Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kesempatan Kedua Ortega

Daniel Ortega kembali memimpin Nikaragua setelah 16 tahun kalah dalam pemilihan presiden. Tokoh Sandinista ini mengaku tidak revolusioner lagi.

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

El Comandante Nikaragua itu telah kembali. Jose Daniel Orte-ga Saavedra, 61 tahun, naik ke tengah panggung politik, setelah 16 tahun bergerak di pinggiran. Lewat pemilihan umum yang diakui transparan dan demokratis oleh organisasi pemantau pemilu independen yang dipimpin bekas Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, Ortega terpilih menjadi presiden pada Selasa pekan lalu. Dia menggantikan Enrique Bolanos. Partainya, Partai Front Sandinista, berha-sil meraup 38,6 persen suara mengalahkan pesaing beratnya dari kubu konservatif, Eduardo Montealegre yang memimpin Partai Aliansi Liberal Nikaragua, dengan 29 persen.

Kemenangan Ortega disambut para pemimpin pemerintahan beraliran sosialis di Amerika Latin. Menurut Presiden Venezuela Hugo Chavez, kemenangan Sandinista akan memperkuat perlawanan negara miskin terhadap dominasi AS. Sedangkan Menteri Luar Negeri Kuba Felipe Perez Roque berkomentar, kemenangan ini baik untuk rakyat Nikaragua dan bagi keutuhan di Amerika Latin. Presiden Brasil Lula da Silva, Presiden Bolivia Evo Morales Poros, dan pemimpin Kuba Fidel Castro tak lupa menyatakan salut kepada Ortega. Kiri telah kembali, merapatkan barisan.

Selama kampanye pemilu Nikaragua, AS memang menentang Ortega dan mendukung kandidat konservatif Montealegre. Sejumlah anggota parlemen AS mengancam akan menghentikan bantuan jika Ortega menang. Meskipun secara diplomatis Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice menyatakan negaranya akan menerima hasil pemilu sepanjang pelaksanaannya transparan dan bersih.

Kemenangan Ortega kali ini memang tidak dapat dilepaskan dari sejarah. Ketika itu, laki-laki yang berdarah Indian asli ini berhasil menumbangkan diktator Anastasio Somoza Garcia pada 1979, setelah sukses bergerilya bersama Front Sandinista (FSLN). Setelah itu, dia memerintah Nikaragua selama 11 tahun.

Namun, pemerintah AS tidak pernah membiarkan Ortega bekerja dengan tenang. Mereka mensponsori milisi pemberontak sayap kanan, Contra, yang mengakibatkan pecahnya perang saudara dengan korban sekitar 30 ribu nyawa, hingga pada akhirnya Ortega turun pada 1990 secara damai. Dalam pemilihan umum 1996 dan 2001, AS tetap berupaya agar Ortega tidak menang.

Apa yang membuat Ortega kembali ke puncak kekuasaan setelah dia dikalahkan Violetta Barios de Chamorro yang sangat pro-AS pada 1990? Apakah keadaan Nikaragua sekarang ini mirip dengan kondisi di akhir 1970-an?

Jika melihat rakyat Nikaragua mengelu-elukan Ortega, bisa dikatakan ada kerinduan pada kepemimpinan Ortega yang populis. “Akhiri kapitalisme biadab”, demikian yel-yel yang dilantunkan rakyat yang menyambut kemenangan Sandinista. Rupanya, harapan rakyat untuk keluar dari kemiskinan selama 16 tahun tak juga terkabul. Negara berpenduduk 5,6 juta itu tak pernah beranjak sebagai negara termiskin kedua di Amerika Latin. Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 50 persen. Inflasi 5,3 persen, tapi pertumbuhan ekonomi negara itu per tahun hanya 1,5–2,5 persen. Sedangkan angka pengangguran mencapai 22 persen dari 1,9 juta angkatan kerja. Korupsi pun merajalela. Nikaragua terjerat utang luar negeri.

Kepahitan hidup inilah yang membangkitkan memori sebagian warga tentang Sandinista. Rakyat tak pernah lupa semangat sosialis Sandinista. Salah seorang pemujanya, Nora Ramirez, teringat kebaikan Ortega. “Daniel memberi kami susu, sekolah murah, dan layanan rumah sakit yang bagus,” katanya. Ia membandingkannya dengan kondisi kini. “Sekarang semua serba mahal dan kami makan kacang yang digoreng kembali.”

Namirez dan rakyat miskin Nikaragua memilih untuk melupakan kegagalan pemulihan ekonomi selama Sandinista berkuasa pada 1979–1990. Kala itu mata uang Nikaragua terdevaluasi hingga 33 ribu persen. Utang luar negeri menggelembung hingga US$ 12 miliar.

Bagi mereka, Ortega sudah bekerja keras. Ia menyita aset swasta dan membagikannya kepada petani miskin. Kegagalan Ortega justru disebabkan AS, yang menerapkan embargo perdagangan. Ortega juga terlalu sibuk mengatasi perang saudara yang juga disponsori AS.

Rakyat bahkan “melupakan” bagaimana ketika itu Ortega mematikan kebebasan bersuara, dan membungkam pers. Lawan politiknya pun ditangkap lantas dibunuh. Itu semua karena di masa pemerintahannya Ortega menurunkan tingkat buta huruf dari 60 menjadi 12 persen. Dia juga membangun sistem layanan kesehatan gratis.

Nikaragua pun memilih untuk memberikan kesempatan kedua bagi Ortega. Rakyat berharap, jika Ortega memerintah di masa damai, dia akan mampu memperbaiki kondisi ekonomi. Apalagi, dalam tiap kampanyenya, Ortega menyatakan dia sudah berubah. “Saya bukan lagi pejuang revolusioner yang sama.” Katanya, dia adalah Ortega yang berjanji akan memihak pada perdagangan bebas dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan serta pendidikan.

Perubahan Sandinista juga ditandai dengan mengubah warna bendera, dari merah dan hitam menjadi merah jambu dan biru-hijau, agar tampak lebih manis dan jauh dari kesan “revolusioner”. Kendati ungkapan “Biarkan kami melawan Yankee (orang Amerika), musuh kemanusiaan” masih kerap terdengar, lagu John Lennon dalam bahasa Spanyol, Give Peace a Chance, dan lagu-lagu Frank Sinatra juga sering diputar dalam setiap kampanye Ortega.

Ortega, kini ingin sekali memperlihatkan dirinya sebagai seorang Kiri yang lebih pragmatis sekaligus religius. Dalam pidatonya, dia menyerukan rekonsiliasi, perdamaian, dan kembali kepada Tuhan. Secara reguler, pria yang dulu memuja ajaran Lenin ini datang ke gereja dan sering mengajak pemilihnya berdoa. “Yesus Kristus idolaku sekarang,” katanya sambil menjelaskan bahwa Yesus juga seorang pemberontak dan pejuang revolusioner.

Dalam kampanyenya, Ortega berulang kali menyerukan keinginannya berkolaborasi dengan mereka yang memiliki jaringan bisnis, bankir, dan berjanji memberantas kemiskinan. Ia berjanji akan menjaga investasi asing di negaranya dan akan mencari konsensus baru dengan lawan politiknya untuk memerangi kemiskinan. Dia juga akan meneruskan kebijakan presiden sebelumnya, Enrique Bolanos, berupa paket privatisasi usaha.

Yang tak kalah pentingnya, Ortega mencoba meyakinkan bahwa dia akan menjaga hubungan baik dengan AS. Untuk itu dia akan memilih bekas lawan po-litiknya, mantan pemimpin pemberontakan Contra yang juga seorang bankir, Jaime Morales Corazo, sebagai wakil presiden.

Benarkah Ortega sudah berubah? Ti-dak ada yang bisa memastikan seberapa besar perubahan garis politik Ortega. Bekas arsitek gerilyawan Contra dan kepercayaan mantan Presiden AS Ronald Reagan, Letnan Kolonel Oliver North, tak yakin Ortega berubah. “Dia masih seperti teman-temannya, macam Castro, Qadhafi, Chavez, dan Usamah bin Ladin,” katanya.

Istiqomatul Hayati (LA Times, The Independent, NY Times, BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus