PELAJARAN Pendidikan Moral Pancasila (PMP) bisa menjadi sumber
bisnis. Dicanangkan lewat pembakuan kurikulum yang dikenal
dengan nama Kurikulum 75 (yang harus mulai diterapkan di SD
sampai dengan SLTA tahun 1976), PMP ternyata belum bisa
dikeluarkan buku resminya oleh Departemen P & K - sampai akhir
Juli yang lalu.
Bahkan, "karena keterlambatan teknis, belum seluruh sekolah
menerimanya Insya Allah Oktober ini baru bisa semuanya," kata
Prof. Darji Darmodiharjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
(PDM). Maka selama itu PMP sempat memberi rezeki kepada
sejumlah penulis yang lalu membuat buku pelajaran tersebut.
Sebab pedomannya memang ada: silabus Kurikulum 75 itu, UUD 45
dan GBBHN.
Lampu Merah
Bisa dipahami bila buku-buku tersebut tak seragam -- meski ada
ketentuan setiap buku paling sedikit harus direkomendasi Kanwil
P&K setempat. Dan dari 1975 sampai tahun lalu buku yang mendapat
rekomendasi Ditjen PDM hampir mencapai 50 judul -- belum
terhitung yang hanya mendapat rekomendasi Kanwil. Hebatnya pula
-atau untungnya -- buku pelajaran yang "menyangkut masalah
ideologi negara" (kata Darji) itu, hampir semuanya tak
menimbulkan masalah.
Lalu terdengarlah kabar di akhir Juli lalu ada buku PMP --
karangan Drs. Suidihardjo dan Drs. Moekri S. - yang isinya
dianggap sedikit menyinggung perasaan agama tertentu. Buku
untuk SLTP dan SLTA tersebut mencantumkan kalimat seperti:
"Tuhan tidak mempunyai ayah tidak mempunyai ibu. Tuhan tidak
berputra dan tidak diputrakan." Juga di halaman berikutnya
tercantum "Tuhan itu Maha Esa, tidak berputra dan tidak
diputrakan." Dengan alasan hal itu "bertentangan dengan ajaran
iman Kristen-Katolik", Kepala Kanwil P&K Ja-Tim melarang buku
tersebut untuk semua SLTP dan SLTA -- negeri, tentunya -- di
wilayahnya.
Tapi sesungguhnya Drs. Soegijo, Kakanwil Ja-Tim itu, tak pasti
sekolah mana saja yang menggunakan buku itu. Keputusan itu pun
hanya didasarkan pada surat Dirjen PDM yang mengatakan ada
beberapa sekolah di Ja-Tim yang memakainya. Yang jelas buku
tersebut memang dijual di toko-toko buku di Surabaya.
Mungkin peristiwanya bisa ditarik mundur. Awal Juni lalu buku
tersebut menjadi pembicaraan di kalangan tertentu. Majalah
Hidu, milik umat Katolik terbitan Jakarta edisi 8 Juni, memuat
tulisan P. Rahardjo yang mengritik buku tersebut yang untuk SD
-- sebagai "lampu merah bagi sekolah-sekolah Katolik." Sebabnya
ya soal "Tuhan tidak berputra dan tidak diputrakan" itu. Konsep
Kristen tentang Tuhan memang bersifat Tritunggal -- dan Yesus
itu disebut 'putra Allah'.
"Padahal PMP itu pelajaran wajlb yang harus diikuti setiap
murid, apa pun agamanya. Buku Saidi dan Moekri S. bisa
membingungkan murid beragama Kristen," kata Darji lalu.
Saidihardio, 39 tahun, ternyata dengan hati menanggapi
tulisan P. Rahardjo Dalam Hidup, 13 Juli, ia mengakui
kekhilafannya. "Saya akui kesempatan wawasan saya," katanya
kepala TEMPO.
Bukan apa-apa, barangkali. Kalimat "Tuhan tidak berputra dan
tidak diputakan' memang tercantum dalam Surah Al-Ikhlas
("Surat Kulhu", populernya) yang pasti berbekas dalam diri
orang muslim yang mana saja, termasuk kedua penulis. Hanya
menurut salah satu penerbitnya (buku PMP Saidi dan Moekri S.
yang untuk SD dan SMP diterbitkan oleh penerbit Tiga Serangkai,
Solo, yang untuk SMA oleh PD Nasional, Yogya), buku Saidi memang
belum direkomendasi Departemen P & K -- baru mendapat "restu
dari Kanwil P & K Yogyakarta."
Dengan demtkian sekitar lima ribu eksemplar buku tersebut
terpaksa ditunda pemasarannya untuk revisi. "Ya, rugi, tapi
revisi 'kan penting," kata Ibu Zaenal dari PD Nasional.
Pihak Departemen P & K sendiri, sebelum mengeluarkan buku PMP
yang resmi, sebenarnya telah menyusun buku sementara yang bisa
digunakan. 1978 Ditjen PDM menentukan buku keluaran Laboratorium
Pancasila IKIP Malang. Dan menurut beberapa toko buku, begitu
muncul buku tersebut buku PMP yang lain memang jadi seret
lakunya. Kebanyakan sekolah yang sempat dikunjungi TEMPO di
Jakarta. Semarang dan Surabaya, pun nampaknya buku malang
itu.
Sebelumnya, buku PMP memang bisa mendatangkan rezeki yang
lumayan.
Slamet Hariadi, guru SD di Gresik, Ja-Tim, yang sempat menyusun
buku PMP untuk semua kelas SD, bisa bercerita. Sejak 1975,
bukunya tiap jilid tiap tahun mengalami cetak ulang, dan
rata-rata dicetak 10 ribu eksemplar. Sampai kemudian muncul buku
Malang -- dan "buku saya anjlog pemasarannya sekitar 50%,"
tuturnya. "Apalagi sekarang, setelah ada buku resminya." Tapi ia
telah sempat mendirikan sebuah percetakan offset, dengan biaya
sekitar Rp 30 juta.
Lantas bagaimana buku PMP yang resmi itu? "PMP bukan pelajaran
sejarlh atau tatanegara atau pelajaran ilmu pengetaluan sosial
atau agama," kata Dirjen PDM. "PMP bukan hanya itu. Lewat
pelajaran ini, diharapkan murid menghayati dan menerapkan norma
yang terkandung dalam Pancasila." Paham?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini