Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Trias politika diuji

Yang dipertuan agong, raja malaysia, menskors 5 hakim agung ma, karena mereka menyetujui permohonan tun salleh abas agar hasil penyelidikan tribunal terhadapnya tak diserahkan kepada raja malaysia.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TRIAS Politika di Malaysia diuji. Pekan lalu, Yang Dipertuan Agong, Raja Malaysia, menskors lima hakim Mahkamah Agung. Masalahnya, kelima hakim agung itu menyetujui permohonan Ketua Mahkamah Agung (yang diskors) agar hasil penyelidikan Tribunal terhadap dia tak diserahkan kepada Yang Dipertuan Agong Sultan Iskandar Shah. Itu merupakan buntut diskorsnya Tun Salleh Abas selaku Ketua Mahkamah Agung oleh Yang Dipertuan Agong atas saran Perdana Menteri Mahathir. Kemudian Yang Dipertuan Agong membentuk Tribunal, pengadilan istimewa, terdiri atas enam hakim agung, untuk mengusut Tun Salleh, Mei yang lalu. Waktu itu Tun Salleh tak menolak. Artinya, ia menerima penskorsan tersebut, dan bersedia diusut oleh Tribunal. Padahal, selama ini, bila terjadi kasus seperti ini, seorang hakim agung memihh mengundurkan diri, dan perkara pun ditutup. Tampaknya, Tun Salleh, 58 tahun, berkeras menegakkan keadilan. Meski, ia mengajukan syarat. Yakni, anggota Tribunal terdiri atas hakim-hakim yang lebih tinggi daripada dia, atau setidaknya setara. Itulah, ketika awal Juli Tribunal direncanakan dibuka, Tun Salleh mulai melemparkan kritik. Kata dia, Tribunal yang diketuai oleh Hakim Agung Hamid Omar, dan beranggotakan antara lain hakim Sri Lanka dan Singapura, tak semua hakimnya setara dengan dia. Ada yang berada di bawah tingkatan dia, kata Tun. Ia memang tak menyebutkan nama. Tapi satu hal, ketua Tribunal adalah yang menggantikan dia selaku Ketua Mahkamah Agung selama dia diskros. Tun Salleh, lewat pengaearanya, Sabtu dua pekan lalu mengajukan permintaan ke Pengadilan Tinggi, agar Tribunal dilarang menyampaikan hasil pengusutan kepada Yang Dipertuan Agong. Ketua Pengadilan Tinggi, Ajaib Singh, menangguhkan permintaan Tun Salleh. Alasannya, ia mesti mendengarkan dahulu pihak Tribunal dalam hal ini termasuk Perdana Menteri Mahathir. Memang, Mahathirlah yang semula mengganggu Tun Salleh. Yakm, setelah yang tersebut belakangan itu menyatakan bahwa UMNO, partai Mahathir, partai yang lagi memerintah, tidak sah. Urusan jadi ramai, muncul UMNO baru, dan kemudian UMNO lama dibubarkan. Perkara tak cuma sampai di situ. Lalu muncul kabar bahwa Ketua Mahkamah Agung, Tun Salleh, akan mengundurkan diri. Ia, kata kabar itu, sudah mengajukan permohonan mengundurkan diri kepada Perdana Menteri. Beberapa lama kemudian Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyatakan menyetujui permohonan Tun Salleh. Ketika itulah Tun Salleh mengelak. Ia, katanya, tak pernah mengirim surat kepada Mahathir memohon mundur. Rupanya, Mahathir tersinggung. Maka, lewat yang Dipertuan Agong -- memang raja inilah yang bisa berbuat sesuatu atas hakim-hakim agung -- Tun Salleh diskors. Ia dituduh melancarkan kritik terhadap Yang Dipertuan Agong. Dan berdasarkan undang-undang, Tun harus di usut oleh sebuah pengadilan istimewa, yang para hakimnya ditunjuk oleh Yang Dipertuan Agong. Itulah, kemudian Tun Salleh tak setuju susunan anggota Tribunal, dan setelah gugatannya ditolak oleh Pengadilan Tinggi, ia pun mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung yang notabene adalah kantornya juga. Lima hakim agung segera bersidang dan mengabulkan gugatan itu. Kelima mereka inilah yang kemudian diskors oleh Yang Dipertuan Agong. Maka, Mahkamah Agung, yang terdiri atas 10 hakim, menjadi sepi. Enam hakim agung, termasuk ketuanya, Tun Salleh, diskors. Tinggallah empat hakim. Salah seorang dan yang empat itu adalah Hakim Agung Datuk Harun Hashim. Ia sebenarnya baru diangkat menjadi hakim Mahkamah Agung bulan lalu. Ketika masih sebagai hakim Pengadilan Tinggi, Harun terkenal sebagai hakim yang "tak pandang bulu". Beberapa kasus gugatan terhadap pemerintah begitu sering ia menangkan. Dan tokoh ini jugalah yang, Januari lalu, memutuskan UMNO sebagai parpol "tak sah dari sisi hukum". Mengapa ia tak ikut bergabung dengan lima rekannya yang diskors ? Apa pula komentarnya tentang kasus ini? Sayang, Harun menolak menjawab, dengan alasan, "tak mau lebih menegangkan suasana." Maka, dunia peradilan di Malaysia makin ramai. Sesuai dengan undang-undang, bagi kelima hakim agung yang kena skors itu pun mesti dibentuk Tribunal. gunanya, untuk mengusut kesalahan mereka kalau memang benar bersalah, atau mengembalikan nama baiknya bila memang tak melanggar hukum. Kapan Tribunal itu akan dibentuk, Mahathir menegaskan "dalam waktu dekat". Yang jelas, pembentukan Tribunal adalah hak Yang Dipertuan Agong. Dan ia hanya bisa dikonsultasi oleh perdana menteri atau ketua mahkamah agung. Dalam hal sekarang ini, itu berarti Yang Dipcrtuan Agong hanya bisa diberi saran oleh Mahathir atau Hamid Omar selaku penjabat Ketua Mahkamah Agung. Toh, lembaga yudikatif Malaysia belum porak-poranda benar. Keputusan lima hakim agung, agar Tribunal yang mengusut Tun Salleh menangguhkan penyerahan hasil pengusutan terhadap terdakwa, tetap dipatuhi. Meski sidang pengusutan sudah berakhir Kamis pekan lalu. Hasilnya, menurut salah seorang anggota Tribunal, Mazlan Ahmad, terdiri atas tiga jilid, ternasuk laporan utama setebal 52 halaman. Mazlan akan menyimpan laporan hasil sidang pengusutan sampai keputusan kelima takim agung dibatalkan. "Saya akan menyimpan laporan itu hingga ada keputusan selanjutnya," kata Mazlan. Satu-satunya cara untuk mencairlan larangan tersebut, seperti yang diutarakan oleh Jaksa Agung Tan Sri Abu Talib Othman, ya dengan mengadakan sekali lagi sidang Mahkamah Agung untuk meneliti permohonan Tun Saleh, yang mengakibatkan lima hakim diskors itu. Adakah dalam kasus ini ada undang-undang yang dilanggar? Presiden Persatuan Advokat Muslim Malaysia Zaid Ibrahim berpendapat penskorsan terhadap hakimhakim agung itu sama sekali tidak menyimpang dari UUD. Sebab, dalam konstitusi Malaysia ada disebut tentang Tribunal untuk mengusut tuduhan terhadap hakim yang dianggap melakukan penyimpangan wewenang. Kalau ada yang menganggap pembentukan Tribunal itu tak adil, katanya, itu karena mereka lebih dikuasai emosi ketimbang rasio. Dia mengakui UUD yang berlaku di Malaysia menjamin kebebasan lembaga yudikatif. Tapi dia tak percaya bahwa eksekutif telah melakukan penekanan terhadap yudikatif. Antara hakim dan pemerintah kini memang terjadi perbenturan kepentingan, katanya. "Hakim menganggap punya hak untuk bersikap kritis dalam keputusan-keputusannya, sedang pemerintah berpandangan bahwa hakim tak seharusnya sampai keterlaluan sikap kritisnya," tambah Zaid. Jadi, kedua pihak tampaknya ngotot mempertahankan pendiriannya. "Mereka tampaknya tak dapat mempertemukan pendiriannya, karena tak paham pada sikap masing-masing," katanya. Dia melihat hakim di Malaysia terlalu sensitif. "Mereka menganggap tak pernah dan tak akan melakukan kesalahan, dan akan menjadi masalah yang peka kalau ada yang mencoba menegur mereka," tuturnya. Padahal, di mana pun dia berada, katanya lagi, scbagai manusia biasa hakim bisa saja melakukan kesalahan atau penyimpangan. Sebagai contoh, dia menunjuk kasus Tun Salleh Abas. "Mungkin Tun Salleh benar- benar telah melakukan kesalahan, karena sebagai hakim 'kan tak boleh membuat pernyataan berbau politik, karena. Ini berarti melanggar wewenang," kata Zaid, yang begitu gigih memperjuangkan penggunaan sepenuhnya bahasa Malaysia dalam pengadilan. Tapi masalahnya tak sesederhana menyebut apakah pernyataan seorang hakim bersifat politis atau tidak. Bila seorang eksekutif melakukan kesalahan dan tak seorang pun berani menegur selain seorang hakim, adakah itu dianggap teguran politis? Yang jelas, sejumlah pengacara pekan lalu mengikatkan pita putih di lengan mereka tanda ikut berdukacita atas diskorsnya enam hakim agung. Bagi mereka, tentunya, penskorsan yang Dipertuan Agong terhadap keenam hakim agung tak bisa dlbenarkan. Untunglah, UUD Malaysia mengatakan bahwa kasus demikian masih ada lembaga peradilannya, yakni Tribunal itu. Sebuah sidang Tribunal yang terbuka, tanpa tekanan, mungkin akan menyelamatkan Trias Politika di Malaysia. Ekram H. Attamimi (Kuala Lumur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus