Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Yang Resmi Datang Rezeki Hilang (?)

Pihak Departemen P & K menerbitkan buku PMP resmi setelah hampir lima tahun memakai buku sementara yang banyak dikritik sekolah-sekolah kristen.(pdk)

4 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELAJARAN Pendidikan Moral Pancasila (PMP) bisa menjadi sumber bisnis. Dicanangkan lewat pembakuan kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum 75 (yang harus mulai diterapkan di SD sampai dengan SLTA tahun 1976), PMP ternyata belum bisa dikeluarkan buku resminya oleh Departemen P & K - sampai akhir Juli yang lalu. Bahkan, "karena keterlambatan teknis, belum seluruh sekolah menerimanya Insya Allah Oktober ini baru bisa semuanya," kata Prof. Darji Darmodiharjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM). Maka selama itu PMP sempat memberi rezeki kepada sejumlah penulis yang lalu membuat buku pelajaran tersebut. Sebab pedomannya memang ada: silabus Kurikulum 75 itu, UUD 45 dan GBBHN. Lampu Merah Bisa dipahami bila buku-buku tersebut tak seragam -- meski ada ketentuan setiap buku paling sedikit harus direkomendasi Kanwil P&K setempat. Dan dari 1975 sampai tahun lalu buku yang mendapat rekomendasi Ditjen PDM hampir mencapai 50 judul -- belum terhitung yang hanya mendapat rekomendasi Kanwil. Hebatnya pula -atau untungnya -- buku pelajaran yang "menyangkut masalah ideologi negara" (kata Darji) itu, hampir semuanya tak menimbulkan masalah. Lalu terdengarlah kabar di akhir Juli lalu ada buku PMP -- karangan Drs. Suidihardjo dan Drs. Moekri S. - yang isinya dianggap sedikit menyinggung perasaan agama tertentu. Buku untuk SLTP dan SLTA tersebut mencantumkan kalimat seperti: "Tuhan tidak mempunyai ayah tidak mempunyai ibu. Tuhan tidak berputra dan tidak diputrakan." Juga di halaman berikutnya tercantum "Tuhan itu Maha Esa, tidak berputra dan tidak diputrakan." Dengan alasan hal itu "bertentangan dengan ajaran iman Kristen-Katolik", Kepala Kanwil P&K Ja-Tim melarang buku tersebut untuk semua SLTP dan SLTA -- negeri, tentunya -- di wilayahnya. Tapi sesungguhnya Drs. Soegijo, Kakanwil Ja-Tim itu, tak pasti sekolah mana saja yang menggunakan buku itu. Keputusan itu pun hanya didasarkan pada surat Dirjen PDM yang mengatakan ada beberapa sekolah di Ja-Tim yang memakainya. Yang jelas buku tersebut memang dijual di toko-toko buku di Surabaya. Mungkin peristiwanya bisa ditarik mundur. Awal Juni lalu buku tersebut menjadi pembicaraan di kalangan tertentu. Majalah Hidu, milik umat Katolik terbitan Jakarta edisi 8 Juni, memuat tulisan P. Rahardjo yang mengritik buku tersebut yang untuk SD -- sebagai "lampu merah bagi sekolah-sekolah Katolik." Sebabnya ya soal "Tuhan tidak berputra dan tidak diputrakan" itu. Konsep Kristen tentang Tuhan memang bersifat Tritunggal -- dan Yesus itu disebut 'putra Allah'. "Padahal PMP itu pelajaran wajlb yang harus diikuti setiap murid, apa pun agamanya. Buku Saidi dan Moekri S. bisa membingungkan murid beragama Kristen," kata Darji lalu. Saidihardio, 39 tahun, ternyata dengan hati menanggapi tulisan P. Rahardjo Dalam Hidup, 13 Juli, ia mengakui kekhilafannya. "Saya akui kesempatan wawasan saya," katanya kepala TEMPO. Bukan apa-apa, barangkali. Kalimat "Tuhan tidak berputra dan tidak diputakan' memang tercantum dalam Surah Al-Ikhlas ("Surat Kulhu", populernya) yang pasti berbekas dalam diri orang muslim yang mana saja, termasuk kedua penulis. Hanya menurut salah satu penerbitnya (buku PMP Saidi dan Moekri S. yang untuk SD dan SMP diterbitkan oleh penerbit Tiga Serangkai, Solo, yang untuk SMA oleh PD Nasional, Yogya), buku Saidi memang belum direkomendasi Departemen P & K -- baru mendapat "restu dari Kanwil P & K Yogyakarta." Dengan demtkian sekitar lima ribu eksemplar buku tersebut terpaksa ditunda pemasarannya untuk revisi. "Ya, rugi, tapi revisi 'kan penting," kata Ibu Zaenal dari PD Nasional. Pihak Departemen P & K sendiri, sebelum mengeluarkan buku PMP yang resmi, sebenarnya telah menyusun buku sementara yang bisa digunakan. 1978 Ditjen PDM menentukan buku keluaran Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Dan menurut beberapa toko buku, begitu muncul buku tersebut buku PMP yang lain memang jadi seret lakunya. Kebanyakan sekolah yang sempat dikunjungi TEMPO di Jakarta. Semarang dan Surabaya, pun nampaknya buku malang itu. Sebelumnya, buku PMP memang bisa mendatangkan rezeki yang lumayan. Slamet Hariadi, guru SD di Gresik, Ja-Tim, yang sempat menyusun buku PMP untuk semua kelas SD, bisa bercerita. Sejak 1975, bukunya tiap jilid tiap tahun mengalami cetak ulang, dan rata-rata dicetak 10 ribu eksemplar. Sampai kemudian muncul buku Malang -- dan "buku saya anjlog pemasarannya sekitar 50%," tuturnya. "Apalagi sekarang, setelah ada buku resminya." Tapi ia telah sempat mendirikan sebuah percetakan offset, dengan biaya sekitar Rp 30 juta. Lantas bagaimana buku PMP yang resmi itu? "PMP bukan pelajaran sejarlh atau tatanegara atau pelajaran ilmu pengetaluan sosial atau agama," kata Dirjen PDM. "PMP bukan hanya itu. Lewat pelajaran ini, diharapkan murid menghayati dan menerapkan norma yang terkandung dalam Pancasila." Paham?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus