Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Salah naro, salah bpn

John naro diputuskan tak berhak atas tanah seluas 5,1 ha di slipi oleh pn jakarta barat. sertifikat- nya dibatalkan bpn. hakim mengesahkan tanah untuk otjen abri dan eddy tandyowidjojo.

20 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

John Naro kalah mutlak di pengadilan. Sertifkatnya dibatalkan BPN, dan tanahnya dibagikan hakim untuk lawan-lawannya berperkara. ANGAN-ANGAN Wakil Ketua DPR Haji John Naro memiliki hotel berbintang lima, Crown Plaza, di Slipi, Jakarta, dipupus hakim. Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Rabu pekan lalu, memutuskan Naro tidak berhak atas tanah seluas 5,1 hektare yang dibelah dua oleh jalan tol Jakarta-Merak itu. Kendati Naro pernah memiliki sertifikat HGB tahun 1979 di atas tanah itu, pengadilan tetap tak mengakui hak Naro. Sebab, sertifikat itu pada November 1990 -- setelah perkara ini disidangkan -- dicabut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat. Pen- cabutan itu menurut majelis, sah adanya karena BPN satu-satunya instansi yang berwenang untuk itu. Sekaligus pula majelis memutus hak atas tanah itu untuk lawan-lawan Naro berperkara, 3/4 bagian untuk Eddy Tandyowidjojo dan 1/4 bagian lainnya untuk Oditurat Jenderal ABRI. Tanah di daerah strategis, semula 9,6 hektare, itu dihibahkan Presiden Soekarno kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), 1966. Rencana semula, di atas tanah itu akan dibangun gedung monumental NU. Tetapi baru 6 hektare tanah dibebaskan, Djamaluddin Malik, yang ditugasi NU mengurus tanah itu, meninggal dunia. Tugasnya digantikan Syaichu. Karena PBNU memerlukan dana, tanah itu dijual Syaichu kepada Eddy Tandyowidjojo, Maret 1971. Belakangan timbul masalah karena Eddy merasa telah melunasi pembayarannya Rp 133 juta, sedangkan PBNU merasa hanya menerima persekot kurang dari Rp 40 juta. Karena, setelah ditagih-tagih, tidak mau bayar, Eddy dianggap NU melakukan wanprestasi. Pada 1973, NU menugasi Fachrurazy menjual tanah itu. Ketua NU Jakarta itu kemudian menjual tanah itu kepada Markono Tisnawijaya, bendaharawan Pusat Kesehatan ABRI. Tapi Markono yang baru membayar seperempat harga tanah, Rp 80 juta, keburu ditahan karena dituduh mengkorupsi uang Hankam. Lalu datanglah Naro, 1975, menawarkan jasanya kepada PBNU. Ternyata, Naro bisa menembus lika-liku belantara pertanahan di kantor Agraria. Berbekal surat kuasa PBNU, Naro bisa mendapatkan izin permohonan hak tanah dari Gubernur Ali Sadikin. Naro pun membayar ganti rugi pembebasan tanah kepada 52 penggarap, biaya perizinan, dan kewajiban kepada PBNU. Akhirnya PBNU melepaskan hak atas tanah itu kepada Naro. Pada 25 Juli 1979, Naro memperoleh sertifikat HGB untuk tanah 2,65 hektare. Ia juga memperoleh tanah girik hibah PBNU 2,5 hektare. Tanah 9,6 hektare itu memang tinggal sebanyak itu karena terbelah oleh jalan tol Jakarta-Merak. Sementara itu, perkara korupsi Markono sampai ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA, 1985, antara lain, merampas seperempat tanah itu untuk negara sementara tiga perempat lagi milik Naro. Naro, yang ketika itu sudah memiliki sertifikat, keberatan. "Saya tidak tahu-menahu perkara Markono," kata Naro. Karena itu, ia mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat menuntut agar putusan MA itu dibatalkan. Ternyata, ketika perkara lagi berjalan, sertifikat HGB milik Naro, pada November 1990 dicabut oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Berdasar pencabutan itu pula, kini, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menganggap Naro tak berhak atas tanah itu. Menurut hakim, seperempat tanah itu milik negara c.q. Hankam c.q. Oditurat Jenderal (Otjen) ABRI. Sebab, uang Hankam yang dikorupsi Markono dibelikan seperempat tanah itu. Selain itu, hakim mengakui jual beli antara PBNU dan Eddy, nama terakhir ini mengajukan intervensi dalam perkara itu. Meskipun Eddy hanya memiliki girik -- padahal yurisprudensi Mah- kamah Agung tak mengakui girik sebagai bukti hak -- hakim menilai akta jual belinya sah karena dilakukan di depan notaris. "Penjualnya, H.A. Syaichu sebagai Ketua PBNU, kami nilai berwenang dan berkualitas menjual tanah PBNU," kata hakim anggota, Marily Ilyas. Eddy sendiri ternyata menerima putusan hakim. "Saya menghormati putusan MA," kata Eddy. Begitu juga Otjen ABRI. "Sejak dahulu yang saya kejar adalah seperempat tanah itu. Yang lain, sih, masa bodoh," kata Wakil Otjen ABRI, Brigadir Jenderal Syamsul Hadi. Toh Naro belum mengaku kalah. Selain menyatakan banding, sebelum vonis jatuh, Naro sudah lebih dahulu menggugat BPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. "BPN telah menggunakan pendekatan kekuasaan untuk mencabut HGB Naro," kata kuasa hukum Naro, Kemas Badaruddin, yang juga anggota DPR. Naro mengaku memperoleh sertifikat itu setelah memenuhi segala persyaratan yang ditentukan. "Mengapa sertifikat HGB yang saya peroleh dengan itikad baik, memenuhi ketentuan material dan formal, itu dicabut begitu saja ketika perkara mengenai hak tanahnya sedang dalam pemeriksaan pengadilan?" tanya politikus kawakan itu. Deputi hak-hak atas tanah BPN, Soegiarto, pada sidang PTUN, Senin pekan ini, menganggap tindakan instansinya itu sah saja. "Sebab, dalam penerbitannya sertifikat HGB itu mengandung cacat hukum. Sedangkan putusan MA 1985 itu menambah keyakinan kami untuk melaksanakan pencabutan," kata Soegiarto. Menurut Soegiarto, sewaktu mengajukan permohonan HGB, Naro sebetulnya sudah tahu ada sengketa. Yaitu masih ada sengketa antara PBNU dan Eddy, juga antara PBNU dan Markono. Namun, karena Naro mengurus tanah itu melalui jalur tol, menghubungi langsung Sekjen Depdagri, sertifikat keluar tanpa kesulitan. Persoalannya, kalau akibat cacat hukum seperti itu, pemegang sertifikat harus menanggung risiko -- sertifikatnya dibatalkan -- bagaimana tanggung jawab BPN? Sebab, BPN (dahulu Agraria), yang seharusnya juga sudah tahu ada sengketa di atas tanah itu, ternyata masih memproses permohonan sertifikat dan bahkan mengeluarkan sertifikat atas tanah itu. Ardian Taufik Gesuri, Moebanoe Moera, dan Karni Ilyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus