Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yerusalem -- Komunitas Kristen dikabarkan mengalami pro dan kontra mengenai keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menyebut status Kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sebuah pertemuan malam baru-baru ini, Pastor Bruce Mills dari Jerusalem Baptist Church menemui sekelompok perwakilan Kristen. Mereka bertanya kepadanya mengapa kelompok Kristen AS merasa begitu senang dengan keputusan Trump soal Kota Yerusalem itu.
"Saya merasa terkejut," kata Mills. "Karena mereka sama sekali tidak mengerti."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: PM Netanyahu dan PM Hamdallah Bilang Ini Soal Yerusalem
Perbedaan pandangan di internal komunitas Kristen soal status Yerusalem ini mencerminkan dua pandangan yaitu tradisional politis dan literal teologis. Kunci untuk memahami perbedaan ini adalah adanya keyakinan bahwa keputusan Trump ini diperlukan sebagai langkah untuk kedatangan kedua Yesus.
Baca: Lembaga Yahudi Kecam Sikap Afrika Selatan Soal Yerusalem
Beberapa jam sebelum deklarasi Trump pada Rabu, 6 Desember 2017, kelompok Kristen Orthodox Yerusalem dan sejumlah gereja lokal mengirim surat ke Trump. Isi suratnya adalah prediksi bahwa langkah Trump itu akan meningkatkan kebencian, konflik, tindak kekerasan, dan penderitaan warga Yerusalem dan Tanah Suci. "Ini hanya menjauhkan kami dari tujuan persatuan dan justru semakin memecah dan merusak," begitu bunyi surat itu.
Namun sikap berbeda disampaikan Tony Perkins, yang merupakan presiden Dewan Riset Keluarga Kristen dari kelompok konservatif. Menurut dia dalam kunjungan ke Gedung Putih, kelompok konservatif merasa berterima kasih kepada Trump atas putusannya itu.
"Menurut saya, kelompok Kristen Amerika melihat keputusan itu murni dari sudut pandang teologis," kata Paul Brandeis Raushenbush, pendeta yang juga wakil presiden senior dari Seminari Auburn, yang berusia 200 tahun di New York. Organisasi ini aktif melakukan gerakan multiagama untuk keadilan sosial. "Sedangkan kelompok Kristen yang tinggal di wilayah itu (Yerusalem) melihat keputusan Trump dari perspektif politis dan sosial," kata dia.
Trump mengumumkan keputusannya soal status Kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Rabu, 6 Desember 2017. Putusan ini lalu disanggah oleh sidang Dewan Keamanan PBB pada Senin, 18 Desember 2017 lewat skor 14 negara mendukung resolusi menolak keputusan AS dan hanya satu yang menolak yaitu AS sendiri lewat penggunaan hak veto.
Lalu keputusan ini dibawa ke sidang umum istimewa PBB pada Kamis, 21 Desember 2017. Sidang memutuskan mendukung resolusi sebanyak 128 negara dan 9 menolak. 35 negara abstain dan 21 negara absent dalam pembahasan resolusi ini.
Menurut Raushenbush, jika seseorang menganut sudut pandang drama kosmologi besar, yang menyatakan keputusan itu bagian dari plot untuk kedatangan kembali Yesus, maka ini hal yang sangat bagus. "Dan pandangan ini jadi mudah mengabaikan implikasi apapun terhadap umat Kristen di daerah itu."
Menurut Mills, pastor Baptist yang asli asal Los Angeles, dia telah bekerja di Yerusalem sejak 1971. Dan pada Kamis lalu diundang untuk berbicara dihadapan koleganya soal status Yerusalem ini.
"Ini sangat sederhana," kata Mills. "Pembentukan negara Israel bukan karena Yahudi. Pembentukan itu karena tokoh Kristen. Idenya adalah Yahudi kembali ke Israel."
Kegembiraan para pemuka Kristen mengenai keputusan Trump adalah berasal dari keyakinan kembalinya Yahudi ke Israel menjadi bagian dari rencana besar kedatangan kembali Yesus. Lalu ini akan diikuti oleh penerimaan Yesus oleh umat Yahudi sebagai mesiah.
Sudut pandangan ini tidak sama dengan perspektif pemerintah Israel bahwa kebijakan Trump itu memperkuat kekuasaan Israel atas Yerusalem sebagai ibu kota abadi.
Rencana kedatangan Wakil Presiden AS, Mike Pence, yang kembali tertunda, mendapat tanggapan berbeda dari kelompok Kristen di Yerusalem. Banyak diantara mereka menolak kedatangan Pence, yang kerap diasosiasikan sebagai bagian dari gerakan pemuka agama Kristen.
Uskup Agung, Pierbattista Pizzaballa, yang merupakan tokoh Katolik paling tinggi di Yerusalem, mengatakan kedatangan Pence sebagai 'masalah'. Sebagai gambaran, wilayah tugas Pizzaballa meliputi Israel, Palestina, Yordania, Suriah, Lebanon, Siprus, Mesir dan Rhodes.
"Orang Kristen lokal di sini adalah bangsa Palestina," kata Pizzaballa. "Visi mereka mengenai Yerusalem adalah sebagai bangsa Palestina." Ini menjelaskan mengapa visi para jemaat Pizzaballa dengan jemaat Kristen Amerika berasal dari "dua pendekatan yang sama sekali berbeda."
Pastor Amerika, Charles Kopp, yang telah tinggal di Israel selama 51 tahun, mengatakan komunitas Kristen di sana merupakan orang-orang yang baik hati dan taat. Dan pada saat yang sama mereka tahu posisi mereka, termasuk dalam isu status Kota Yerusalem.
LA TIMES | REUTERS | GUARDIAN