Di Bandung perkara di Laut Cina Selatan dicobacarikan jalan keluarnya. Banyak yang pesimistis. LAUT Cina Selatan adalah bom waktu. Dan Indonesia mencoba menjinakkan lewat lokakarya di Bandung, Selasa pekan ini. Sekitar 70 peserta dari berbagai negara yang bersentuhan dengan laut itu berkumpul. Mereka lalu berbicara soal kerja sama mulai dari bidang navigasi sampai ke pemanfaatan kekayaan alam. Namun, semua peserta sudah paham, persoalan sebenarnya lebih dari sekadar kerja sama navigasi atau lingkungan hidup. Itu sebabnya dari awal Menteri Luar Negeri Ali Alatas tak berani berkeinginan muluk-muluk. "Sekadar rekomendasi dari peserta pada pemerintahnya masing-masing, itu sudah cukup," tuturnya dalam pembukaan. Persoalan yang sesungguhnya sangat mudah ditebak, perebutan wilayah. Laut Cina Selatan relatif terkurung daratan. Di tengahnya ratusan pulau berserakan. Semua negara merasa berhak berkuasa atas pulau-pulau itu. Paling kurang sudah ada dua kasus yang masih panas. Kepulauan Parcel yang diperebutkan Cina dan Vietnam. Dan, Kepulauan Spratlys yang diklaim enam negara sebagai milik mereka. Cina, Taiwan, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Masing-masing juga sudah menyiagakan tentaranya. Alasan mereka macam-macam. Cina, misalnya, melakukan kilas balik sampai ke abad ke-2 lewat bukti-bukti temuan arkeologis. Filipina mendasarkan pada permintaan seorang petualang yang melakukan ekspedisi ke sana pada 1956. Malaysia lain lagi, salah satu pulau dinilai berada pada landas kontinen daratan Malaysia. Uniknya, tiap negara lalu memberi nama menurut versi masing-masing. RRC menyebutnya Nansha Qundao, orang Vietnam men- julukinya Truong Sa. Dari Filipina muncul nama Kalayaan. Kalau versi Melayu, namanya berubah menjadi Terumbu Layang-Layang, atau Itu Aba. Jika dilihat kondisinya, sebenarnya beberapa pulau yang diklaim itu tak layak dihuni manusia. Ada yang terus terendam air, dan hanya batu-batu tajam yang tampak. Namun, hampir semua pihak yang terlibat memang tak hendak menjadikan pulau-pulau karang itu lahan pertanian atau tempat tinggal. Jawabannya ada jauh di dalam tanah, minyak. Diperkirakan wilayah Kepulauan Spratlys mengandung minyak setara dengan kawasan Teluk Persia. Sesungguhnya itu baru dugaan. Hanya, kiatnya, "Lebih baik semua sengketa ini diselesaikan lebih dahulu sebelum penemuan minyak besar-besaran terjadi," kata Wakil Menteri Luar Negeri Filipina, Pablo Suarez, yang dikutip majalah Time. Maka, semua pihak yang mengirim delegasi ke Indonesia tampaknya tak berniat mundur dalam soal klaim. RRC, misalnya. Dari awal RRC sudah menegaskan bahwa haknya atas kepulauan itu tak bisa diganggu gugat. "Kami bersedia berbicara soal kerja sama macam-macam, tapi untuk soal kedaulatan pendirian kami sudah tegas," kata pemimpin delegasi Cina, Wang Ying Fan. Yang membuat persoalan rumit, masing-masing sudah membangun pulau yang diduduki. Barak-barak militer adalah pemandangan biasa di pulau-pulau yang kadang panjangnya hanya lima ratus meter. Kapal-kapal perang mereka juga berseliweran waspada. Kalau dilihat intensitas konflik seperti ini, bisa jadi lokakarya kali ini hanya akan menjadi forum omong kosong. Doktor Luhulima, Koordinator Peneliti Pusat Penelitian Politik dan Wilayah LIPI, juga menyatakan keraguannya, "Dalam kerja sama mereka pasti mengungkit-ungkit soal klaim teritorial," tuturnya. Harap maklum, minyak memang sudah terbukti ampuh. YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini