Ismail Khan dengan mata berkaca-kaca memandang anak-anak bermain di kolam renang umum yang tampak baru. Gubernur Herat, salah satu provinsi di Afganistan, ini mengaku ingat masa-masa sulit semasa perang dan tidak bisa membayangkan jika anak-anak itu harus kembali ke situasi kacau-balau. Khan, yang telah melalui perang melawan Uni Soviet sejak 1979 dan Taliban pada 1990-an, memang hanya memiliki kenangan buruk.
Namun masa-masa sulit sepertinya sudah lewat. Nasib laki-laki etnis Tajik itu berubah setelah mengangkat diri menjadi Gubernur Herat pada November 2002. Dengan "rapor bagus" pernah melawan Soviet dan Taliban, ia bisa membuat Amerika Serikat_"penguasa" di Afganistan sejak akhir 2001—tidak mempersoalkan kekuasaannya. Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld sendiri malah pernah bertemu dengannya.
Sebagai Gubernur Herat, laki-laki berjenggot dan bersorban khas Afganistan itu mempraktekkan pemerintahan tradisional, yang menjadikannya sebagai pusat kekuasaan. Dia pun ingin memamerkan kekuasaannya terhadap pemerintah Hamid Karzai di Kabul, dengan menolak ditempatkan di ibu kota negara. Menurut Khan, yang suka menyebut dirinya emir, Herat bisa bergolak jika dia di Kabul. Hal itu masuk akal karena dia punya sekitar 25 ribu tentara, lebih besar ketimbang tentara pusat.
Kekuasaan emir Herat tentu saja ditopang uang yang banyak. Dia menguasai pajak dari perbatasan dengan Iran dan Turkmenistan. Tahun lalu pemerintah daerah Herat mengantongi lebih dari US$ 55 juta (lebih dari Rp 400 miliar), sebagian besar dari bea masuk.
Tentara, uang, dan sikap tak tunduk pada pusat menjadikan Khan sebagai ancaman besar bagi pusat. Langkah yang paling realistis untuk "mengikat" Khan adalah membuatnya mau menyetor sebagian pendapatan daerah untuk pusat. Untuk itu, Menteri Keuangan Ashraf Ghani harus datang sendiri ke Herat, menjemput jatah pemerintah pusat, US$ 20 juta, pada awal Juni lalu.
Pembangkangan ala Emir Khan tidak hanya terjadi di Herat, tapi juga di provinsi lain, terutama di kawasan yang berada di perbatasan (ada empat provinsi di perbatasan). Semua itu terjadi karena para gubernur sudah merasa berjasa ikut andil menyingkirkan Taliban bersama dengan tentara AS. Nama "pahlawan" itu antara lain Jenderal Mohammad Fahim (Menteri Pertahanan sekarang), Atta Mohammad, Ismail Khan, dan Abdul Rashid Dostum serta Gul Agha Sherzai.
Mereka itulah yang sekarang menjadi kekuatan yang sulit diajak bekerja sama oleh Karzai. Selama setahun berkuasa, Karzai belum juga mendapatkan penghormatan layak sebagai pemimpin Afganistan dari mereka. Mereka seperti tidak peduli apakah pemerintah pusat dapat berjalan atau tidak. Para jawara itu hanya menyerahkan kurang dari 10 persen pendapatan daerahnya. Hal inilah yang membuat Karzai jengkel. "Sepertinya, sikap toleransi dan pendekatan lunak tidak mempan," katanya.
Karzai pun menjajal cara yang lebih keras. Melalui jaringan televisi nasional, laki-laki etnis Pashtun ini mengancam akan mengundurkan diri. Dia menyarankan agar segera diadakan loya jirga (cara tradisional Afganistan untuk memilih pemimpin nasional, melalui dewan wakil rakyat) untuk memilih pemimpin baru.
Lebih jauh, Karzai memecat beberapa gubernur yang dinilai tidak layak atau korup, yaitu Gubernur Kunar, Badakhshan, Parwan, dan Paktia. Dostum yang legendaris juga kena damprat. Karzai mencopot jabatannya sebagai Wakil Khusus Menteri Pertahanan. Target berikutnya adalah Gul Agha Sherzai, Gubernur Kandahar, yang dinilai terlalu korup.
Langkah keras Karzai rupanya membuat para jagoan berpikir ulang. Mereka akhirnya bersedia memenuhi panggilan Karzai, datang di Kabul, awal Juni lalu. Mereka pun mau menyumbangkan sebagian pendapatan daerah ke Kabul secara sukarela, tidak lagi harus dijemput Menteri Keuangan seperti di Herat.
Para jawara itu menyadari juga bahwa Karzai adalah "harta karun". Mereka paham, jika uang pajak ke pusat tak diserahkan, bisa-bisa bantuan asing—yang vital untuk membangun kembali Afganistan—ikut tersendat, bahkan berhenti. Maklum, negara-negara donor hanya percaya pada pria santun yang selalu memakai peci petumbon, topi khas bangsawan Pashtun itu. Afganistan membutuhkan minimal US$ 10 miliar bantuan asing untuk pembangunan lima tahun pertama, tapi Karzai baru mendapat US$ 5,25 miliar. Kelancaran sisa bantuan tergantung Karzai. "Para jawara lainnya tidak ada yang mampu berperan seperti Karzai," kata Ahmed Rashid, wartawan asal Lahore, Pakistan, penulis beberapa buku tentang Afganistan.
Satu masalah besar Karzai terselesaikan, meskipun entah sampai kapan. Tapi masih ada persoalan yang lebih rumit, yaitu aksi-aksi milisi para jawara yang merusak keamanan dalam negeri. Pembunuh misterius yang nyaris menghabisi nyawa Karzai pada September 2002, serangan sporadis, termasuk bom bunuh diri yang membunuh dan melukai tentara asing (AS, Jerman), adalah contohnya.
Yang lebih ruwet adalah perang antartentara anak buah jawara penguasa provinsi, yang makin merebak. Pada April lalu, misalnya, terjadi baku tembak antara tentara dua gubernur di utara, yaitu Dostum dan Atta Mohammad. Peristiwanya terjadi di Naimana, ibu kota Provinsi Faryab. Masih pada bulan yang sama milisi Ismail Khan membunuh 38 penduduk sipil dan membakar 761 rumah di Provinsi Badghis. Seorang anak perempuan berusia dua tahun lari ketakutan, terjun ke sungai—ia ditemukan mati. Menurut seorang tokoh etnis di Wana, kawasan di perbatasan Pakistan-Afganistan yang tidak di bawah kontrol kedua negara itu, bentrok senjata besar-besaran juga akan terjadi di Kandahar dan Gazni.
Keadaan di tanah berbukit-bukit cadas itu makin kritis dengan munculnya tokoh lama yang selama ini bersembunyi di "tanah tak bertuan" di perbatasan dengan Pakistan dan Iran. Gulbuddin Hekmatyar, yang selama pemerintahan Taliban dikabarkan berada di Iran, muncul kembali. Tokoh Hezb-i-Islami (sebuah kelompok Islam Sunni di Afganistan) yang pernah menguasai daerah timur ini, yaitu Jalalabad dan Kunhar, kembali beraksi di sana. Hekmatyar yang Pashtun ternyata masih punya banyak pengikut, termasuk Gubernur Kunduz Mir Arif, yang beretnis Uzbek.
"Tokoh lama" lain yang kembali terdengar—bukan tampak sosoknya—adalah Mullah Umar, pemimpin Taliban. Pekan silam beredar rekaman suara sang Mullah yang menyerukan agar perlawanan terhadap tentara asing dan pemerintah Karzai ditingkatkan. Muncul juga Khalid bin al-Atash di Afganistan. Selama ini tokoh yang dikenal sebagai tangan kanan Usamah bin Ladin bagian perencanaan ini bersembunyi di daerah perbatasan Pakistan_Afganistan.
Selain hiruk-pikuk kemunculan para jawara, masih ada hal yang membuat keamanan dalam negeri Afganistan makin suram, yaitu campur tangan Iran dan Pakistan. Iran, yang sedang disorot oleh AS, dengan senang hati membantu milisi Ismail Khan jika hendak menentang AS. Lagi pula, penguasa Herat dan Iran sudah punya sejarah hubungan baik yang cukup lama, seperti sama-sama menangkap Taliban dan Al-Qaidah di kawasan perbatasan Iran-Afganistan.
Sedangkan dengan Pakistan, suku-suku di kawasan tak bertuan di perbatasan antara Afganistan dan Pakistan merupakan kekuatan pendukung anti-AS. Mereka inilah yang disinyalir selama ini melindungi Usamah, para petinggi Al-Qaidah, dan Taliban. Setelah 11 September 2001, daerah-daerah bergunung tak bertuan itu sering menjadi sasaran serangan militer AS. Dan pihak AS pun sudah menegur keras Presiden Pakistan Jenderal Pervez Musharraf agar memperketat pengamanan di perbatasan.
Berada di antara dua kekuatan yang tidak pro-AS membuat Afganistan makin dianggap "berbahaya". Gerakan-gerakan yang dipimpin oleh para jawara bisa dengan mudah berbalik dicap sebagai gerakan Islam militan dan teroris yang mengancam AS. Dengan kondisi seperti ini, menurut beberapa diplomat negara-negara Barat di Kabul, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan Afganistan kecuali dengan semakin memperbanyak kehadiran militer asing, terutama AS. Perang yang oleh Menteri Rumsfeld dinyatakan sudah berakhir itu ternyata keliru. Pertempuran justru masuk ke tahap yang lebih rumit.
Afganistan pun seperti kembali ke masa kejayaan para jawara dan kebiasaan perang antarsuku. Mereka bertempur antarkelompok, menyerang pemerintah Karzai dan tentara asing. Hal itu membuat keadaan Karzai semakin sulit. "Kecuali Kabul, segala penjuru Afganistan seperti bangunan kartu," demikian menurut Syed Salim Shahzad dari Asia Times.
Mungkin Karzai tinggal menunggu saja sampai semua kartu benar-benar berantakan.
Bina Bektiati,(Newsweek, Asia Times, BBC, The Washington Post, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini