Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kita Hanya Waspada Sehabis Kejadian

ADA bencana, ada Muhammad Jusuf Kalla. Dalam peristiwa tsunami Aceh pada 2004, gempa Yogyakarta 2006, gempa Sumatera Barat 2009, dan lainnya, Kalla selalu ikut menangani, baik sebagai wakil presiden maupun Ketua Palang Merah Indonesia.

12 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jusuf Kalla -TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat gempa dan tsunami menghantam Palu, Donggala, serta Sigi di Sulawesi Tengah pada 28 September lalu, Kalla sedang berada di New York, Amerika Serikat, untuk menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dua hari setelah Kalla tiba di Tanah Air pada 2 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo menunjuknya sebagai pemimpin pelaksana penanganan bencana Sulawesi Tengah.

Sebelum Kalla turun tangan, penanganan bencana yang menewaskan lebih dari 2.000 orang dan membuat 67 ribu lainnya mengungsi itu karut-marut. Sampai-sampai sebagian warga menjarah toko dan truk pengangkut bantuan dengan alasan kelaparan.

Pada H+5 itu, Kalla menginstruksikan berbagai kementerian dan lembaga mempercepat perbaikan listrik dan sarana komunikasi serta penyediaan bahan bakar. Namun ia menolak anggapan sebagai pemicu perbaikan keadaan di Palu, Donggala, dan Sigi. ”Karena memang saat itu listrik sudah menyala,” katanya di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin pekan lalu.

Pria asal Bone, Sulawesi Selatan, itu membantah tudingan bahwa pemerintah lambat merespons bencana tersebut. Kalla, 76 tahun, mengatakan semua pihak langsung bergerak pada hari pertama. ”Cuma, tidak ada cara,” ujarnya. Menurut dia, Palu lumpuh dan jalur udara terputus karena Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufri di kota itu rusak. Satu-satunya pintu masuk adalah jalur darat, yang mesti ditempuh selama 20 jam dari Makassar. Kepada wartawan Tempo, Anton Septian, Reza Maulana, Stefanus Pramono, Raymundus Rikang, dan Angelina Anjar, yang mewancarainya secara khusus siang itu, Kalla juga berbicara tentang pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia serta kondisi perekonomian Indonesia.

Penanganan bencana Sulawesi Tengah membaik pada hari kelima. Apakah karena Anda?

Situasi di tiap bencana memang selalu begitu. Panik di hari-hari pertama. Penyebabnya listrik tidak ada, komunikasi tidak ada. Bayangkan, kita terbiasa terang, tiba-tiba gelap. Coba Anda ke luar rumah tanpa handphone, kan, seperti kehilangan. Ini semua orang kehilangan. Paniklah mereka. Setelah beberapa hari, bantuan mulai datang, listrik mulai menyala. Kondisi pun membaik. Jadi bukan karena saya.

Apa yang Anda lakukan setelah ditunjuk Presiden Joko Widodo?

Yang pertama adalah memperjelas tugas masing-masing, baik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), gubernur, wali kota, kementerian-kementerian, maupun satuan tugas yang berada di bawah komando resor militer. Kemudian saya menginstruksikan percepatan perbaikan listrik dan pasokan bahan bakar, makanan, air, dan tenda serta pelayanan kesehatan. Inti dari tanggap darurat adalah itu.

Mengapa harus ada pemimpin pelaksana?

Presiden meminta saya setelah beliau kembali dari Palu. Untuk hal-hal krisis, harus ada seseorang yang memberi komando supaya tidak kacau.

Bukankah sudah ada BNPB?

Koordinasi di lapangan dilaksanakan Pak Wiranto, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, karena butuh banyak koordinasi dengan, misalnya, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Kesehatan. Pak Wiranto berada di level kebijakan, Pak Willem (Rampangilei, Kepala BNPB) di level pelaksanaan.

Pemerintah mendapat kritik pedas karena sampai terjadi penjarahan....

Itu efek kelambatan kami menyediakan makanan. Pada hari pertama, mungkin korban masih punya sisa-sisa makanan. Hari kedua, walaupun ada beras dan mi instan, tidak ada gas. Jadi tidak bisa dimasak. Karena itu, timbul hal seperti itu. Awalnya orang hanya mengambil makanan. Lama-lama menjalar. Tapi itu hanya berlangsung sehari karena bisa diamankan polisi dan tentara.

Anda mengakui respons pemerintah lambat?

Saya tidak mengatakan lambat. Respon bisa dikatakan lambat kalau kami terlena. Kami tidak terlena, melainkan tidak ada cara. Transportasi tidak bisa masuk. Butuh satu hari satu malam untuk mendatangkan bantuan dari Makassar. Jalurnya pun hanya darat. Jalur udara baru ada pada hari kedua. Sebenarnya penanganan ini sudah luar biasa. Perkiraannya listrik baru bisa menyala dalam waktu sebulan. Ternyata kurang dari sepekan sudah menyala. Bahan bakar minyak pun sama. Perkiraannya sepuluh hari, enam hari sudah masuk.

Mengapa penanganan bencana di Sulawesi Tengah lebih rumit ketimbang gempa Lombok, Juli-Agustus lalu?

Gempa Lombok terjadi di perdesaan. Ekonomi di Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, tetap jalan. Mau beras, gula, gas, bahan bakar, ada. Listrik tidak mati. Karena itu, tidak ada orang berteriak kelaparan. Di Palu, gempa, tsunami, dan likuefaksi menghantam pusat wilayahnya.

Anda merasa ada motif politik di balik kritik penanganan bencana ini?

Tentu ada dan itu tidak wajar. Kami tidak berpikir politik. Hanya orang luar yang berpikir politik. Gerindra, misalnya, menganggap penanganan lamban. Padahal Gubernur Sulawesi Tengah, Pak Longki Djanggola, orang Gerindra. Jadi sebenarnya siapa yang lamban? Yang mengkritik tidak sadar bahwa dia sendiri yang dikritik. He-he-he….

Apakah Anda menemukan bukti pemerintah daerah lamban merespons gempa Sulawesi Tengah?

Kelambanan dari sisi koordinasi karena tidak ada komunikasi, listrik, dan bahan bakar. Orang saling mencari, tapi tidak ada komunikasi. Saat saya ke sana pada Jumat (5 Oktober 2018), kantor gubernur masih kosong karena aparatnya menjaga keluarga masing-masing.

Berdasarkan pengalaman sejak 2004, penanganan bencana apa yang bisa jadi rujukan?

Yang terbaik adalah penanganan tsunami Aceh. PBB memberi Indonesia penghargaan terkait dengan penanganan bencana itu. Kita dianggap lebih baik daripada penanganan topan Katrina di Amerika Serikat pada 2005. Di Aceh, kami punya timetable. Karena semuanya kolaps, masa tanggap daruratnya enam bulan. Dalam enam bulan itu juga Aceh harus damai (dari konflik Tentara Nasional Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka). Bantuan asing masuk antara Januari dan Juli 2005. Pada Maret 2005, dibentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Setelah enam bulan, masuk tahap rekonstruksi.

Tidak ada kekacauan seperti di Sulawesi Tengah?

Di Aceh, hari pertama juga chaos. Tapi kami menanganinya sejak awal. Kami menempatkan satu menteri di sana, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Pak Alwi Shihab. Kami mengambil alih penanganannya secara keseluruhan. Kami juga membuat pusat logistik di Medan.

Apa hal pertama yang Anda pikirkan saat tiba di lokasi bencana?

Pertanyaan pertama saya, ”Bagaimana menolong ini? Apa yang bisa diselamatkan?” Saat di Aceh, pada hari pertama, laporannya hanya 70 orang yang meninggal. Sorenya, 200 orang. Malamnya, 5.000 orang. Besoknya, saat saya tiba di sana, ternyata 200 ribu orang. Perasaan saya tentu sedih. Apalagi melihat mayat bergelimpangan. Tapi, kalau sudah meninggal, mau apa? Di Aceh dulu orang tidak mau menguburkan para korban karena belum dimandikan, dikafani, dan disalatkan. Saya sampai harus membuat ”fatwa” bahwa para korban mati syahid sehingga bisa langsung dikuburkan.

Pernahkah Anda menangis di lokasi bencana?

Saya tidak pernah menangis. Bagaimana kita mau bekerja kalau menangis? Saya kasih instruksi saja. Seperti sekarang, saya instruksikan adik dan anak saya di Makassar membeli semua roti yang ada di Makassar untuk dikirim ke Palu. Telur asin juga. Saat gempa Yogyakarta pada 2006 juga begitu. Saya kontrak satu pabrik roti di Semarang. Seluruh produksinya saya beli selama seminggu untuk dikirim ke Yogyakarta.

Apakah pertemuan IMF dan Bank Dunia menjadi pertimbangan gempa Sulawesi Tengah tidak ditetapkan menjadi bencana nasional?

Masih ada gubernur dan wali kota. Saat ini pemerintah daerah sudah bisa menggelar apel. Dulu di Aceh tidak bisa karena semua aparat pemerintahnya menjadi korban. Selain itu, kerusakan Palu tidak seperti Aceh. Aceh mungkin sekitar 70 persen kotanya habis. Sedangkan Palu mungkin hanya sekitar 25 persen. Meskipun begitu, tidak ada perbedaan penanganan bencana yang berstatus bencana nasional dengan yang bukan. Pemerintah pusat membantu seratus persen. Selain itu, kami tidak mau menetapkan ini sebagai bencana nasional karena takut image Indonesia di luar negeri bermasalah.

Sejauh mana kesadaran masyarakat akan bencana alam?

Kita hanya waspada sehabis kejadian. Ramai-ramai bikin pelatihan, sebar pamflet, bangun sistem peringatan dini. Lama-lama lupa semua. Sudahlah, tidak usah pikirkan early warning. Tidak usah lihat handphone cari potensi tsunami. Begitu ada gempa, semua yang ada di pinggir laut lari saja. Cari aman. Di Pulau Simeulue, Aceh, ada adat yang mengharuskan masyarakat lari ke tempat tinggi saat ada gempa. Saat tsunami 2004, yang meninggal sebelas orang.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dikritik karena sistem peringatan dini tidak berjalan....

Ya. Tidak jalan itu sirene.

Apakah jatuhnya korban bisa diminimalkan jika sistem kebencanaan lebih mumpuni?

Jepang punya itu. Tapi tetap saja, saat terjadi gempa dan tsunami di Fukushima, 15 ribu orang meninggal. Walaupun ada peringatan tsunami, kalau jaraknya dengan gempa hanya 10 menit, seperti di Palu, masyarakat susah bergerak. Makanya pakai adat saja seperti di Simeulue.

Apa rencana pemerintah pada tahap rekonstruksi Palu?

Saya meminta dibuat sebuah tata kota baru yang lebih baik. Saya juga meminta dibikin peta daerah merah atau rawan seperti Petobo (terjadi likuefaksi pascagempa). Kemudian wilayah yang masuk peta itu dikosongkan. Saat ini kami sedang memikirkan ke mana para korban itu akan direlokasi.

Berapa lama tahap rekonstruksi Palu hingga selesai?

Harus selesai dalam dua tahun. Bisa.

Apa yang hendak pemerintah capai dalam pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia?

Pertemuan itu tidak membicarakan ekonomi Indonesia, tapi ekonomi dunia. Tapi, jika IMF berhasil mengelola ekonomi dunia, itu akan bermanfaat bagi Indonesia. Selain itu, 34 ribu orang yang menghadiri pertemuan akan lebih mengenal Indonesia, sehingga kita akan makin mudah berbicara soal bisnis. Mereka adalah orang-orang berduit yang akan berbelanja di Bali sehingga ekonomi Bali bisa terdorong.

Oposisi menganggap perhelatan ini sebagai pemborosan. Tanggapan Anda?

Anggaran pertemuan ini Rp 800 miliar. Sebagian besar, Rp 500 miliar, digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur, seperti underpass dan landasan pacu baru di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Jadi manfaatnya jangka panjang. Untuk pelaksanaan sekitar Rp 300 miliar, termasuk untuk keamanan dan sebagainya. Tamu-tamu yang hadir itu membiayai diri mereka sendiri.

Pertemuan ini bisa memperbaiki persepsi investor asing terhadap Indonesia?

Pengaruhnya positif. Kalau dalam pertemuan ini peserta melihat ekonomi Indonesia tetap stabil di tengah ekonomi dunia yang bermasalah, mereka akan lebih percaya kepada ekonomi kita dan berinvestasi. Investasi, khususnya portofolio, akan lebih banyak.

Apakah iklim investasi Indonesia sudah membaik?

Tergantung ukurannya. Kalau dilihat dari penilaian lembaga-lembaga pemeringkat, oke. Tapi, kalau dilihat dari nilai tukar, semua orang tahu rupiah melemah. Jadi iklim investasi kita berada di tingkat menengahlah, tidak terlalu jelek, juga tidak terlalu bagus.

Wakil Presiden Jusuf Kalla meninjau lokasi yang terkena dampak gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, 5 Oktober lalu. -Tim Media Wapres

Apakah nilai tukar rupiah saat ini masih aman?

Aman kalau dibanding negara-negara seperti Turki, yang inflasinya 25 persen. Dalam enam bulan, nilai tukar mata uang Turki, lira, turun sekitar 30 persen.

Sejauh mana Indonesia mampu melewati persoalan ekonomi saat ini?

Tergantung apa yang pemerintah upayakan dan apa yang terjadi di luar. Kami akan melihat efek perang dagang terhadap memburuknya ekonomi dunia. Kami juga melihat efek peningkatan harga minyak oleh Timur Tengah. Indonesia pun harus mengambil manfaat dari perang dagang. Dengan Amerika tidak lagi membebaskan barang-barang seperti garmen dan sepatu, tanpa bea masuk, kita punya kesempatan meningkatkan ekspor ke sana.

Artinya kita siap menghadapi situasi yang sulit ini?

Iya. Sebenarnya ekspor beberapa produk sudah meningkat. Tapi, karena harga minyak naik, impor BBM kita juga naik. Jadi kenaikan impor lebih tinggi dibanding kenaikan ekspor.

Mengapa pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak?

Inilah diskusi yang baik. Kita nanti memerlukan dukungan media untuk menjelaskan kepada masyarakat.

Opsi ini sudah dibahas?

Ya, kami telah bicarakan. Tapi belum final. Banyak pertimbangannya.

Faktor elektoral jadi pertimbangan?

Tentu saja ada. Tapi mengingat pemilihan presiden masih enam bulan lagi, biasanya saat itu orang sudah lupa.

Anda berbagi pengalaman saat menaikkan harga bahan bakar bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada pemerintah sekarang?

Di masa Pak SBY, kami tiga kali menaikkan harga BBM, pada Maret dan Oktober 2005 serta Oktober 2008. Waktu itu malah naik 126 persen. Saya sendiri yang menjelaskan itu kepada masyarakat. Orang tenang-tenang saja. Sebab, kami menaikkan harga di bulan puasa, he-he-he….

Termasuk kompensasi berupa bantuan langsung tunai (BLT)?

Kalau dilakukan itu (menaikkan harga BBM), pola BLT akan dilakukan, walaupun belum ada keputusannya. Dalam kabinet, ada yang pro dan kontra.

Anda sepertinya termasuk pro-kenaikan harga BBM?

Tiap orang tentu punya pertimbangan. Kita tunggu saja keputusan presiden, karena yang ada adalah keppres (keputusan presiden). Tidak ada kepwapres (keputusan wakil presiden), he-he-he….

 


 

Muhammad Jusuf Kalla

Tempat dan tanggal lahir: Watampone, Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942

Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar (1967)

Karier: Wakil Presiden (2014-sekarang, 2004-2009), Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2001-2004), Menteri Perindustrian dan Perdagangan (1999-2000)

Organisasi: Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (2012-sekarang), Ketua Umum Palang Merah Indonesia (2009-sekarang), Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Hasanuddin (1992-sekarang)

Bidang Usaha: Komisaris Utama PT Bukaka Siagtel International (1995-2001), Direktur Utama PT Kalla Inti Karsa (1988-2001), Direktur Utama PT Bumi Sarana Utama (1988-2001)

Politik: Partai Golkar (Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar pada 2004-2009)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus