupakan mayoritas di lembaga tersebut.
Mereka menguasai duapertiga kursi parlemen.
Apakah kisah keadaan darurat akan terulang lagi? Tergantung
sejauh mana Ny Gandhi menggunakan kekuasan. Tapi yang pasti
untuk menghadapi berbagai kerusuhan jelas diperlukan suatu
senjata yang kuat: wujudnya bisa NSO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini