Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sehari setelah Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan mobilisasi parsial untuk menambah jumlah tentara di Ukraina, sejumlah pegawai pemerintah tiba di rumah Alexander Bezdorozhny dengan surat panggilan bela negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tapi yang mereka panggil adalah orang mati.
Bezdorozhny, yang menderita radang paru-paru kronis, meninggal dalam usia 40 tahun pada Desember 2020, pada puncak pandemi Covid-19. Ia sempat dirawat dengan ventilator di sebuah rumah sakit di kampung halamannya di Siberia, Ulan-Ude, tepat di utara Mongolia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Saya sedih karena negara hanya mengingatnya setelah dia meninggal," kata adiknya, Natalia Semyonova, seperti disiarkan Reuters, Sabtu, 24 September 2022.
"Dia adalah seorang cacat, dan tidak pernah bertugas di ketentaraan," kata Semyonova, seorang musisi profesional dan aktivis di Ulan-Ude.
Di Buryatia, wilayah pedesaan di selatan Danau Baikal, mobilisasi dilakukan terhadap beberapa pria tanpa memandang usia, catatan militer, atau riwayat medis mereka, menurut wawancara dengan penduduk setempat, aktivis hak asasi manusia, dan bahkan pernyataan oleh pejabat setempat.
Aktivis hak-hak Buryat menduga bahwa beban mobilisasi - dan perang itu sendiri - jatuh pada daerah-daerah etnis minoritas yang miskin untuk menghindari kemarahan rakyat di ibu kota Moskow, yang berjarak 6.000 km (3.700 mil) jauhnya.
Putin selalu menggarisbawahi bahwa Rusia, di mana ratusan kelompok etnis telah hidup selama berabad-abad bersama mayoritas penduduk Slavia, adalah negara multi-etnis dan bahwa tentara dari etnis apa pun adalah pahlawan jika mereka berjuang untuk Rusia.
Tak lama setelah Putin mengumumkan mobilisasi pada Rabu, 21 September 2022, Menteri Pertahanan Sergei Shoigu mengatakan keputusan itu bukan untuk semua warga negara, tapi hanya bagi cadangan militer yang sebelumnya bertugas di tentara Rusia dan memiliki pengalaman tempur atau keterampilan militer khusus.
Namun demikian, muncul protes atas mobilisasi di Buryatia, sehingga Gubernur Alexei Tsydanov pada Jumat mengeluarkan pernyataan yang menjelaskan bahwa mereka yang tidak bertugas di ketentaraan atau memiliki pengecualian medis tidak akan dimobilisasi, meskipun ia mengakui bahwa beberapa panggilan telah diberikan kepada orang-orang seperti itu.
Tsydanov menulis di Telegram, "Sejak pagi ini, 70 orang yang telah menerima panggilan dipulangkan, baik dari titik pengumpulan maupun dari unit militer."
Jika kesalahan dibuat, katanya, orang harus "cukup memberi tahu perwakilan kantor pendaftaran militer di tempat pengumpulan, dengan dokumen pendukung".
Belum ada pernyataan dari kementerian pertahanan di Moskow tentang salah panggil ini.
Demi senangkan Kremlin
"Tidak ada yang parsial dari9 mobilisasi di Buryatia," kata Alexandra Garmazhapova, presiden Free Buryatia Foundation, sebuah organisasi yang memberikan bantuan hukum kepada mereka yang dimobilisasi. "Mereka membawa semua orang."
Yayasannya mengumpulkan ratusan permohonan bantuan dari warga yang kerabatnya telah menerima surat mobilisasi. Banyak dari mereka berusia di atas 40 tahun, dan memiliki kondisi medis yang tidak layak.
Antara 4.000 dan 5.000 penduduk wilayah itu direkrut pada malam pertama wajib militer, kata Garmazhapova. Dalam banyak kasus, pejabat telah membagikan surat panggilan pada malam hari.
Situs berita independen Ludi Baikala (Orang Danau Baikal) menghitung bahwa antara 6.000 dan 7.000 orang kemungkinan akan dimobilisasi, dari total populasi 978.000.
Seorang penduduk desa Buryatia di Orongoi, yang penduduknya pada tahun 2010 berjumlah 1.700, mengatakan kepada Reuters bahwa 106 orang dari desa telah dimobilisasi. Orang itu menolak untuk diidentifikasi.
Menurut Garmazhapova, mobilisasi yang luas di Buryatia, di mana sekitar sepertiga penduduknya adalah etnis Buryat beragama Buddha yang terkait erat dengan Mongolia, adalah pilihan politik disengaja oleh otoritas lokal untuk menyenangkan Kremlin.
"Pusat federal berusaha untuk tidak menyentuh St Petersburg dan Moskow, karena di Moskow Anda dapat melakukan protes terhadap Kremlin," katanya.
Menurut data yang tersedia untuk umum tentang korban militer yang dikumpulkan oleh outlet investigasi Rusia iStories, Buryatia dan wilayah Dagestan Kaukasus Utara, keduanya lebih miskin dari rata-rata dan memiliki populasi non-etnis Rusia esar, telah menderita tingkat korban tertinggi sejak Kremlin mengirimkan pasukan ke Ukraina pada 24 Februari 2022, dengan masing-masing 259 dan 277 tentara tewas.
Moskow hanya menderita 10 kematian, menurut iStories.
Kementerian pertahanan, yang mengatakan pada hari Rabu bahwa hampir 6.000 tentara Rusia telah tewas sejak 24 Februari, belum mengeluarkan perincian regional dari angka korban.
Lari ke Mongolia
Menurut Garmazhapova, beberapa penduduk Buryatia menanggapi ancaman wajib militer dengan menyeberang ke negara tetangga Mongolia, di mana orang Rusia dapat tinggal selama 30 hari tanpa visa.
Rekaman di media sosial pada Kamis, yang tidak dapat diverifikasi, menunjukkan ekor panjang di titik persimpangan di perbatasan terpencil.
Yang lain lebih suka mencoba menghindari wajib militer melalui jalur hukum.
Nastya, seorang siswa berusia 21 tahun di Ulan-Ude yang meminta nama belakangnya dirahasiakan, menunjukkan kepada Reuters sebuah foto draft yang dikirimkan kepada ayahnya, seorang jurnalis berusia 45 tahun yang tidak pernah bertugas di ketentaraan karena rabun jauhnya.
Nastya, anak tunggal, mengatakan bahwa dia dan ayahnya, satu-satunya orang tua yang tersisa, sepakat akan mengabaikan panggilan, mempertaruhkan potensi denda, sementara mereka menyewa pengacara untuk mendapatkan pengecualian.
"Kami memutuskan untuk mengambil risiko. Saya tidak ingin kehilangan ayah saya," katanya tentang penolakan ikut mobilisasi militer.
Reuters