Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESAWAT Air Force One itu membelah udara pagi dalam penerbangan ke Nevada. Di dalamnya, Presiden George W. Bush tengah bersiap-siap menuntaskan putaran terakhir kampanye sebelum hari H pemilihan 2 November. Hari itu, Kamis pekan lalu, dia "pulang kampung" ke Texas setelah menyelesaikan debat publik melawan pesaingnya dari Partai Demokrat, John F. Kerry, pada Rabu malam di pekan yang sama. Saat wartawan menanyakan peluang lawannya setelah debat yang seru di kampus State Arizona University itu, Bush menjawab dengan hati-hati: "Pemilihlah yang akan menentukan. Semua spekulasi berakhir di hari pemilihan."
Dipandu moderator Bob Schieffer, wartawan dari CBS, debat final itu betul-betul menguras energi dan jurus pamungkas dari kedua kandidat. Bush maupun Kerry menyadari debat yang disaksikan 51 juta pemirsa televisi itu akan menjadi kunci penting guna mengolah sisa tiga pekan kampanye. Hasilnya? Berbagai jajak pendapat setelah debat terakhir itu (seluruhnya tiga kali debat sepanjang Oktober) memenangkan Kerry. Jajak pendapat instan CNN/USA Today/Gallup, misalnya, mengukuhkan Kerry unggul 52:39 persen atas Bush.
Hampir sepanjang debat 90 menit itu, Bush dengan gigih berusaha membangun citra Kerry sebagai tokoh kiri liberal. Pencitraan ini bertumpu pada 20 tahun riwayat Kerry sebagai wakil Massachusetts, salah satu negara bagian paling liberal di Amerika Serikat. "Ada satu arus utama dalam politik Amerika, dan Anda duduk jauh di tepi kiri," kata Bush.
Kerry tak terpancing. Dia membawa kembali perdebatan ke isu hilangnya lapangan kerja dalam empat tahun terakhir ini, sambil menohok program pemangkasan pajak yang diklaim Bush sebagai pemacu gerak ekonomi. Kerry menuduh presiden menghamburkan surplus US$ 5,6 triliun (setara Rp 50.935 triliun) yang diwarisinya saat dia naik pada 2000 dan mengubahnya menjadi rekor defisit.
Celaka bagi Bush, sehari setelah debat terakhir itu Departemen Keuangan mengumumkan defisit federal 2004 sebesar US$ 413 miliar. Angka ini melampaui defisit revisi 2003, US$ 377 miliar. Akibatnya, kata Kerry, "Lima ratus ribu anak kehilangan program pascasekolah. Itu tak akan ada dalam sistem nilai saya. Orang terkaya di Amerika tak akan bisa melenggang dengan pemotongan pajak."
Melawan serangan Kerry, Bush dengan sengit menyerang konsep Kerry soal perbaikan ekonomi, kenaikan upah, dan peningkatan pelayanan kesehatan. "Retorika Kerry tak sesuai dengan riwayat dia sebagai senator," kata Bush. Dia pun menyodorkan contoh: selama menjadi senator, Mr. John Kerry pernah 98 kali menyetujui keputusan menaikkan pajak. Dalam pandangan Bush, sikap Kerry ini justru kian memiskinkan orang miskin. Sebaliknya, Bush gigih memperjuangkan pemangkasan pajak. "Ini berguna untuk orang kaya maupun miskin," katanya.
Bush juga mencela program kesehatan Kerry yang disebutnya "janji kosong" belaka. "Rencana bukanlah rangkaian keluhan-keluhan, bukan susunan program-program yang tidak bisa Anda danai," Bush mencoba menekan lawannya. Zachary White, pakar ilmu komunikasi di University of San Francisco, menilai pertahanan Kerry justru menguat sepanjang dia tak menanggapi cecaran Bush soal "sisi gelap"-nya sebagai senator. Dan itu terlihat pada debat Rabu malam pekan lalu. Kerry selalu berupaya menggiring kembali perdebatan ke tema-tema yang dia pilih.
Akan halnya Bush, sejak Konvensi Partai Republik tak putus mencitrakan Kerry sebagai seorang oportunis tanpa kebijakan yang logis. Tapi dalam debat akhir ini, kampanye Bush itu tampaknya malah menjadi bumerang. "Sampai sebelum debat pertama, Bush giat menyebut John Kerry sebagai orang yang tak punya pendirian. Dalam arena debat, John Kerry justru tampil berbeda dari apa yang dipersepsikan," kata Tony Fabrizio, pembuat jajak pendapat Republiken.
Marshall Wittmann, bekas pembantu Senator John McCain (Republiken Arizona), juga menilai Bush berlebihan dalam membangun citra buruk Kerry. "Publik tadinya menduga Kerry muncul sebagai tokoh kiri yang radikal," kata Wittmann.
Nyatanya, pemirsa mendapat suguhan komentar Kerry yang meyakinkan selama debat. Ternyata, semua hal bisa saja berubah dalam semalam.
Yanto Musthofa (NY Times, Washington Post, Independent, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo