Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, sedang berada di ujung tanduk. Demo besar warga, yang berhasil menguasai Istana Kepresidenan di Kolombo pada Sabtu lalu, membuat ia menyatakan akan mengundurkan diri pada Rabu besok, 13 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rajapaksa yang menghilang sejak Jumat lalu, mencoba kabur keluar negeri. Namun petugas imigrasi Bandara Kolombo mencegah kepergiannya, demikian dilaporkan The National, Selasa 12 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diyakini dia ingin pergi ke luar negeri sebelum mengundurkan diri untuk menghindari kemungkinan ditahan. Namun, petugas imigrasi menolak pergi ke kamar VIP untuk mencap paspornya, sementara dia bersikeras tidak akan pergi melalui fasilitas umum, takut akan pembalasan dari pengguna bandara lainnya.
Rajapaksa, 67 tahun, dan istrinya menghabiskan malam di sebuah pangkalan militer di sebelah bandara internasional utama setelah kejadian tersebut, kata para pejabat, yang tidak menyebutkan kapan upaya pelarian dilakukan.
Adik bungsu Rajapaksa, Basil - yang mengundurkan diri dari jabatan sebagai menteri keuangan pada April- juga gagal terbang ke luar negeri karena dihalangi staf bandara.
Kakak kandung presiden, Mahinda Rajapaksa, mengundurkan diri sebagai perdana menteri pada Mei lalu ketika kekerasan meningkat. Ia sempat bersembunyi di pangkalan militer, tetapi sekarang tidak diketahui keberadaannya.
Rakyat Sri Lanka, yang terhimpit kesulitan ekonomi karena krisis keuangan setelah negara itu dihantam pandemi Covid-19, menggelar unjuk rasa sejak Maret lalu.
Demonstrasi makin hari semakin besar dan puncaknya terjadi Sabtu lalu ketika tentara dan polisi tak bisa membendung mereka lagi. Ribuan pengunjuk rasa berhasil menerobos istana kepresidenan dan membakar rumah perdana menteri.
Keluarga Rajapaksa mendapat tempat terhormat dan dianggap pahlawan bagi orang Sri Langka karena memenangkan perang saudara melawan kelompok seperatis Macan Tamil atau LTTE, tetapi mereka sekarang disalahkan atas krisis ekonomi terburuk di negara itu.
Keluarga Rajapaksa telah mendominasi politik Sri Lanka selama hampir dua dekade terakhir. Dalam beberapa tahun terakhir, keluarga ini menjalankan pemerintahan negara pulau itu seperti bisnis keluarga.
Dinasti Rajapaksa diawali oleh Don Alwin, yang menjadi anggota parlemen pada 1950-an dan 60-an. Adalah Mahinda Rajapaksa, putranya, yang membawa nama keluarga ini ke puncak kekuasaan ketika menjadi perdana menteri dan kemudian menjadi presiden dua periode dari 2005 hingga 2015, menggusur dua dinasti penguasa lainnya, Senanayake dan Bandaranaike.
Selama masa jabatannya sebagai presiden, Mahinda Rajapaksa mengakhiri perang saudara tiga dekade di negara itu dengan menumpas pemberontakan Macan Tamil melalui kekuatan militer yang brutal. Saudaranya Gotabaya Rajapaksa menjabat sebagai menteri pertahanan yang kuat.
Rajapaksa sempat keluar dari pemerintahan setelah kalah dalam pemilihan 2015, tetapi mereka kembali berkuasa dengan Gotabaya Rajapaksa sebagai presiden pada 2019.
Dia memenangkan pemilihan dengan kampanye yang menggabungkan seruan nasionalis kepada umat Buddha Sinhala, kelompok etnis mayoritas di Sri Lanka, dan penggambaran dirinya sebagai orang kuat yang dibutuhkan negara setelah serangan teroris mematikan pada Minggu Paskah hanya beberapa bulan sebelum pemilihan.
Dia menunjuk kakaknya, Mahinda Rajapaksa, kembali ke pemerintahan sebagai perdana menteri dan menyerahkan posisi penting kepada beberapa anggota keluarga lainnya, seperti Basil Rajapaksa sebagai menteri keuangan.
Keluarga Rajapaksa lainnya, Chamal Jayantha Rajapaksa, adalah mantan menteri di era pemerintahan sebelumnya.
Generasi di bawah mereka, adalah anak Mahinda, yakni Namma pernah menjadi menteri, dan Yoshitha sebagai kepala staf PM. Selain itu ada anak Chamal, Sashindra, mantan menteri.
Kegagalan mengatasi krisis ekonomi tampaknya akan mengkahiri kiprah keluarga Rajapaksa sebagai penguasa Sri Lanka.
Reuters | The National | LA Times