LIMA hari menjelang peringatan Maulud, Kuwait diguncang ledakan
bertubi-tubi. Dalam waktu 90 menit, enam bom meletup di tempat
berbeda. Bom ketujuh, yang ditempatkan di depan sebuah kantor
pemerintah yang mengurusi paspor, sempat dijinakkan. Kecuali
yang pertama, semua bom diledakkan dari jarak jauh.
Rangkaian letusan bermula di kedutaan besar Amerika Serikat,
ketika sebuah truk beroda enam menerobos pintu gerbang. Menurut
saksi mata, sebelum mencapai bagian depan gedung bertingkat
empat itu, truk meledak dan meruntuhkan sebuah bangunan
bertingkat tiga. Rumah konsul perdagangan Inggris, yang
berhampiran dengan kedutaan AS, ikut rusak. Kaca Jendela
berpecahan di Hotel Hilton, yang terletak di seberang jalan.
Tak sampai 30 menit kemudian, sebuah mobil tanpa penumpang
meletup di bawah menara kontrol bandar udara internasional
Kuwait. Ledakan yang sama kemudian mengguncangkan kedutaan besar
Prancis, perumahan warga negara AS di Al-Badah, gedung
Kementerian Tenaga Listrik dan Air, dan sebuah instalasi
petrokimia di Shuaiba. Empat orang terbunuh, 61 lainnya luka. Di
antara yang tewas tak terdapat anggota perwakilan asing.
Dari Beirut, organisasi yang menamakan diri Islam Jihad mengaku
bertanggung jawab terhadap rangkaian peledakan itu. Sheikh
Zainal Abidin, pemimpin Jihad, bahkan menyatakan, "rangkaian
redakan yang terjadi diKuwait akan diulangi di semua negara Arab
dan Timur Tengah, dan di tiap lokasi bendera AS berkibar."
Menurut sumber Barat, Jihad mempunyai hubungan dengan Iran,
Syria, dan dinas rahasia Soviet, KGB.
Tak heran bila presiden AS Ronald Reagan membidikkan tuduhan
langsung ke alamat Iran. Di suatu tempat di Timur Tengah,
menurut Reagan, kini sedang dilatih seribu teroris, sebagian
besar orang Iran, untuk misi bunuh diri. "Patut diketahui," ujar
Reagan, "saya mempunyai cukup bukti untuk merasa aman
mengeluarkan pernyataan ini."
Kemarahan Reagan mudah dimengerti. Dalam sepuluh tahun terakhir,
kantor perwakilan AS di berbagai negeri dijadikan sasaran aksi
teroris (lihat: Sembilan Cobaan buat Amerika). Bencana terbesar
terjadi di Beirut, 18 April lalu. Disusul pengeboman di markas
marinir AS dan pasukan Prancis di kota yang sama, 23 Oktober.
Bila soalnya menyangkut Iran, Kuwait memang pilihan yang masuk
akal. Sejak lama, Khomeini berniat meruntuhkan pemerintah Islam
Suni yang berkuasa di Kuwait. Di sini umat Syiah hanya
seperempat dari 1,4 juta penduduk. Tambahan pula, sejak Perang
Iran-Irak, 1980, Kuwait, salah satu pengekspor minyak dunia
kelas wahid, memihak dan menyokong Baghdad.
Kuwait juga garis depan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) yang sampai
saat ini tidak berhasil menarik Iran dan Irak ke meja
perundingan. GCC beranggotakan Arab Saudi, Bahrain, Oman,
Persatuan Emirat Arab Qatar, dan Kuwait sendiri. Dewan ini, yang
didirikan Mei 1981, menjawab ancaman keamanan sejak meletus
revolusi Islam di Iran, 1979. Di antara keenam anggota, hanya
Kuwait yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Urli Soviet.
Segera setelah rangkaian peledakan di Kuwait, sekretariat GCC di
Riyadh menyatakan dukungan Dewan terhadap negara "yang sedang
menghadapi aksi kriminal" itu. GCC menyatakan menolak semua
bentuk kekerasan dan subversi. Pasal ini menyiratkan
kekhawatiran negara-negara Teluk akan ekspor revolusi yang
hendak digalakkan Teheran.
Pemerintah Kuwait sendiri memperlihatkan sikap tegas. Beberapa
saat setelah ledakan, pemerintah menurunkan pasukan lapis baja
dan meningkatkan penjagaan di semua kedutaan negara Barat. Putra
Mahkota dan Perdana Menteri Sheikh Saad Al Abdallah Al Sabah
menyatakan, "kejahatan yang nista dan pengecut ini tidak akan
dibiarkan luput dari hukuman." Parlemen dan kabinet melakukan
sidang darurat. Ancaman hukuman tembak di tempat dikenakan
kepada siapa saja yang menoiak diperiksa sehubungan dengan kasus
peledakan ini.
Di Baghdad, pengeboman di Kuwait dimanfaatkan untuk membelejeti
Teheran. Seorang juru bicara militer Irak mengatakan, "Irak akan
memilih sasaran di Iran dan memberikan hukuman militer terhadap
kejahatan pengecut yang dilakukan terhadap Kuwait." Surat kabar
Al-Thawra, milik Partai Baath yang berkuasa, menuduh Teheran
bertujuan mengguncangkan stabilitas bangsa Arab.
Tak dinyana, awal pekan ini, pemerintah Kuwait mengumumkan,
sembilan orang Irak dan tiga orang Libanon terlibat dalam
rangkaian pengeboman itu. Sepuluh di antaranya sudah tertangkap.
Sisanya, orangorang Irak, masih bersembunyi di sekitar Kuwait.
Menurut Abdel-Aziz Hussein, menteri negara urusan kabinet,
kesepuluh tertuduh itu akan segera diadili. Mereka semuanya
Islam Syiah. Pengemudi truk maut di kedutaan AS itu diduga
bernama Raad Aqueel alBadran, anggota partai fundamentalis Dawa
gerombolan bawah tanah terlarang di Irak. Pemimpin Dawa, Sayed
Mohammed Bagher Sadr, menghilang di Irak empat tahun lalu.
"Bahan peledak dan senjata yang ditangkap di tangan para
tertuduh diselundupkan ke Kuwait melalui laut," tutur Hussein.
"Mereka membutuhkan dua bulan untuk merencanakan dan mengatur
pengeboman itu." Hussein tak lupa menambahkan, "pemerintah
Kuwait akan mengambil langkah yang membuat para teroris berpikir
seribu kali sebelum beraksi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini