JIN shan gu dao, atau merambah gunung adalah perjalanan penuh kesulitan, bergema di Stadion Chiang Kaishek, Linkou, pinggir kota Taipei, Kamis pekan lalu. Dengan lagu pop yang dikumandangkan korps musik Kuomintang itulah Kongres ke-13 Partai Kuomintang dibuka dengan meriah. Upacara ini disiarkan jaringan TV ke seluruh negeri, dan di dalam stadion itu sendiri, yang dibanjiri sekitar 11.000 orang, terpasang 40 buah TV monitor. Inilah kongres penting: yakni kongres yang pertama kali diselenggarakan ketika Republik Cina (Chunghua Minkuo, demikian Taiwan disebut) tak lagi di bawah undang-undang darurat perang. Hukum militer, yang memberi hak tentara menangkap siapa saja, habis sudah. Maka, rapat besar yang akan selesai Kamis pekan ini sekaligus menjadi uji coba bagi roda demokrasi yang telah digelindingkan pada 7 Juli 1987 -- yakni ketika undang-undang darurat dicabut. Dan entahlah, mungkin matahari demokrasi sedang terbit di mana-mana (Uni Soviet misalnya), Taiwan, yang 38 tahun berada di bawah kekuasaan militer, kali ini mencitrakan negeri yang -- setidaknya menghapus kediktatoran dalam segala bentuk. Lihatlah, ketika acara pemilihan ketua partai, salah satu acara Kongres, dibuka. Pemilihan dilakukan dcngan voting: yang setuju dipersilakan berdiri, yang tidak boleh tetap duduk. Di sinilah terjadi keributan itu. Anggota parlemen Jaw Shawkong, yang selama ini dikenal sangat vokal menyemangati reformasi partai, maju ke podium. Dengan berapi-api ia antara lain menyatakan bahwa cara begitu itu tidak demokratis Jaw, 38 tahun, lebih menyetujui pemilihan dengan cara pemungutan suara secara bebas rahasia. Dengan cara yang ditawarkan Kongres, "kita semua tentu mendukung Lee Tenghui sebagai ketua," kata Jaw. "Saya mencintai partai. Tetapi saya juga menjunjung demokrasi." Terjadi sedikit keramaian, beberapa anggota delegasi bertepuk, berbisik-bisik dengan sesamanya. Tetapi Ketua Presidium tak menggubris Jaw. Voting langsung tetap dijalankan. Dari 1.184 anggota delegasi yang hadir hari itu, hanya delapan orang yang tetap duduk -- di antaranya, tentu, Jaw Shawkong. Maka, Lee Tenghui mewarisi dua posisi penting sekaligus dari Mendiang Chiang Chingkuo, presiden dan ketua partai terdahulu, yang meninggal pertengahan Januari lalu. Sebagai presiden, Lee hanya meneruskan masa jabatan Chiang yang akan habis 1990. Sebelumnya ia wakil presiden. Dalam hal itu tak ada persoalan. Tapi, sebagai ketua partai, ada masalah, yang mencerminkan peta politik Taiwan kini: konflik antara golongan tua dan kelompok pembaru. Ketika Lee, akhir Januari lalu, dicalonkan menjadi ketua partai, Perdana Menteri Yu Kuohwa tak setuju. Yu, 74 tahun, tak sendiri. Di belakangnya, sejumlah politikus konservatif mendukungnya. Ketika itu, guna menghindarkan konflik, pencalonan ditangguhkan. Adakah jalan demokrasi yang telah dibuka Presiden Chiang Chingkuo dengan mencabut undang-undang darurat jadi tertutup kembali? Tampaknya, tidak. Pers, yang makin berani, meramaikan soal ketua partai. Hasilnya, diskusi menjadi hidup, dan opini pun terbentuk. Itu sebabnya bila dalam Kongres kali ini kelompok konservatif mengalah. "Ini bisa dijadikan salah satu bukti bahwa kami menjalankan demokrasi," kata Direktur Jenderal Kantor Penerangan Pemerintah (setingkat Menteri Penerangan) Shaw Yuming kepada beberapa wartawan. Akhirnya, persatuan menjadi terlalu mahal untuk dipertaruhkan. Ini yang menyebabkan golongan tua menerima Lee Tenghui. Di sisi lain, golongan pembaru juga harus puas dengan reformasi yang, menurut mereka, "kurang radikal." Misalnya, sikap terhadap Daratan (Republik Rakyat Cina) tetap merupakan harga mati. Golongan tua tetap menganggap bahwa Kuomintang hanyalah sebuah provinsi dari Cina yang satu. Dan dalam susunan parlemen, hingga sekarang, masih diadakan wakil-wakil dari provinsi di Cina Daratan. Dari kalangan usia muda, yang tak mengalami langsung pahitnya terusir dari Cina Daratan, ada suara yang mengharapkan agar KMT (pemerintah Taiwan) tidak melihat RRC hanya dari satu sudut. Yang tegas-tegas menentang cita-cita penyatuan Cina adalah pihak oposisi, Partai Demokrasi Progresif (PDP). Partai yang dibentuk setelah reformasi dicanangkan tahun lalu ini memang hampir semua anggotanya generasi yang lahir di Taiwan. Mereka menuduh, politik penyatuan Cina hanyalah dijadikan alat oleh golongan tua untuk tetap memegang tampuk kekuasaan. Keterbukaan sikap menghadapi RRC, kata Jaw, bisa dimulai dari sekarang. Memang, sudah ada izin bagi warga Taiwan untuk berkunjung ke Daratan, sepanjang itu merupakan kunjungan keluarga. "Tapi masih ada diskriminasi bagi orang-orang Taiwan asli," ujarnya. Mereka yang tak punya hubungan saudara dengan orang-orang di Daratan mustahil mendapat izin menyeberang. Bahkan anggota Akademi Sinica yang hendak pergi menghadiri konperensi ilmiah di Beijing, September nanti, hingga sekarang masih belum jelas akan dibolehkan pergi atau tidak. Jaw juga mengatakan perlunya hubungan dagang langsung. Selama ini, kendati secara resmi dilarang, para usahawan sudah berdagang ke Daratan, biasanya melalui Hong Kong. Bahkan sudah banyak pula yang menanam modal di sana. Apalagi setelah pemerintah melonggarkan keluar-masuk uang dari dan ke Taiwan. Sejak Juli 1987, setiap warga negaranya boleh membawa uang ke luar negeri maksimal US$ 5 juta per tahun. Dulu, uang yang boleh dibawa sangat terbatas. Meski belum besar, menurut catatan Badan Perdagangan Luar Negeri, jumlah investasi orang Taiwan di Cina Daratan kini meliputi 80 kasus, dengan nilai seluruhnya sekitar US$ 100 jua. Jumlah yang memang kecil jika dilihat nilai total perdagangan luar negeri Taiwan, tahun lalu, US$ 80 milyar. Secara resmi, kontak ekonomi ke Daratan itu dianggap melanggar hukum. "Karena kami nilai sebagai kcgiatan yang membantu musuh," kata Shaw Yuming, juru bicara resmi pemerintah. Kalau ada yang tertangkap basah, konon, bisa masuk penjara selama lima tahun. Toh, sesuai dengan napas pembaruan, boleh dikata pemerintah membiarkan aktivitas dagang dan investasi ke seberang. Sekaligus, untuk pamer, mereka lebih makmur daripada warga Daratan. Dalam kehidupan sehari-hari, dicabutnya UU darurat memang terasa. Orang tak lagi takut melakukan sesuatu yang bisa mengakibatkan ia ditangkap. Rabu pekan lalu, misalnya, PDP melakukan aksi duduk dan protes di depan kantor polisi pusat, Taipei. Mereka menghujat kekejaman polisi militer dan polisi yang menginjak-injak massa sewaktu petani (bersama kelompok pelajar) 20 Mei lalu mengadakan demonstrasi. Petani-petani yang menuntut bantuan asuransi keselamatan itu digebrak pasukan keamanan. Konon, sejumlah demonstran terluka. Tapi untuk aksi PDP, polisi cuma jaga-jaga. Artinya, aksi tersebut tak menambah jumlah tahanan politik di Taiwan. Dalam hal tahanan politik ini pun, tercermin perubahan sikap negeri berpenduduk 19,6 juta ini. Sampai dengan dicabutnya UU darurat, sumber tak resmi menyebut ada 200 tahanan politik di Taiwan yang tak diajukan ke pengadilan. Kini, tahanan politik di seluruh Taiwan kabarnya tinggal 12 orang. Sesungguhnya, PDP boleh dikata partai gurem. Cuma beranggotakan sekitar 10.000 orang, tentu bukan tandingan KMT yang punya anggota hampir 2,5 juta. Kekuatan "Partai Gurem" itu rupanya datang dari luar: sebagian besar orang Taiwan di AS pendukung -- setia PDP. Antara PDP dan orang Taiwan di rantau terdapat kesamaan sikap terhadap Daratan. Yakni, "melepaskan Taiwan menjadi negeri merdeka. Sebab, menurut Perjanjian Simonoseki 1895, Taiwan bukanlah bagian dari Cina," kata Li Hsiulien, orang Taiwan yang menjadi tenaga riset di Harvard Law School. Bagaimanapun pendukung PDP merupakan satu alternatif untuk pertumbuhan demokrasi di Taiwan. Ada memang partai lain, misalnya Partai Buruh (Gong Dang). Tapi baru berdiri Juni bulan lalu, dengan anggota sekitar dua ribu. Celakanya, belum-belum sudah pecah dua. Sedangkan partai lain, seperti Min She Dang (Partai Demokrasi Sosialis) dan Jing Nian Dang (Partai Pemuda), yang lahir ketika KMT masih berjaya di Cina Daratan, boleh dikata cuma partai satelit dari KMT. Partai oposisi loyal, istilah resminya. Tapi harus diakui bahwa negeri seluas 35.500 km2 (sedikit lebih luas daripada Jawa Tengah) ini, perkembangan ekonominya termasuk tinggi di Asia. Yang menarik adalah kenyataan sosial sehubungan dengan kekayaan ini. Sampai awal 1980-an, angka perceraian di sini, rata-rata kurang dari 2 tiap seribu pasangan. Kini, angka itu menjadi 1 tiap 6 pasangan. Menurut beberapa ahli sosiologi Taiwan, penyebab utama perceraian karena para istri ingin bekerja agar punya penghasilan sendiri. Ini bukan karena mereka kekurangan, tapi agar bisa hidup sedikit mewah. Rupanya, suami-suami Taiwan agak konservatif juga. Tapi, sementara Gorbachev mengusulkan pembatasan masa jabatan bagi pengurus partai -- tujuannya agar pengurus partai terdiri atas mereka yang relatif muda -- Lee Tenghui, sang Ketua KMT yang baru terpilih, justru mengerem regenerasi dalam tubuh partai. Menurut sumber di KMT yang kemudian juga dikutip pers lokal, Lee membatalkan paling tidak 20 nama baru calon anggota Komite Sentral, yang seharusnya menggantikan para anggota yang sudah layak dipensiun. Keputusan Lee, kabarnya, karena pesan dari janda Chiang Kaishek, bahwa sebaiknya regenerasi dilakukan pelan-pelan. Tujuannya, mestinya, mengerem gejolak yang mungkin saja terjadi. Tapi apakah ini bukan semacam akal agar orang-orang tua tetap punya kursi? Lain daripada itu, wajib militer bagi lelaki berusia 20 tahun tetap berjalan. Hanya lelaki yang menjalani wamil ini yang bisa memperoleh haknya secara wajar. Bila menolak, antara lain, ia akan sulit sekali memperoleh paspor. Menuju pembaruan, bagi Taiwan, memang seperti lagu pop untuk membuka Kongres: Jin Shan gu dao, atau merambah gunung adalah perjalanan penuh kesulitan -- celakanya, belum tentu berhasil. Mohamad Cholid (Taipei)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini