Produser film Langitku Rumahku menuntut ganti rugi Rp 10 milyar plus serupiah. Keputusan Perfin menurunkan film itu dianggap melanggar SKB tiga menteri. MEDAN tempur orang-orang film tak lagi terbatas di layar putih. Setelah ramai-ramai membawa soal tragedi film nasional ke DPR, kini mereka menginjak ke meja hijau. Langkah ini dibuka produser film Langitku Rumahku, PT Ekapraya Lokafilmindo, yang Jumat dua pekan lalu menggugat PT Peredaran Film Indonesia (Perfin) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ekapraya merasa dirugikan karena film anak-anak peraih penghargaan nasional dan internasional itu hanya sehari diberi kesempatan Perfin untuk diputar di bioskop-bioskop paling elite di Jakarta, bioskop Group 21 (Twenty One). Gugatan itu, kata Direktur Utama Ekapraya, Slamet Rahardjo, bukan semata-mata untuk kepentingan Langitku, tapi demi nasib film Indonesia pada umumnya. "Ini bukan soal Slamet dan Eros (adik Slamet Rahardjo) saja. Tapi juga masalah perfilman Indonesia," kata sutradara beken dan Wakil Ketua KFT (Karyawan Film dan Televisi). Hanya saja, Slamet ataupun Eros, yang berapi-api jika bicara soal film nasional, agaknya masih harus bersabar. Soalnya, sampai pekan ini, gugatan yang dikuasakan kepada Pengacara Abdul Rahman Saleh dan Tuty Hutagalung itu belum dibedah pengadilan. Bahkan, pihak Perfin mengaku belum menerima gugatan tersebut kendati perusahaan ini kini terpaksa sibuk mencari pengacara. Kasus film Langitku menjadi perbincangan masyarakat -- khususnya perfilman --akhir tahun lalu. Pada Jumat malam 16 November 1990, film tersebut secara mendadak diturunkan di sebelas gedung bioskop Kelompok 21 di Jakarta. Dengan begitu, praktis film peraih dua Piala Citra dan Kartini pada FFI 1990 itu -- juga empat penghargaan internasional -- hanya sempat sehari berkibar di grup bioskop milik Sudwikatmono tersebut. Pihak bioskop mengaku eksekusi itu berdasarkan perintah Perfin. Alasannya, pada hari pertama, film itu hanya ditonton 881 orang, dengan masing-masing empat kali pertunjukan. Berarti, setiap pertunjukan di setiap gedung hanya dihadiri 20 penonton. Padahal, menurut kesepakatan antara PPFI, GPBSI, Perfin, dan Asosiasi Importir film asing di Cipayung, pada 14 Maret 1986, setiap film minimal harus menyerap 125 penonton untuk tiga kali pertunjukan. Ekapraya tak bisa menerima tindakan sepihak itu. Apalagi pihak bioskop baru memberitahukan tindakan itu ke Ekapraya pada malam itu juga. Bahkan, tembusan surat resmi Perfin ke bioskop baru diterima Ekapraya pada esok petangnya. Tindakan itu menunjukkan bahwa Perfin semata-mata melihat film sebagai komoditi belaka, tanpa menilik aspek karya seninya. Anehnya, Ekapraya selama ini tak membawa kasus itu ke pengadilan. Baru setelah masalah film nasional dan isu monopoli menjadi isu nasional, Ekapraya mengumumkan gugatannya. Dalam gugatannya, Ekapraya menuding Perfin melanggar asas kepatutan. Sebabnya, selain alasan di atas, film Langitku juga dilarang diputar pada Sabtu dan Minggu. Padahal, justru di akhir pekan inilah banyak orangtua mengajak anak-anaknya untuk menonton. Yang juga penting, menurut Slamet, tindakan Perfin itu jelas-jelas melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Penerangan, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 1975. Dalam SKB ini, film nasional wajib diputar minimal dua hari di semua bioskop. "Bagaimana bisa kesepakatan Cipayung, yang digunakan Perfin, menjegal SKB," ujar Abdul Rahman Saleh. Padahal, tambah Abdul Rahman, dari segi hierarki formal, kesepakatan tersebut lebih rendah daripada SKB. Selain itu, Ekapraya juga menuduh Perfin telah mencemarkan nama baiknya, lewat siaran pers sehari setelah eksekusi, yang kemudian dilansir koran-koran. Dalam siaran pers itu, Ekapraya disebutkan telah menempuh jalan pintas, dengan mem-book separuh dari jumlah karcis di Djakarta Theatre, pada 1 sampai 15 November 1990. Padahal, menurut Ekapraya, praktek begitu sebenarnya sudah disetujui Perfin. Berdasarkan semua itu, Ekapraya -- seperti berolok-olok -- menuntut ganti rugi materiil Rp 1 (satu rupiah). Padahal, kerugian materiil akibat urungnya Langitku ditayangkan di enam daerah ditaksir mencapai Rp 550 juta. Persoalannya, kata Slamet, bukan soal kerugian uang, tapi dampak moril tindakan Perfin itu terhadap perkembangan film nasional. Sebab itu, Ekapraya juga menuntut ganti rugi moril Rp 10 milyar. Direktur Utama PT Perfin, Yusack Susanto, yang didampingi Kepala Bagian Peredaran Perfin, Sandjojo Nitimihardjo, mengaku pihaknya melakukan tindakan eksekusi itu sesuai dengan peraturan -- ya, kesepakatan Cipayung tadi. "Kami kan berusaha menjaga keseimbangan antara kepentingan produser dan pengusaha bioskop," kata Yusack. Berbicara di kantor Perfin, Yusack menyebut selama ini ada tujuh kasus serupa Langitku. Setelah diberi tahu Perfin dan dieksekusi, katanya, produser yang bersangkutan bisa menerima dan mengakui memang hanya sampai di situ kemampuan film mereka. Tapi Yusack agak hati-hati membandingkan kesepakatan Cipayung dengan SKB tadi. Yang jelas, ujarnya lagi, kesepakatan itu merupakan petunjuk pelaksanaan SKB. Kedua pejabat Perfin itu juga mengaku sama sekali tak berniat menghina Ekapraya dengan siaran persnya. Sebab itu, Yusack mengaku agak masygul mendengar tuntutan ganti rugi Rp 10 milyar. Ia berharap kasus ini diselesaikan secara musyawarah, alias damai saja. "Penghasilan kami satu-satunya, ya, 5% dari share film. Hanya berapa juta, coba. Sekarang digugat sepuluh milyar," ucap Yusack. Happy S.. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini