Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rindu dan Cemas Imigran

Gelombang imigran yang masif di Jerman memicu perdebatan yang rumit. Kelompok populis memanfaatkan sentimen anti-imigran.

12 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengungsi Suriah mengangkat poster terima kasih saat tiba di Jerman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalanan Berlin di sebuah siang berangin, dua pekan lalu. Orang-orang dengan wajah dan perawakan non-Kaukasian lalu-lalang. ”Itu orang Turki. Itu orang Arab. Yang sana orang Asia. Makin hari makin banyak,” ujar seorang pejalan kaki. Lalu sebuah mobil melintas di jalan. Wusss, sebuah mobil ngebut di jalan yang kecepatannya seharusnya tak boleh lebih dari 40 kilometer per jam. Terdengar teriakan dari sisi jalan: ”Pasti imigran. Dasar tak tahu aturan!”

Imigran, sebuah kata yang menimbulkan debat tak berkesudahan di dunia, termasuk di Jerman. Televisi saban hari tak henti menayangkan talk show dengan topik ini. Tak sedikit yang berpendapat seharusnya gelombang imigran dibatasi dengan sangat ketat. Tapi bagaimana menyeleksi ratusan ribu orang yang sebagian sedang sekarat? Siapa yang boleh dan siapa yang tak boleh masuk?

Beragam pertanyaan menderas. ”Imigran memang perkara yang emosional dan membuat masyarakat terbelah,” kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas dalam pidato pembukaan Bali Democracy Forum (BDF)-Berlin Chapter, 14 September 2018, yang bertema ”Migration and Democracy”. Ratusan ribu pengungsi yang bertaruh -nyawa mencari suaka sungguh mengusik rasa kemanusiaan. Pada saat yang sama, ada kekhawatiran ekonomi, keamanan, dan ancaman terorisme. Akibatnya, tak sedikit negara tujuan yang mengabaikan pertimbangan hak asasi manusia, memperketat perbatasan, dan kemudian tercipta -krisis kemanusiaan di kamp-kamp pengungsian.

Gelombang masif imigran, dalam tiga tahun terakhir, awalnya tak begitu mendapat perhatian dunia. Adalah Aylan Kurdi, bocah cilik yang meninggal di pantai Italia, pada 2015, yang mengubah situasi. Foto Aylan yang tergolek tewas di pantai tanah tujuan menggugah perhatian dunia. Sejak itu, berbagai liputan media menyuguhkan fakta tentang krisis imigran di sejumlah negara. Menurut catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejak 2015, tak kurang dari 70 juta jiwa berpindah dari tanah air mereka, terutama karena konflik dan perang. Gelombang pengungsian dari Sudan, Myanmar, Suriah, Afganistan, Palestina, Irak, juga Iran menyerbu Turki, Libanon, Yordania, dan kawasan Eropa.

Kawasan Eropa, dengan sistem kesejahteraan yang terbangun rapi, adalah magnet. Daya tarik terkuat adalah Jerman. Negara ini menjadi tujuan imigran paling favorit, diikuti Prancis, Italia, dan Swedia. Tahun ini Jerman mencatat rekor 10,9 juta warga asing yang tinggal di negeri ini. Ada peningkatan 2 juta orang asing dalam dua tahun terakhir.

Sepintas, sulit memahami mengapa gelombang imigran seolah-olah membuat Jerman gonjang-ganjing. Negara ini toh membutuhkan tambahan tenaga untuk mendukung kiprahnya di berbagai bidang. Pemain sepak bola Jerman, Mesut Oezil, misalnya, adalah imigran dari Turki.

Data perekonomian dan keamanan—dua hal yang biasanya memicu kecemasan pada imigran—menunjukkan tak ada yang perlu dirisaukan. Sepanjang 2017, tercatat 5,76 juta kasus kriminal, angka paling rendah dalam 30 tahun terakhir. Ekonomi Jerman pun cemerlang. Pengangguran tercatat 5,2 persen atau terendah sejak reunifikasi Jerman Barat-Jerman Timur pada 1990.

Lalu mengapa warga Jerman tetap cemas memandang imigran? Anggar Lestari, warga Indonesia yang sudah 14 tahun tinggal di Jerman, mencoba menjelaskan kondisi psikososial masyarakat Jerman. Di negeri yang serba teratur ini, perumahan, jalan, dan gedung sekolah rapi jali. Tata ruang dan konstruksi semua fasilitas umum dipikir njelimet bertahun-tahun. Lalu mendadak ada ratusan ribu pendatang yang ditempatkan di bekas gedung sekolah, gelanggang olahraga, dan gedung yang sudah rusak. Sebuah situasi yang dilematis.

Hal inilah yang membuat banyak orang menilai negara belum siap menyambut imigran. ”Bagaimana kalau musim dingin? Mereka bisa beku di gedung yang tak ada penghangat,” ucap Anggar.

Perkara lain yang juga memicu perdebatan adalah soal tunjangan. Konstitusi Jerman memastikan pendidikan, kesehatan, dan jaminan hari tua warganya terjamin. Orang yang terkena pemutusan hubungan kerja, misalnya, mendapat tunjangan minimal 40 persen gaji terakhir. Setiap anak pun mendapat tunjangan, saban bulan sebesar 150 euro atau sekitar Rp 2,6 juta.

Tunjangan ini sebetulnya tak seberapa bagi orang Jerman, tapi bisa jadi jumlah besar buat imigran. ”Ada saja imigran yang enggak mau bekerja, hidup semata dari tunjangan. Padahal tunjangan itu kan diambil dari pajak yang kami bayar juga,” kata Anggar, lulusan University of Bonn, yang 40 persen gajinya dialokasikan untuk pajak.

Perdebatan yang paling berat, menurut Rolf Mützenich, penasihat Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Jerman, adalah soal ketidaktahuan budaya. Imigran, yang sebagian adalah muslim yang penampilannya cukup mencolok, menumbuhkan rasa tidak aman dan terancam. Ketidaktahuan pada budaya yang berbeda dari bermacam bangsa membuat banyak pihak tergagap-gagap. ”Sayangnya, tak sedikit yang merespons dengan kecemasan dan kebencian,” ujar Mützenich dalam acara ulang tahun FES ke-50 di Jakarta, pekan lalu. ”Situasi makin rumit karena sentimen ini yang kemudian dimainkan oleh para politikus sayap kanan.”

Demonstrasi anti-imigran merebak di berbagai kota; sebagian berbangga dengan lambang Neo-Nazi. Popularitas partai politik sayap kanan, Alternatif untuk Jerman (AFD), pun melesat. Partai ini mengusung pandangan ultranasionalis dengan jargon ”Lawan Invasi Asing” dan menyebut gelombang imigran dari kawasan Timur Tengah sebagai upaya islamisasi. Pada 2014, partai ini nyaris tak lolos batas minimal perolehan suara. Namun, pada pemilihan umum tahun lalu, AFD berhasil menempati urutan ketiga setelah Persatuan Demokrat Kristen Jerman (CDU) dan Partai Sosial Demokratik Jerman (SPD).

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, dalam pidato di BDF-Berlin Chapter, membenarkan kompleksnya situasi migrasi dunia ini. Sayangnya, kelompok populis dan konservatif merespons kerumitan ini dengan mempertanyakan sistem demokrasi dan menuntut sistem yang lebih represif. ”Demokrasi memang bukan sistem yang imun pada tantangan dan perubahan zaman,” katanya.

Gelombang imigran, dalam jumlah masif, tentu membuat jalannya pemerintahan menjadi kurang efisien. ”Namun, di tengah berbagai tantangan ini, kami percaya bahwa demokrasi adalah sistem yang terbaik,” ujar Menteri Retno. ”Kami berharap Bali Democracy Forum bisa berkontribusi mengurai kerumitan persoalan migran di dunia.”

Kerja sama internasional adalah keharusan. Gelombang migrasi tak mungkin diatasi sendirian oleh sebuah negara. ”Gagasan bekerja sendirian terasa sangat naif,” kata Menteri Heiko Maas. Konflik di sebuah wilayah, apalagi di zaman digital, dengan mudah mempengaruhi stabilitas di negara lain. Regulasi tentang migrasi di sebuah negara pun tak bisa berjalan sendiri.

Pertengahan tahun ini, 190 negara telah bersepakat menjalin kerja sama menghadapi migrasi melalui Konsultasi Kesepakatan Global tentang Pengungsi. Serangkaian perundingan masih diperlukan untuk menyepakati panduan, peraturan, dan kerangka kerja bersama agar migrasi membawa manfaat bagi negara asal dan negara tujuan. Menteri Heiko Maas menekankan, ”Migrasi adalah fenomena alam.” Pergerakan manusia tak bisa ditolak dan tak akan bisa dihentikan. ”Dia setua umur planet kita. Mari kita bersama membuat keadaan jadi lebih baik.”

MARDIYAH CHAMIM (BERLIN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus