Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOM Kampung Melayu menambah panjang daftar bekas narapidana terorisme yang mengulangi perbuatannya. Pada Senin dua pekan lalu, polisi menangkap Muhammad Iqbal alias Kiki alias Ahong dengan tuduhan menganjurkan Ahmad Sukri dan Ikhwan Nurul Salam mengebom halte bus Transjakarta di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Mei lalu.
Iqbal adalah bekas anggota kelompok Cibiru di Bandung, yang pada 2011 dihukum enam tahun karena merakit bom untuk persiapan "jihad". Mendapat korting hukuman, ia bebas pada 2015. Kelompok ini berafiliasi dengan Aman Abdurrahman, narapidana terorisme yang berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)--kemudian berubah menjadi Negara Islam (IS).
Peristiwa serupa terjadi pada akhir Februari lalu. Bekas narapidana pelatihan militer di Aceh pada 2010, Yayat Achdiat, meledakkan bom panci di Cicendo, Bandung. Pada November 2016, Juanda, bekas terpidana bom buku pada 2011, melemparkan bom molotov ke sebuah gereja di Samarinda.
Yang paling menggemparkan tentu saja bom dan penembakan di Jalan Thamrin, Jakarta, pada awal tahun lalu. Salah seorang pelakunya, Sunakim alias Afif, terpidana pelatihan militer di Aceh pada 2010. Afif baru lima bulan bebas dari penjara ketika melakukan teror di seberang Gedung Sarinah tersebut.
Serangkaian peristiwa itu mendatangkan kecemasan: bila mereka mengulangi perbuatannya, bagaimana dengan narapidana lain? Sampai April lalu, ada 1.286 orang yang terindikasi terlibat terorisme. Ratusan orang sudah bebas. Di dalam penjara, masih ada lebih dari 230 narapidana yang sedang menjalani hukuman. Bila deradikalisasi gagal, bahaya sedang mengintai Indonesia.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Irfan Idris mencoba menangkis kekhawatiran itu. Menurut Irfan, BNPT saat ini membina sekitar 600 bekas narapidana di 17 provinsi. Mereka difasilitasi untuk memiliki usaha dan keterampilan agar tak terjerumus lagi kepada aktivitas lamanya. "Intinya adalah ekonomi," katanya. "Mereka bisa berubah lagi bila tak diperhatikan, bila teman-teman lamanya datang lagi."
Di dalam penjara, sekitar 200 narapidana mengikuti program deradikalisasi. Mereka dibekali tiga wawasan: keagamaan, kewirausahaan, dan kebangsaan. Yang terbaru, BNPT mendirikan pusat deradikalisasi di kompleks kantornya di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Ini sebenarnya penjara khusus teroris. Nama resminya Lembaga Pemasyarakatan Kelas 2B Sentul.
Dioperasikan sejak Maret lalu, penjara ini baru dihuni 15 narapidana. Salah satunya Marwan alias Wak Geng, terpidana perampokan bank di Medan untuk mendanai terorisme. Selama diterungku di sini, narapidana mengikuti berbagai diskusi yang diisi sejumlah pakar serta diajari membuka usaha.
Menurut Irfan, bekas teroris yang kambuh biasanya adalah mereka yang tidak mengikuti program deradikalisasi BNPT. Mereka menganggap BNPT sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang tagut sehingga mengikuti program deradikalisasi berarti mengakui keberadaan pemerintah.
Peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian, M. Khoirul Huda, membagi dua tipe narapidana terorisme: pro-ISIS dan anti-ISIS. Di dalam penjara, mereka yang berkiblat kepada ISIS biasanya menolak program deradikalisasi. Mereka pun menutup pintu ketika diajak berdialog oleh ulama yang didatangkan BNPT, seperti Syekh Najih Ibrahim, bekas petinggi Jamaah Islamiyah di Mesir. Tak cuma ditentang pendapatnya, Najih bahkan hampir diserang secara fisik.
Walau begitu, bukan berarti mereka yang pernah bersinggungan dengan ISIS atau dengan Aman Abdurrahman--dedengkot ISIS di Indonesia--enggan berubah. Kurnia Widodo, bekas anggota kelompok Cibiru, yang dihukum pada 2011, kini berpandangan moderat. Dulu, bersama Iqbal alias Kiki, yang ditangkap Senin dua pekan lalu, ia pernah menjadi murid Aman Abdurrahman, yang terkenal berpaham keras. Menurut Kurnia, kunci perubahannya adalah keberanian memutus jaringan lamanya.
Sebaliknya, narapidana yang antipati terhadap ISIS lebih mudah diajak bekerja sama. Terhadap mereka, BNPT biasanya tak terlalu kesulitan menjalankan program deradikalisasi.
Deradikalisasi dapat diartikan sebagai upaya menetralkan pandangan radikal yang dianut narapidana terorisme sebelum kembali ke masyarakat. Menurut Wakil Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI Brigadir Jenderal Eddy Hartono, deradikalisasi meliputi identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi. Domain Detasemen Khusus hanya pada tahap identifikasi.
Sebagaimana tahap selanjutnya, identifikasi bukan tahap mudah. Polisi harus melunakkan tersangka terorisme yang sejak awal sudah memusuhi polisi. Eddy bercerita, suatu kali ia membawa seorang tersangka dari Semarang ke Jakarta dengan pesawat. Bukannya membuka mulut, sepanjang perjalanan si tersangka malah berdoa agar pesawat jatuh.
Selanjutnya, BNPT yang memegang peran paling besar dalam deradikalisasi--dengan dibantu kementerian dan lembaga lain. Menurut Irfan Idris, deradikalisasi dianggap berhasil manakala narapidana mengikuti program mulai di dalam hingga keluar penjara.
Menurut Khoirul Huda, deradikalisasi sebenarnya menyangkut dua hal: deideologisasi dan keterlepasan. Deideologisasi antara lain melenyapkan cita-cita mendirikan negara Islam dan menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pancasila. Parameter ini sulit diukur. Tapi lepasnya narapidana dari jaringan terorisme atau putusnya mereka dari rantai kekerasan bisa dilihat.
Contohnya Ali Imron, salah seorang pelaku bom Bali I, yang masih mendambakan Indonesia menjadi negara Islam. Walau begitu, ia gencar mengkampanyekan bahwa terorisme adalah jalan yang keliru. Sejumlah narapidana lain pun masih banyak yang bercita-cita demikian asalkan perubahan menjadi negara Islam diraih dengan cara-cara damai. Pemerintah tampaknya berpikir pragmatis: yang penting mereka tak mengebom lagi.
Ekonomi bukanlah satu-satunya kunci agar mereka tak kembali lagi ke jalan yang salah. Pada Sofyan Tsauri, terpidana pelatihan militer di Aceh, dan Mulyadi, terpidana penyimpanan senjata di hutan Universitas Indonesia, keluarga yang menyebabkan mereka berbalik arah. Menurut Khoirul, Sofyan terus dibayang-bayangi putrinya. Sedangkan Mulyadi terenyuh oleh kesetiaan istrinya.
Tapi itu baru satu hal. Selepas keluar dari penjara, mereka harus diberi ruang sosial baru agar tak mudah kembali ke jaringan lamanya. Di Medan, menurut Irfan Idris, ada bekas narapidana terorisme yang sempat ditolak penduduk kampungnya sehingga rumahnya dilempari batu. Masalah beres setelah polisi dan BNPT turun tangan meyakinkan masyarakat bahwa mantan narapidana itu telah berubah.
Pembaca, kami percaya bahwa para teroris yang telah insaf ini layak diberi kesempatan. Kita adalah bagian dari proses deradikalisasi mereka. "Karena deradikalisasi itu memanusiakan manusia," kata Irfan. Sebagian dari mereka yang telah kembali ke jalan yang benar bisa Anda nikmati kisah hidupnya pada edisi ini.
Tim Liputan Khusus
Penanggung Jawab: Bagja Hidayat
Pemimpin Proyek: Anton Septian
Penyunting: Bagja Hidayat
Penulis: Anton Aprianto, Anton Septian, Gadi Makitan, Linda Trianita, Syailendra Persada, Wayan Agus Purnomo
Penyumbang Bahan: Nurhadi Abdulrahman (Surabaya), Sapri Maulana (Samarinda), Sujatmiko (Lamongan)
Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho
Periset Foto: Jati Mahatmaji
Desain: Djunaedi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo