Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ketika Pelajaran Demokrasi Dimulai

Satu kerikil tajam dalam pemilihan presiden Afganistan telah dilewati. Kandidat rela mengalah demi sejarah trauma perseteruan panjang yang dialami bangsanya.

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Afganistan telah membuka sejarah baru. Warga Afganistan bukan hanya memberikan kesempatan bagi dirinya untuk melahirkan demokrasi, mereka bahkan menggenggamnya di kedua tangan. Pemilihan umum presiden yang terselenggara dua pekan silam adalah pemilihan umum demokratis yang pertama kali diadakan sepanjang sejarah Afganistan.

Yang perlu dipujikan dari penyelenggaraan pemilihan ini tentu saja ada dua hal. Pertama, pemilu berlangsung damai tanpa kericuhan besar yang berarti, meski memang di beberapa tempat ada petugas dan sukarelawan yang terbunuh. Untuk tanah yang penuh bau anyir darah dan sejarah perang yang tak berkesudahan, ini sebuah prestasi yang luar biasa. Kekhawatiran bahwa sisa-sisa Taliban bakal menggerogoti pemilu ini ternyata tak terjadi. Kedua, jumlah kandidat yang mencapai 15 orang—termasuk seorang wanita bernama Masooda Jalal—juga sebuah pertanda betapa warga Afganistan sudah lama ingin menghancurkan penjara yang mengekang mereka selama pemerintahan Taliban.

Tapi namanya pemilu di sebuah negara yang tengah melaksanakan nation building, tentu saja ada satu-dua kekusutan yang perlu disetrika. Salah satunya soal kecurangan coblosan. Badan pelaksanaan pemilihan bersama PBB-Afganistan mengakui banyak petugasnya di daerah pemilihan salah menggunakan pena yang antiluntur untuk menandai para pemilih. Akibatnya, tinta mudah dicuci dan pemilih ada kemungkinan memberikan suaranya berkali-kali di tempat yang berbeda.

Kondisi itulah yang membuat para kandidat yang mewakili semua etnik besar menuding otoritas Hamid Karzai bertanggung jawab atas kecurangan ini. Sehari setelah pemilihan, semua kandidat oposan menandatangani pernyataan memboikot hasil pemilihan. Mereka menyerukan pemilihan ulang. Ini gawat, karena ini pemilihan umum penting yang melibatkan banyak lembaga internasional.

Pihak AS tentu saja negara yang berkepentingan menolak seruan itu. "Mana yang lebih penting, 15 kandidat ini atau jutaan warga yang telah keluar rumah untuk memberikan suaranya?" kata Hamid Karzai.

Hamid Karzai sendiri memang sudah berada di garis depan perhitungan suara. Angka 10,6 juta pemilih di 26 dari 34 provinsi, ditambah di Pakistan yang masih menampung banyak pengungsi Afganistan, merupakan 70 persen dari target yang ditetapkan PBB dan otoritas setempat. Penolakan untuk mengulang pemilu ini bukan hanya dari lembaga-lembaga besar, negara Barat, pengamat, maupun Hamid Karzai. Rakyat jelata seperti Aji Ghulem Rasul, 67 tahun, seorang bekas pegulat, sungguh jengkel begitu mendengar sejumlah kandidat presiden ingin membatalkan pemilihan pertama yang dinikmati secara bebas untuk pertama kali di negerinya.

"Jika mereka tetap bertindak seperti itu, kita mungkin akan berperang lagi," kata Rasul, yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang roti di Kabul. "Kini semua orang sebaiknya bekerja sama dan memelihara perdamaian."

Bagi Rasul dan mayoritas warga Afganistan, tiga tahun terakhir setelah runtuhnya rezim radikal Taliban adalah masa hidupnya yang paling nyaman. Masa rezim Taliban dan 10 tahun pendudukan Soviet, juga peperangan antarpanglima suku pun, bukanlah suatu impian rakyat Afganistan kini.

Karena itu, bersama para diplomat Eropa, Duta Besar AS Zalmay Khalilzad bergerilya mendesakkan sebuah komisi independen sebagai jalan tengah bagi ke-15 kandidat. Hasilnya memang tidak sia-sia. Sejumlah kandidat oposan, termasuk Yunis Qanuni—pemimpin etnik Tajik (etnik terbesar kedua setelah Pashtun), yang diyakini sebagai satu-satunya yang mampu menyaingi popularitas Karzai—bersedia menerima apa pun hasil pemilihan asalkan telah dinyatakan sah pula oleh komisi bentukan PBB itu.

"Kami ingin menjaga perasaan dan kebahagiaan rakyat," kata Qanuni. Alhamdulillah.

Satu persoalan terselesaikan. Kini pemilu sudah dapat memasuki proses penghitungan suara yang diperkirakan memakan waktu hingga tiga minggu. Tetapi sebuah badan Amerika, International Republican Institute, mengumumkan hasil polling yang menyatakan Karzai akan mampu dengan mudah mengumpulkan lebih dari 51 persen suara. Karzai dijagokan akan memimpin Afganistan baru.

Polling ini bisa dipercaya, karena etnik Hazara seperti Rasul diasumsikan memberikan suaranya kepada Karzai yang beretnik Pashtun ketimbang pemimpin etniknya, Mohammed Mohaqeq. Buatnya, perdamaian negeri jauh lebih penting daripada loyalitas etnik.

Kalau begitu, tidak berlebihan juga kalau Qanuni nyatanya bersedia berubah sikap karena ditawari sejumlah pos penting dalam pemerintahan Karzai yang mendapat dukungan dari AS dan Barat.

Hasil akhir: Qanuni, Dostum, dan Mahaqeq dipastikan menarik seruan boikotnya. Masooda Jalal, satu-satunya kandidat wanita, pun sudah lebih dulu melakukan hal yang sama. Kini Afganistan dengan bangga bisa mengatakan sudah menulis lembaran pertama sejarah demokrasi di negaranya.

Wuragil (New York Times, The Economist, AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus