Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rumsfeld Mengancam, Belgia Gentar

Gara-gara petinggi Amerika Serikat diadukan sebagai pelaku kejahatan perang, Rumsfeld mengancam. Belgia pun mengubah undang-undang.

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nyaris tak ada yang mustahil buat Amerika Serikat, apalagi urusan memaksakan kehendak. Pertengahan Juni lalu Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Donald Rumsfeld, "mengadili" Belgia di kandang sendiri soal sistem pengadilan Belgia yang bisa menyeret pejabat Amerika ke ruang pengadilan di Brussels. "Belgia tampaknya tidak menghormati kedaulatan negara lain," ujar Rumsfeld dengan geram saat berada di markas Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Brussels. Tak sekadar marah-marah, Rumsfeld juga mengancam bahwa negerinya akan membekukan bantuan US$ 352 juta (hampir Rp 2,9 triliun) untuk pembangunan kantor baru NATO di Brussels. "Tidak mungkin membangun markas baru kalau mereka (para pejabat Amerika) tidak bisa ke sini untuk menghadiri pertemuan," ujar Rumsfeld. Dia mengatakan, pejabat Amerika tak akan pernah ke Brussels hingga Undang-Undang Hak Asasi Manusia Belgia itu diubah "Jelas, tidak akan mudah bagi pejabat Amerika datang ke Belgia (saat undang-undang itu masih berlaku)," ujarnya. Rumsfeld juga mengindikasikan kemungkinan pemindahan markas NATO ke negara yang lebih ramah kepada Amerika. Gertakan Rumsfeld sangat ampuh. Para politikus Belgia pun mengusulkan perubahan undang-undang itu dan memberikan kekebalan diplomatik bagi pejabat negara yang mengunjungi kantor NATO. "Kita harus memperbaiki bagian-bagian yang memalukan," ujar Menteri Luar Negeri Belgia, Louis Michael, yang baru saja diadukan karena perannya dalam penjualan 5.500 senapan mesin ke Nepal tahun lalu. Akhirnya, Minggu pekan lalu pemerintah Belgia menyatakan akan mengubah Undang-Undang Hak Asasi Manusia-nya agar pejabat Amerika merasa aman dan bisa datang di Brussels tanpa khawatir ditangkap. Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang berusia satu dekade itu sebenarnya diharapkan bisa menjadi upaya terakhir bagi para korban genosida, kejahatan perang, ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan di seluruh bumi. Menganut prinsip "yurisdiksi universal", undang-undang itu bisa digunakan mengadili para pelaku genosida, pelaku kejahatan perang, ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan, tanpa batas di mana pun kejadiannya, siapa pun korbannya, serta siapa pun pelakunya. Cita-citanya, undang-undang itu bisa merobohkan tembok kekebalan yang dinikmati para tiran dan pelaku kekejaman yang berlindung di negerinya sendiri. Banyak pejabat ataupun mantan pejabat negara yang sudah diadukan di kantor kejaksaan Belgia, termasuk Presiden Mauritania Maaouya Ould Sid'Ahmed Taya, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, Presiden Kuba Fidel Castro, dan Presiden Otoritas Palestina Yasser Arafat. Tak aneh kalau keluhan dan tekanan terhadap keberadaan undang-undang itu menumpuk. Hasilnya, ada kekebalan bagi pejabat negara yang masih aktif. Tekanan sangat keras dari Amerika mulai muncul Maret lalu ketika ada pengaduan terhadap mantan Presiden George Bush, ayah Presiden George W. Bush. Pengaduan diajukan oleh keluarga korban Perang Irak. Peristiwanya adalah saat Amerika menyerang tempat perlindungan di Bagdad dalam Perang Teluk 1991. Amerika menyangka bangunan itu adalah fasilitas militer. Sekitar 400 orang sipil tewas saat itu. Buah dari lobi gencar Washington adalah amendemen. Pada April lalu, Belgia mengganti pasal-pasal yang bisa mengamankan para petinggi Amerika. Belgia membatasi hanya menerima kasus yang berkaitan langsung dengan Belgia. Misalnya, kejahatan yang melibatkan warga negara Belgia, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban, atau yang kejadiannya di Belgia, atau juga yang tersangkanya berada di Belgia. Selain itu, Belgia tak akan mengadili kalau tersangkanya berasal dari negara yang dianggap memiliki sistem pengadilan terbuka dan adil atau dari negara demokratis. Belgia akan menyerahkan keluhan yang diterimanya ke negara asal orang yang diadukan. Kegeraman Amerika kembali meledak ketika melayang pengaduan terhadap komandan militer Amerika di Irak dan Afganistan, Tommy Frank, pada Mei lalu. Ini kemudian disusul dengan pengaduan terhadap Presiden George W. Bush, Menteri Luar Negeri Colin Powell, Wakil Presiden Dick Cheney, Rumsfeld sendiri, serta Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Sebenarnya dua pekan lalu pemerintah Belgia menyerahkan berbagai pengaduan itu ke Washington dan London. Langkah ini tetap tidak membahagiakan Washington. Maka, Rumsfeld pun mengancam. Belgia kembali tunduk dan setuju mengubah lagi soal kekebalan diplomatik. Tapi tampaknya Washington tetap tidak tertarik. "Undang-undang ini tidak bisa diterapkan dan seharusnya dicabut," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Philip T. Reeker. Amerika tetap mau yang teraman, dan sejauh ini memaksakan kehendak adalah jurus yang ampuh. Purwani Diyah Prabandari (hrw.org, The Boston Globe, The New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus