SEMANGAT radikal tampaknya kini mewarnai pula perjuangan di Tibet, negeri umat Budha yang masih dikuasai Cina. Ahad pekan lalu, ketika sekumpulan orang melakukan demonstrasi protes untuk memperingati pemberontakan di negeri Atap Dunia itu 30 tahun yang silam, pihak keamanan menganggapnya sebagai acara rutin yang tiap tahun berlansung. Ternyata dugaan itu salah. Demonstrasi di Lhasa, ibu kota Tibet, itu berubah menjadi huru-hara berdarah ketika sekumpulan biksu yang mengibarkan bendera nasionalisme Tibet, Singa Salju, lewat sambil menyanyikan lagu-lagu kemerdekaan dan nasionalisme. Ketika itulah keadaan mulai kacau, karena pawai bendera itu kemudian diikuti massa yang tadinya hanya berdiri di pinggir, menonton. Segera polisi dan petugas keamanan menjadi bulan-bulanan lemparan batu dan pukulan tongkat. Polisi membalas dengan tembakan, dan jatuhlah korban. Insiden itu kemudian berkembang menjadi huru-hara rasial. Massa yang beringas mengadakan perusakan dan penghancuran restoran-restoran, bengkel, usaha-usaha kecil, bahkan sampai ke rumah-rumah dan harta benda milik etnis Cina. Menurut kabar yang dibawa oleh wisatawan asing dan wartawan, penguasa Cina di Tibet menindas kerusuhan itu dengan brutal. Mula-mula mereka memerintahkan agar semua turis asing keluar dari Tibet. Bahkan khusus untuk wartawan asing, kesempatan keluar dari Atap Dunia hanya diberikan 24 jam. Dan kemudian oleh Perdana Menteri Li Peng sendiri, Tibet dinyatakan dalam keadaan darurat. Sesudah itu polisi dan tentara mengadakan operasi besar-besaran. Menurut sumber-sumber Barat, pemerintah Cina mengerahkan sekitar 17 divisi tentara yang berjaga-jaga di perbatasan Tibet-India. Sedangkan yang melakukan operasi keamanan di dalam Tibet sendiri tak kurang dari 60.000 polisi, tentara, dan badan keamanan umum. Korban pun berjatuhan. Menurut pemerintah Cina, 16 tewas dan beberapa puluh luka-luka, termasuk di pihak petugas keamanan. Tapi dokter-dokter di rumah sakit pusat Lhasa mengatakan sekurang-kurangnya 30 tewas dan sekitar 100 luka-luka. Sementara itu, orang-orang Tibet sendiri mengatakan tak kurang dari 60 tewas, dan yang luka-luka lebih dari 100 orang. Sejak keadaan darurat diberlakukan, lebih dari 1.000 orang ditangkap. Kebrutalan pemerintah Cina bisa jadi mencerminkan keputusasaan. Beberapa tahun terakhir ini pemerintah Cina mengubah-ubah kebijaksanaan di Tibet mulai dari sikap keras sampai ke lunak. Toh tidak terwujud hasil yang diharapkan. Kegagalan politik lunak pada 1980-an, ketika pemerintah Cina membuka Tibet kepada dunia luar, menurut para pegamat, menempatkan para reformis di Cina pada posisi terdesak. Tapi sebenarnya perkembangan di Tibet dari burk sampai ke yang terburuk sebagian besar diakibatkan oleh faktor yang ada di luar kekuasaan pemerintah Beijing. Antara lain faktor orang Tibet yang berada di India. Ketika terjadi pemberontakan besar pada 1959, dan Beijing mencoba memadamkannya dengan tangan besi, Dalai Lama, pemimpin agama Tibet, dan sejumlah pengikutnya menyingkir ke India. Di pengungsian, sesuai dengan aiaran Buddha, Dalai Lama menjalankan politik antikekerasan. Tapi akhir-akhir ini di kalangan para pengikutnya yang muda-muda muncul semangat radikal. Mereka berniat kembali ke tanah air untuk melakukan perjuangan bersenjata melawan "kolonialisme" Cina. Mereka ini terutama terdiri dari kaum muda yang lahir di pengasingan. Konon, mereka inilah yang menyelundup masuk dan menjalarkan nasionalisme. Tak lama setelah keadaan darurat diumumkan, trompet partai Harian Rakyat mengutuk "subversi asing" sebagai penghasut rakyat Tibet. Faktor lain adalah meninggalnya Panchen Lama belum lama ini. Walaupun Panchen, orang kedua dalam agama Budha Tibet, sering dicap sebagai "boneka Cina", kata-katanya masih didengar oleh rakyat Tibet umumnya. Panchen Lama-lah, yang juga berkomunikasi dengan masyarakat pelarian di luar Tibet, selama ini yang agak meredam tumbuhnya radikalisasi itu. Kepergiannya menyebabkan radikalisasi tak bisa dibendung lagi. Picu kerusuhan tampaknya juga ditarik oleh politik reformasi dan keterbukaan yang diterapkan di Tibet. Sejak 1980, sesuai dengan kebijaksanaan baru Deng Xiaoping, Tibet dinyatakan sebagai wilayah terbuka untuk turis asing. Yang datang ke sana ternyata tidak hanya orang asing, tapi orang Cina sendiri dari etnis Han -- mayoritas penduduk Cina. Mereka yang datang itu kebanyakan dari provinsi yang bertetangga dengan Tibet seperti Sichuan, Yunnan, dan Gansu. Mereka umumnya orang muda dan miskin yang mengadu untung dengan banyaknya wisatawan asing yang datang ke sana. Di Lhasa, mereka membuka restoran, toko suvenir, bengkel sepeda, sol sepatu, atau menarik becak. Kehadiran mereka yang makin mencolok menyebabkan makin kerasnya kebencian terhadap golongan etnis Cina. Kehadiran mereka dicurigai sebagai upaya Beijing men-Cinakan Tibet. Meledaknya huru-hara hebat yang membawa korban terakhir itu, konon, sejumlah intelektuil Cina mendesak agar Beijing sedikit lebih melonggarkan sikapnya terhadap Dalai Lama dan pengikutnya. Malah ada yang mendesak agar pemerintah memberi sedikit konsesi kepada bangsa Tibet. Tahun silam Beijing menawarkan dialog dengan Dalai, asal saja ia tak mengungkit-ungkit posisi Tibet dalam negara kesatuan RRC. Pemimpin umat Budha itu sudi melakukan dialog, dan ia serta pengikutnya bersedia kembali, asalkan Tibet diberi otonomi penuh. Bukan sebagai negera merdeka seratus persen. sebab Dalai Lama masih bisa menerima bila politik luar negeri dan pertahanan Tibet tetap di tangan Beijing. Toh Beijing tak bersedia memenuhi tuntutan yang sudah sangat lunak ini. Itu berarti nasib Tibet masih tak akan berubah dalam waktu dekat ini.A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini