Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jean Sisk, 41 tahun, masuk ke kompleks Sekolah Dasar Dundalk, Baltimore, Selasa siang pekan lalu. Hanya tersisa beberapa gelintir orang di tempat pemungutan suara itu. Penjaga bar ini mencoblos kandidat Partai Demokrat untuk Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Ia tak sabar menanti perhitungan suara. Esoknya di tempatnya bekerja, penginapan Knotty Pine Inn, kegembiraannya meledak ketika melihat Presiden George W. Bush menghadapi kekalahan Partai Republik lewat tayangan televisi. ?Irak, Irak, Irak,? teriak Sisk.
Menurut Sisk, Amerika memang tak bisa buru-buru hengkang dari Irak. ?Tapi mereka (Bush dan Partai Republik) tak bisa tetap mengirim pemuda kita ke sana hanya untuk terbunuh,? katanya. Sisk hanya satu dari 60 persen pemilih yang menyatakan menentang perang Amerika di Irak berdasarkan satu survei seusai pencoblosan.
Malam sebelum Bush tampil mengakui kekalahan partainya di televisi, Karl Rove, ahli strategi Bush, memperingatkan Presiden bahwa republikan bakal kalah di Kongres. ?Reaksinya, dia kecewa dengan hasilnya di Kongres,? ujar Tony Fratto, juru bicara Gedung Putih. Bush semakin kecewa karena hasil pemilu DPR dan Senat merupakan referendum bagi kepemimpinannya yang tersisa dua tahun lagi. Hasilnya, mayoritas rakyat Amerika menolak Bush. Tapi, kata Fratto, Bush berhasrat membangun kerja sama dua partai (Republik dan Demokrat) sebagai prioritasnya dua tahun ke depan.
Pendulum politik di Amerika kini berayun meninggalkan kelompok konservatif, mengakhiri 12 tahun kekuasaan tunggal Partai Republik di Capitol Hill. Bush kehilangan satu kaki akibat kemarahan masif rakyat Amerika karena menyeret Amerika ke kancah perang di Irak yang kini tak berujung. Hasilnya, Partai Demokrat sukses menempatkan 229 kandidatnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan Partai Republik hanya berhasil mengegolkan 196 kandidatnya.
Di Senat keduanya hanya berselisih dua kursi: 51 untuk Demokrat dan 49 untuk Republik. Demokrat juga berhasil merebut 29 kursi gubernur negara bagian, sedangkan Republik hanya 22. ?Mayoritas baru Demokrat telah mendengar suara rakyat Amerika,? ujar Nancy Pelosi, dari Demokrat, yang diduga akan menduduki kursi Ketua Kongres.
Secara keseluruhan, 59 persen pemilih menyatakan ketidakpuasannya atau kemarahan terhadap pemerintahan Bush, 36 persen pilihan mereka menentang Bush. Bandingkan 22 persen yang memilih mendukung Bush, 56 persen pemilih mendukung penarikan sejumlah atau semua pasukan dari Irak.
Akibat kemenangan itu, pada tengah hari Rabu pekan lalu, Menteri Pertahanan Donald H. Rumsfeld, arsitek utama perang Irak yang tidak populer, melepaskan jabatannya. Menurut analis, perubahan pada pejabat tertinggi Pentagon akan membuat lebih mudah bagi Bush mengubah kebijakan atas Irak. Musuh Bush di luar negeri pun bersorak.
Realitas politik yang baru ini kontras dengan situasi 2002-2004, ketika Bush terpilih sebagai presiden. Tahun ini Bush sangat tidak populer di Amerika. Bahkan pendukung Partai Republik pun ogah dikaitkan dengan Bush. Misalnya, Bush dihindari kandidat partainya untuk Gubernur Florida pada Senin pekan lalu. Maka Partai Demokrat membunuh citra kandidat Republik dengan menebar ratusan iklan yang menampilkan kandidat lawan mereka berdampingan dengan sang presiden.
Pemilih menyatakan mereka tak setuju dengan perang di Irak, tapi korupsi dan etik lebih penting dalam memutuskan pilihan mereka. Kultur korupsi menggerogoti tubuh Republik. Empat anggota Kongres dari kubu Republik didepak dari Capitol Hill karena tuduhan korupsi, dan Mark Foley mengundurkan diri pada September lalu setelah mengirim pesan mesum lewat Internet kepada staf remaja di Kongres. ?Mungkin harus perempuan yang membersihkan Kongres,? ujar Pelosi.
Partai Demokrat kini di atas angin, dengan Nancy Pelosi di puncak sebagai tokoh Demokrat yang pernah menyebut Bush dengan predikat apa saja, dari seorang yang tak berkompeten, pengingkar, dan presiden yang berbahaya. Dia juga berulang kali mengancam, suatu ketika Demokrat mengambil alih kemudi Kongres: ?Presiden harus berubah tabiat, bahwa dia tak akan punya karet stempel Kongres.?
Pelosi telah punya rancangan kasar satu agenda ?100 jam pertama? kepemimpinannya. Dia akan mendorong aksi implementasi semua rekomendasi Komisi 9/11 atas keamanan nasional, meningkatkan gaji minimum menjadi US$ 7,25, menghilangkan subsidi perusahaan untuk perusahaan minyak, mengizinkan pemerintah menegosiasikan harga obat, menerapkan batasan baru terhadap kaum pelobi, memotong tingkat bunga untuk pinjaman mahasiswa, dan mendukung penelitian embryonic stem-cell.
Kemenangan Demokrat lebih luas ketimbang banyak yang diperkirakan kalangan Demokrat. Mereka memperoleh mandat membawa Washington dalam satu arah baru yang mendasar. ?Demokrat berjanji bekerja bersama dalam cara bipartisan (dua partai) untuk seluruh rakyat Amerika,? ujar Nancy Pelosi di depan pendukung Demokrat yang mengelu-elukannya pada Rabu pekan lalu. ?Demokrat bermaksud memimpin dengan cara paling terbuka, paling jujur, dan paling etis dalam sejarah Kongres.?
Bagaimana nasib Bush dengan Demokrat yang memelototinya dari Capitol Hill? Bush adalah presiden pertama yang berkonfrontasi dengan Kongres yang dikontrol lawannya sejak Perang Dunia II. Presiden Bill Clinton lewat kombinasi negosiasi, kenekatan, dan gertakan, tetap bertahan di Gedung Putih selama dua periode meski Kongres dikuasai Republik setelah 1994.
Bush dapat mencoba melakukan hal yang sama. Menurut Bruce Buchanan, pakar politik Universitas Texas, Bush punya kemampuan menjalankan praktek politik bipartisan. ?Dia selalu memerintah dengan cara itu di Texas, dan juga kadang-kadang di Washington,? kata Buchanan. Apalagi dalam isu energi dan imigrasi sikap Bush tak beda dengan kubu Demokrat. ?Mereka akan mampu berputar sangat mudah dan beradaptasi pada realitas politik,? ujar Vin Weber, bekas anggota Kongres dari Partai Republik.
Tapi realitas politik juga menunjukkan Partai Demokrat tak akan mengikuti kebijakan perang Bush di Irak. ?Tuan Presiden, kami butuh satu arah baru di Irak,? kata Pelosi. Ia mengajak Bush bekerja sama menemukan satu solusi dalam perang di Irak, meski secara pribadi ia menentang pengesahan perang di Irak.
Bagi analis, justru warisan kebijakan luar negeri Bushlah yang akan menjadi beban terberat Demokrat, khususnya perang Amerika di Irak. Masalahnya hingga kini belum ada konsensus dalam Partai Demokrat tentang cara menyelesaikan perang di Irak. Ada yang menyatakan penarikan segera sebagian besar pasukan Amerika, tapi yang lain menyatakan tak mendukung jadwal pasti penarikan pasukan Amerika dari Irak.
Seorang pejabat pemerintah mengatakan, mereka berencana menekan kubu Demokrat untuk memerinci usul mereka untuk mengamankan Irak. Jika ada pilihan baru yang baik pemerintah akan melakukannya. ?Tapi kebanyakan mereka tak punya pilihan,? ujar seorang pejabat pemerintah.
Memang ada kendaraan yang bisa dipakai bekerja sama dengan kubu Demokrat, yakni Kelompok Studi Irak yang diketuai bekas menteri luar negeri James A. Baker III. Kelompok ini menggali kebijakan alternatif untuk Irak yang diharapkan membuat rekomendasi untuk pemerintah Bush. ?Memang mudah mengobarkan perang, tapi sangat sulit keluar (dari perang),? ujar Melvin R. Laird, anggota kelompok ini yang pernah menjabat Menteri Pertahanan semasa Presiden Richard Nixon.
Masalahnya, soal Irak Bush ogah beringsut dari sikap yang sudah ia ambil bersama Menteri Pertahanan Rumsfeld. Bush memang menyatakan akan bekerja sama dengan kubu Demokrat soal Irak. Tapi ia akan berusaha mempengaruhi mereka bahwa kebijakannyalah yang benar. ?Kita tak akan meninggalkan Irak sebelum pekerjaan selesai,? kata Bush. Tujuannya jelas: ?Kemenangan.?
Pernyataan Bush jelas menunjukkan ia bisa berkompromi dengan kubu Demokrat soal masalah dalam negeri, tapi kukuh memegang strategi dasar di Irak dan perang terhadap terorisme. ?Dalam kebijakan luar negeri Bush setali tiga uang dengan Bush tua. Ia tak akan berubah banyak,? ujar Stanley A. Renshon, ilmuwan politik dari City University di New York.
Tak mengherankan bila muncul gambaran pesimistis tentang kemauan politik bipartisan Bush dan Demokrat. ?Ini bukanlah situasi mengambil inisiatif yang berani,? ujar Lawrence Jacobs, ilmuwan politik Universitas Minnesota. Kemungkinannya, kata Jacobs, Bush dan Demokrat hanya duduk mencangkung menanti pemilu presiden 2008.
Raihul Fadjri (Washington Post, NY Times, LA Times, Reuters, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo