Di Jepang tewas, dan di Italia luka parah. Dua penerjemah novel Ayat-Ayat Setan ditikam. FEBRUARI 1989, Ayatullah Khomeini menjatuhkan hukuman mati pada Salman Rushdie. Novel Salman, Ayat-Ayat Setan, dinilai Khomeini menghujat Islam. Seorang pengusaha Iran kemudian menyediakan sejumlah hadiah bagi mereka yang bisa membunuh novelis kelahiran India itu. Jumat pagi pekan lalu, lebih dari dua tahun kemudian. Profesor Hitoshi Igarashi, penerjemah Ayat-Ayat Setan ke dalam bahasa Jepang, ditemukan tewas di sebuah lorong di Universitas Tsukuba, 60 km di barat laut Tokyo. Profesor yang mengajar studi Islam di Universitas itu menerjemahkan novel yang menghebohkan dunia tersebut menjadi dua bagian. Pertama terbit Februari tahun lalu, bagian kedua muncul enam bulan kemudian. Masing-masing sudah laku 60.000 eksemplar. Igarashi, 44 tahun, tamatan Fakultas Ilmu dan Teknologi Universitas Tokyo, lalu mengambil pascasarjana di fakultas seni rupa. Tertarik pada Islam, pada 1976 ia kuliah di Akademi Filsafat Akademi Kerajaan Iran. Syah jatuh, 1979, Igarashi kembali ke Jepang dan mengajar studi Islam di Tsukuba, meski menurut wartawan TEMPO Seiichi Okawa, ia belum memeluk Islam. Bersama umat Islam yang sedikit di Jepang, Igarashi mengkritik sikap Jepang dalam Perang Teluk yang lalu. Profesor ini memang cenderung membela Saddam. Menurut polisi, tak ada bukti bahwa tewasnya Igarashi ada hubungannya dengan penerjemahan novel Salman. Sembilan hari sebelumnya, 3 Juli lalu, Etore Caprioro, penerjemah Ayat-Ayat Setan ke dalam bahasa Italia, ditikam di rumah- nya di Milan oleh seorang yang mengaku orang Iran. Sebelum menikamkan pisau ke leher, lengan, dan dada Caprioro, orang itu menanyakan alamat Salman. Caprioro tak tahu. Lelaki berusia 61 tahun itu luka parah. Sejauh ini, Ayat-Ayat Setan sudah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Pengarangnya sendiri, yang awal tahun menyatakan tobat kembali, tetap bersembunyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini