MENJELANG musim gugur ini, angin belum juga membawa hawa dingin di Semenanjung Korea. Peringatan Chusok, semacam hari syukuran gaya Korea, yang jatuh Rabu pekan ini, justru bisa menjadi awal untuk masa keruh yang panjang. Dan hari-hari keruh bisa terentang dari sekarang sampai hari pemilihan presiden, sekitar 20 Desember depan. Selepas Chusok, Ketua RDP (Partai Reunifikasi Demokratik) Kim Young-Sam, 59 tahun, segera berkampanye ke seluruh negeri sebagai calon presiden wakil oposisi. Dia sudah bersilang jalan dengan Kim Dae-Jung, tokoh oposisi penuh karisma yang rupanya bersiteguh untuk tetap mencalonkan diri dalam pemilu presiden nanti. Perselisihan ini mencemaskan sejumlah besar massa oposisi. Kim Dae-Jung, 64 tahun, yang pidato-pidatonya penuh daya sihir itu, ternyata urung mundur. Ia menolak tawaran Kim Young-Sam, untuk menjadi ketua RDP saja, sementara partner yang lebih muda itu maju sebagai calon tunggal oposisi. Kepada wartawan, Kim Dae-Jung mengisyaratkan bahwa pekan ini juga ia akan mengumumkan pencalonan dirinya secara resmi, terlepas dari RDP, Kim Tua -- Dae Jung lebih tua lima tahun dari Kim Young-Sam -- sebagai tokoh politik merasa lebih kuat posisinya, malah yakin punya peluang memenangkan pemilu. Pada kunjungannya ke Kwangju bulan ini, 300 ribu orang menyambutnya bak pahlawan bangsa. Sementara itu, Kim Muda -- dengan pengikut besar di kalangan kelas menengah -- juga merasa cukup mampu membawa negerinya ke alam demokrasi. Bisa dimengerti kalau tak seorang dari kedua Kim mau mengalah. Dan persaingan antara mereka bukan baru pertama kali ini saja. Pada pemilu 1971, ketika Kim Dae Jung hampir terpilih sebagai presiden, keduanya sudah bersaing. Lalu pada 1980, rivalitas itu muncul kembali. Sebuah pertemuan partai, tanggal 10 ini, diharapkan bisa memberikan keputusan final terhadap dua Kim itu. "Jika kami gagal mencapai kata sepakat untuk memunculkan seorang calon saja, maka kami berdua akan menempuh sejarah sebagai pendosa," kata Kim Young-Sam. Berdosa atau tidak, yang pasti perpecahan mereka telah melahirkan banyak kritik, juga dari dalam tubuh RDP sendiri. Suasana seperti ini bisa membingungkan massa pemilih, dan bukan tidak mungkin meniupkan angin keberuntungan pada Roh Tae-Woo, kandidat partai yang berkuasa. Para pejabat di NCDC (Koalisi Nasional untuk Konstitusi Demokratik), organisasi payung bagi seluruh barisan anti pemerintah, menyesalkan sikap kedua Kim. Padahal, kata seorang di antaranya, "Pemilu mendatang ini selayaknya menjadi titik balik sejarah yang mengakhiri kediktatoran militer selama 27 tahun." Bahkan Korea Times koran lokal berbahasa Inggris, mengecam lebih telak. "Semua itu sangat patut disesalkan, menjijikkan. Sebuah bukti mereka telah melecehkan janji-janji yang selama ini diobral di depan rakyat." Di antara kemelut itu, mendadak muncul Kim ketiga, tepatnya Kim Jong-Pil, bekas perwira militer yang berhasil menjadi perdana menteri di masa Park Chung-Hee. Akhir bulan lalu ia mengumumkan pencalonannya dalam pemilu presiden, melalui partai yang ia resmikan mendadak, Republican Party. Di hadapan massa yang hanya sekitar 2.000 orang, ia jual kecap. "Saya kembali ke gelanggang politik karena dorongan rakyat, demi kestabilan negara," katanya. Sebagai salah seorang pendiri KCIA, lembaga intelijen yang menakutkan itu, Kim ketiga ini menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan ia bertindak hanya sebagai tangan panjang Chun Doo-Hwan. Tak lebih, sekadar ikut meramaikan pemilu. Dan jika pemilu berubah menjadi kerusuhan, Chun punya alasan memberlakukan keadaan darurat, lalu pemilu ditunda. Apalagi bau-bau kemelut sudah tercium pula, lantaran Kim Dae Jung dan Kim Young-Sam tak mau bersatu. M.C., Ji Suh-Chung (Seoul), kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini