KEMAJUAN adalah takut gemuk. Itulah yang terjadi di Vietnam kini: bermunculannya pusat kebugaran. Banyak wanita Vietnam sudah takut menjadi gemuk. Padahal, beberapa tahun lalu untuk cukup makan saja sudah susah, dan kisah orang perahu masih terdengar. Inilah hasil keputusan Pemerintah Sosialis Vietnam lima tahun lalu, untuk ganti jalur ekonomi, dari sosialisme ke doi moi atau reformasi. Sebuah keputusan yang mendatangkan modal luar negeri. Para pemilik modal, umumnya dari Hong Kong, Jepang, dan Barat, menyejajarkan rakyat Vietnam dengan Korea Selatan: siap bekerja keras. Vietnam sudah membuktikan bisa mengalahkan Prancis, dan kemudian Amerika. Bila senjata diganti dengan mesin hitung, traktor, dan mesin pembuat semen dan lain-lain, para penanam modal yakin, modal mereka akan berbiak di Vietnam. Maka, datanglah Jepang, dengan pabrik rakitan kendaraan roda empat di Ho Chi Minh City yang masih sering disebut Saigon. Muncullah Taiwan, menanamkan hampir US$ 300 juta untuk mendirikan pabrik semen dekat Hanoi, merupakan kerja sama dengan pemerintah Vietnam. Datang pula Korea Selatan, yang bekerja sama dengan Hanoi Electric Corp., mendirikan pabrik televisi. Juga Australia, yang mengelola perteleponan di Vietnam. Belanda, bekerja sama dengan Singapura, mendirikan pabrik bir di Saigon. Total modal asing di Vietnam sampai tahun ini adalah US$ 5,3 miliar. Amerika? Bekas musuh Vietnam ini tetap keras kepala, tidak bersedia mencabut embargonya pada Vietnam meski para pengusaha Amerika sudah begitu ngiler-nya ingin bersaing dengan modal Jepang dan lain-lain itu. Bahkan Amerika, sejak ditendang dari Vietnam (Selatan), 1975, menghalangi bila Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional berniat membantu Vietnam. Bahkan, sesudah tahun 1988, Amerika melarang Dana Moneter menerima niat baik Vietnam membayar cicilan tunggakan utangnya. Bila Dana Moneter menerimanya, itu berarti lembaga ini pun wajib memberikan kredit. Tapi AS pun kini tidak mau ketinggalan kereta, terutama setelah pemerintah Vietnam bersedia bekerja sama dalam pencarian tentara AS yang hilang dalam Perang Vietnam. Maka, awal Juli lalu, Washington membolehkan Hanoi membayar utang pada Dana Moneter Internasional. Tiga bulan kemudian, awal Oktober lalu, Dana Moneter pun mengumumkan akan memberikan kredit pada Vietnam sebesar US$ 223 juta. Kata Erich Spitaller, penasihat Dana Moneter di Hanoi, ''Kepastian dari Dana Moneter itu untuk meningkatkan keyakinan penguasa Vietnam supaya jangan mundur (dari reformasi).'' Lebih dari itu, bulan depan di Paris akan dibuka konferensi penyandang dana Vietnam. Diharapkan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia akan ambil peran utama. Di Vietnam, perubahan menuju ekonomi pasar memang berjalan lebih cepat dari yang direncanakan. Memang, para penanam modal asing di awal doi moi sangat pesimistis. ''Apa yang bisa kamu harapkan dari sebuah negara yang 10.000 tahun diperintah bangsa mandarin, lalu 100 tahun dijajah Prancis, dan kemudian dikemudikan pemerintahan komunis?'' kata seorang penanam modal yang dikutip majalah The Economist. Tapi beberapa tahun kemudian, daya beli masyarakat naik, terbaca dari meriahnya bisnis properti. Dalam enam bulan, harga properti bisa naik dua kali lipat ini terutama sebelum direm oleh pemerintah, lewat peraturan pajak baru per April tahun ini. Pada tahun lalu saja di Ho Chi Minh City 10.000 unit rumah baru dibangun oleh perorangan. Bagi pengusaha asing yang optimistis, Vietnam telah menjadi salah satu tumpuan basis dagang yang penting di Asia. ''Pada akhir dasawarsa sekarang ini, Vietnam akan menjadi negara Asia paling dinamis. Karena daya beli 80 juta rakyatnya membaik, negeri itu juga kaya minyak dan mineral lainnya, belum lagi kayunya, kekayaan laut, dan panoramanya yang menarik,'' kata Raymond Eaton. Lelaki Australia berusia 48 tahun ini pendiri dan pemimpin Export Development Trading Corp., yang berbasis di Bangkok. Sejak membuka kantor di Hanoi dan Ho Chi Minh City, tahun 1990, perusahaan Raymond sudah mengeskpor garmen dan pelbagai komoditi lainnya dari Vietnam dengan nilai jutaan dolar. Menurut perhitungan Raymond, jika embargo ekonomi dari AS sudah dicabut, sepuluh tahun sesudahnya ekspor garmen dari Vietnam bisa mencapai US$ 1 miliar setahunnya. Kelemahan prasarana di Vietnam bukan halangan, malah mengundang modal asing untuk ikut membangunnya. Nissho Iwai Corp. dari Jepang, misalnya, sudah teken kontrak ikut mengeluarkan dana US$ 300 juta membangun gardu dan transponder jaringan listrik. Bersama dengan Nissho Iwai adalah Lucky-Goldstar dari Korea, yang kebagian memasok kabel baja seberat 6.000 ton senilai US$ 11 juta. Embargo AS memang menjadi perkara penting bagi Vietnam. Bagi penguasa di Hanoi, urusan pencabutan embargo itu bukan sekadar menyangkut ekspor garmen yang bisa mencapai US$ 1 miliar per tahun, tapi juga peningkatan ekonomi di sektor lain. Kabarnya, masih banyak proyek besar di Vietnam yang sengaja disimpan untuk kemudian ditawarkan kepada investor dari AS. Maka, dalam upaya melobi pejabat AS untuk mencabut embargo, pemerintah Vietnam mencoba pelbagai jalan. Antara lain dikabarkan telah menyogok Menteri Perdagangan AS Ron Brown sebanyak US$ 700.000. Benar tidaknya kasus yang mencoreng pemerintahan Bill Clinton ini sekarang masih diproses pengadilan. Sikap AS itu sebenarnya merugikan, terutama bagi pengusaha swastanya. Perusahaan-perusahaan besar seperti Citibank, IBM, AT&T, dan Mobil Oil telah kehilangan kesempatan untuk menancapkan kaki di Vietnam sejak awal karena sudah didahului oleh para pesaingnya dari negara lain. Padahal orang Vietnam pada dasarnya sudah terbiasa dengan produk-produk AS. Dari veteran bekas tentara Vietnam Selatan sampai kader Partai Komunis Vietnam senang menempelkan logo perusahaan-perusahaan AS, seperti GE (General Electric), IBM, Chevrolet, Ford, dan Chrysler. Coca-Cola, yang mereka gandrungi, diimpor dari Singapura. Tapi kompromi dari dua pihak, seperti sudah disebutkan, sudah ada. Misalnya, itu tadi, melunaknya sikap AS, membolehkan Vietnam membayar tunggakan utang pada Dana Moneter Internasional, yang antara lain karena pemerintah Vietnam tidak lagi menghalangi upaya mencari tentara AS yang hilang dalam Perang Vietnam. Kamis pekan lalu, sebuah misi baru militer AS mulai bergerak ke 19 provinsi, mencari tentara yang hilang itu. Dan diharapkan akan ada hasilnya karena Hanoi sudah mengumumkan bahwa mereka yang menyimpan atau mengetahui kubur tentara AS tidak akan diperkarakan. Dari misi pencarian itu, Clinton akan menentukan kapan pencabutan embargo, dan kapan pemulihan hubungan diplomatik dengan Vietnam sepenuhnya. Bila itu terjadi, ramalan para ahli ekonomi perlu diperhatikan: dalam waktu 10 tahun kemudian Vietnam, yang kini pendapatan per kapitanya sekitar US$ 220, akan mengejar Indonesia, bahkan Thailand. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini