Irak tengah dihajar musim panas, bernama "kondisi panas lima". Dalam keadaan begitu, wajib hukumnya minum air seliter setiap jamnya jika tak ingin kekurangan cairan tubuh atau sekarat kekeringan. Tapi, tentara Amerika Serikat lebih ngeri pada "kondisi panas" lainnya: serangan tiba-tiba oleh orang atau kelompok misterius di jalan-jalan Bagdad atau di kota-kota lain. Paling tidak, 19 tentara AS tewas dan puluhan lainnya luka-luka sejak awal Mei lalu akibat lemparan granat, bom, atau tembakan. Pelakunya masih misterius hingga saat ini.
Presiden AS George W. Bush—dari dek kapal induk Abraham Lincoln—secara resmi memang menyatakan perang di Irak telah berakhir hampir tiga bulan silam. Kenyataannya, "perang" belum benar-benar usai. Kemenangan tentara AS, yang ditandai dengan iring-iringan tank masuk Bagdad tanpa perlawanan dan jatuhnya patung Saddam Hussein di bundaran Firdaus, bukanlah kemenangan total. Soalnya, hingga sekarang pihak AS belum berhasil mengungkap siapa yang menyerang mereka atau otak di balik semua itu.
Serangan terhadap tentara AS biasanya datang dari arah tak terduga. Seperti yang terjadi Rabu pekan lalu, tiba-tiba granat dijatuhkan dari sebuah jalan layang ke atas Humvee (semacam jip dengan tambahan bagasi terbuka di bagian belakang) tentara AS yang sedang meluncur di bawahnya. Akibatnya, dua tentara AS tewas. Korban tewas lainnya adalah dua penduduk sipil Irak. Pada hari berikutnya, sebuah bom meledak di dekat kendaraan tentara yang sedang melintas di jalan menuju bandara Bagdad dan melukai satu tentara AS.
Jalanan sekitar bandara—jalur vital tentara AS—itu memang tergolong rawan serangan. Sering ada ledakan granat, kawat melintang di jalan, bom, dan ranjau darat yang disembunyikan di bawah sampah atau semak di jalan. Bulan lalu dua tentara mati dan dua lainnya luka-luka karena Humvee yang mereka kendarai melindas dan meledakkan ranjau yang disembunyikan di bawah sampah di jalan.
Petaka tak hanya menimpa tentara AS. Selasa pekan silam enam tentara Inggris tewas akibat baku tembak di Majaral-Kabir, dekat Basra. Menurut penjelasan pihak Inggris, para penembak tak lain adalah penduduk kota itu. Mereka marah karena tentara Inggris menembaki tetangga dan saudara mereka pada saat terjadi demonstrasi.
Sebenarnya, korban jiwa tentara AS masih bisa dikatakan tak besar jika dibandingkan dengan jumlah tentara di sana yang mencapai 150 ribu orang. Dibandingkan dengan korban milisi bersenjata di pihak Irak sekalipun, jumlah tentara AS yang mati tetap kecil. Dalam seminggu pada awal Juni, tentara AS telah membunuh 80 gerilyawan Irak di berbagai serangan.
Namun, tetap saja korban jiwa tentara AS yang berjatuhan entah sampai berapa banyak makin meresahkan pemerintah AS. Sebab, hal itu berarti "pemerintahan" AS di Irak yang dipimpin Paul L. Bremer III tidak dapat berjalan dengan baik. Kenyataan itu akan makin menekan Washington, karena belum berjalannya pemerintahan bukanlah satu-satunya utang AS. Presiden Bush masih punya kewajiban menjelaskan kebenaran adanya senjata pemusnah massal di Irak, yang dipakai sebagai legitimasi invasi ke negeri itu.
Siapakah para penyerang tentara AS? Jawaban yang paling masuk akal adalah pengikut setia Saddam Hussein. Mereka kemungkinan adalah loyalis dari Partai Baath atau anggota milisi yang pernah berada di lingkar dalam kekuasaan Saddam. Mereka bergabung dengan kekuatan Islam militan yang anti-AS dari luar Irak.
AS memang tak pernah beranggapan bahwa "musuh-musuh" menghilang begitu saja setelah jatuhnya Bagdad. Untuk itu, tentara AS menggelar operasi Serangan Semenanjung ke Kota Thuluya, di tepi Sungai Tigris, dua pekan silam. Dalam serangan besar-besaran yang melibatkan ribuan tentara AS dan peralatan tempur canggih itu, 400-an orang yang dicurigai sebagai pendukung Saddam ditangkap.
Namun, meski sudah begitu banyak tahanan yang semuanya loyalis Saddam, serangan terhadap tentara AS tetap saja terjadi. Jadi? Bukan mustahil musuh tak hanya kekuatan pro-Saddam, tapi juga penduduk sipil—seperti yang menyerang tentara Inggris—yang makin kecewa dengan cara AS mengatur negeri mereka.
Bina Bektiati (The Economist, AP, Miami Herald, The Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini