Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Keajaiban dari Rumah Sakit Panzi

Denis Mukwege berbagi Hadiah Nobel Perdamaian dengan Nadia Murad. Nyaris dibunuh karena berkampanye menentang kekerasan seksual terhadap kaum Hawa di Kongo.

12 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Denis Mukwege memberikan keterangan pers tentang Hadiah Nobel Perdamaian di Kota Bukavu, Kivu Selatan, Kongo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Denis Mukwege tengah berada di ruang operasi Rumah Sakit Panzi di Kota Bukavu, Republik Demokratik Kongo, saat kabar gembira itu datang. Dari beberapa pasiennya, yang mendengar berita yang tersiar dari Kota Oslo, Norwegia, pria 63 tahun ini mengetahui bahwa ia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian.

Suara riuh pasien perempuan yang awalnya terdengar di luar ruang operasi itu akhirnya menghampiri Mukwege. ”Mereka masuk ke ruangan dan memberi tahu saya berita itu. Anda bisa membayangkan betapa tergeraknya saya,” kata Mukwege kepada surat kabar Norwegia, Verdens Gang, Jumat dua pekan lalu.

Ketua Komite Nobel Berit Reiss-Andersen mengatakan bahwa Nobel Perdamaian tahun ini diberikan kepada Denis Mukwege, dokter bedah kandungan yang merawat ribuan korban pemerkosaan di Kongo, dan Nadia Murad, aktivis yang pernah menjadi budak seks kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Menurut Reiss-Andersen, Mukwege dan Murad telah memberi kontribusi penting untuk menangani kejahatan perang, terutama upaya untuk menghentikan penggunaan kekerasan seksual. ”Dari keduanya, kita menyadari bahwa kaum perempuan kerap dimanfaatkan sebagai senjata perang,” ujarnya.

DENIS Mukwege dilahirkan di Bukavu, kota terbesar di Provinsi Kivu Selatan, pada 1 Maret 1955. Saat itu Kongo masih dijajah Belgia. Sejak kecil, ia menggemari sains. Namun, saat ingin melanjutkan kuliah pada 1974, ia tidak bisa memilih jurusan favoritnya. Rezim diktator Presiden Mobutu Sese Seko, yang berkuasa selama 32 tahun dan sempat mengganti nama Kongo menjadi Zaire, memutuskan siapa dan di mana setiap orang belajar. Mukwege diharuskan jadi calon insinyur dan kuliah di politeknik University of Kinshasa.

Nadia Murad (tengah) saat mengunjungi desanya di Kojo, Irak, Juni 2017 (kanan).

Mukwege cukup beruntung bisa kuliah, tapi hatinya ada di tempat lain: menjadi dokter. Ketika masih kecil, Mukwege sering menemani ayahnya, seorang pendeta Gereja Pantekosta, mengunjungi umat parokinya dan berdoa untuk orang sakit. Anak ketiga dari sembilan bersaudara ini ingat bagaimana ia kerap melihat wanita yang menderita komplikasi penyakit setelah melahirkan dan tidak mendapat perawatan medis yang tepat. ”Sejak itu, ia terpikir untuk menjadi seorang dokter,” tulis situs Umurage.

Di Ibu Kota Kinshasa, Mukwege hanya menjalani kuliah selama dua tahun. Ia meninggalkan Kongo untuk mengikuti sekolah kedokteran di Burundi. Enam tahun kemudian, Mukwege kembali ke Kongo dan bergabung dengan staf medis rumah sakit umum di Lemera, kota kecil sejauh 92 kilometer di selatan Bukavu, dekat dengan perbatasan Burundi. Ia mengawali karier medisnya sebagai dokter di sana pada 1989. ”Saat itu perhatian utama saya mengurangi angka kematian ibu saat melahirkan,” katanya.

Rumah sakit di Lemera itu hancur saat Perang Kongo Pertama, yang dipicu invasi Rwanda dan Uganda, pecah pada 1996. Banyak pasien wanita yang tewas dibunuh di tempat tidur mereka. Staf medis juga dibantai. ”Saya harus meninggalkan Lemera dan pergi ke Bukavu, ibu kota Provinsi Kivu Selatan,” ujar Mukwege. Di sana, ia mendirikan klinik Panzi, yang berkembang menjadi rumah sakit pada 1999.

Mukwege awalnya mendirikan klinik untuk berkonsentrasi pada perawatan bersalin. Namun pasien pertama yang mengunjungi kliniknya tidak datang untuk melahirkan. ”Wanita ini telah diperkosa,” ucapnya. ”Pemerkosanya telah menembak organ seksualnya dari jarak dekat.” Pasien pertama Mukwege itu harus menjalani enam operasi bedah sebelum bisa kembali menjalani kehidupan yang normal.

Mukwege semula mengira kasus itu adalah kejadian luar biasa, tindakan barbar yang dilakukan orang gila. Tapi, dalam tiga bulan, ia merawat 45 pasien dengan kasus yang sama. ”Seluruh panggul mereka hancur,” ujarnya saat itu. Mukwege terperenyak karena pasiennya termasuk anak-anak. ”Pasien saya yang termuda adalah bocah 3 tahun, sementara yang paling tua berumur 75 tahun.”

Dua tahun selepas Perang Kongo Pertama meletus, konflik justru memburuk. Rwanda dan Uganda kembali menyerbu Kongo, memicu Perang Kongo Kedua. Dalam beberapa bulan, sembilan negara Afrika terlibat dalam konflik berdarah di negeri kaya emas, berlian, dan bijih coltan tersebut. Situasi makin parah dengan hampir 20 kelompok pemberontak berperang dalam konflik paling mematikan di Afrika itu.

Selama lima tahun, perang yang turut dilatari oleh konflik etnis antara Hutu dan Tutsi dalam peristiwa genosida di Rwanda pada 1994 itu diperkirakan telah menewaskan 3,8 juta orang. Sebagian besar korban meninggal karena kelaparan dan penyakit. Jutaan lainnya mengungsi atau mencari suaka di negara-negara tetangga. Hingga kini, konflik di negeri berpenduduk 78 juta jiwa itu belum berakhir.

Di Bukavu, Mukwege merasakan dampak perang yang mengoyak negaranya. Rumah Sakit Panzi dibanjiri pasien korban pemerkosaan yang datang setiap hari. Dia telah melakukan ribuan operasi pada wanita untuk menyembuhkan luka akibat serangan kekerasan, yang kerap dilakukan oleh milisi pemberontak. ”Mereka acap diperkosa beramai-ramai. Ada yang dijadikan budak seks dan disekap berbulan-bulan di hutan,” ucapnya. Akibat bedah rekonstruksi yang dilakukannya, Mukwege dijuluki sebagai ”dokter ajaib”.

Noelle Mateso, salah seorang korban dan penyintas, mengatakan bahwa ia kehilangan keluarganya saat milisi Interahamwe menyerbu desanya dan membantai hampir semua penduduk laki-laki. ”Suami dan tiga anak saya dibunuh. Lalu mereka memerkosa saya,” kata perempuan etnis Tutsi tersebut.

Pelaku kekerasan seksual bukan hanya milisi. Lembaga-lembaga bantuan internasional menuding semua pihak dalam konflik telah menggunakan ”pemerkosaan sistematis” terhadap perempuan sebagai senjata perang. Ini termasuk pasukan keamanan Kongo.

Pada 2016, Mukwege pernah menyatakan bahwa kekejaman di Kongo timur mencapai tahap yang mengerikan. ”Termasuk mutilasi bayi dan mengeluarkan isi perut wanita hamil,” ujarnya. Bahkan mayoritas kekerasan seksual di Kivu Selatan, menurut Mukwege, dilakukan oleh warga sipil dan bukan hanya kelompok bersenjata atau tentara. Banyak warga sipil di sana adalah bekas pemberontak.

Pemerkosaan yang dialami kaum Hawa di Kongo terbilang sangat brutal. ”Beberapa wanita menderita fistula, luka yang lazim dijumpai pada korban kekerasan seksual,” kata Mukwege. Di Kongo, perempuan dengan fistula tak hanya menderita secara fisik. Mereka sering dijauhi keluarganya dan dicap ”kotor” oleh masyarakat. ”Mereka dianggap sebagai ’wanita Interahamwe’ dan tak ada yang mendekatinya.”

Di kampung halamannya di Bukavu, Mukwege bisa mengoperasi hingga sepuluh pasien setiap hari. Ia tak jarang merawat perempuan yang sama yang mengalami beberapa kali pemerkosaan. Selama lebih dari dua dekade, ia bersama 370 dokter, perawat, dan staf medis Rumah Sakit Panzi telah merawat lebih dari 85 ribu orang. Dengan 450 tempat tidur, rumah sakit itu menangani lebih dari 3.500 pasien per tahun.

Kengerian yang disaksikannya di Bukavu membuat Mukwege tak tinggal diam. Ayah lima anak ini gencar berkampanye untuk menunjukkan kekerasan yang diderita kaum Hawa di Kongo. Ia pernah melontarkan kritik tajam terhadap pemerintah Kongo dan negara sekitarnya karena mengejar ”perang yang tidak adil yang telah menggunakan kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosaan sebagai strategi perang”.

Pada September 2012, Mukwege menyampaikan pidato yang keras dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia mengutuk impunitas terhadap pemerkosaan massal di Kongo serta mengkritik kelambanan komunitas internasional dan pemerintah Kongo atas pembantaian di Kivu.

Sebulan setelah pidatonya itu, Mukwege nyaris kehilangan nyawa. Ia selamat dari upaya pembunuhan yang sempat membuat anak-anaknya disandera dan penjaganya tewas. Namun insiden itu tidak menyurutkan langkahnya. Di Rumah Sakit Panzi, yang sejak itu berada dalam perlindungan permanen pasukan perdamaian PBB, Mukwege dan timnya terus menyelamatkan para perempuan Kongo.

MAHARDIKA SATRIA HADI (DW, THE NATIONAL, CBS NEWS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus